okt dog budibadabadu: 09/01/2004 - 10/01/2004

Thursday, September 30, 2004

::: destination: nowhere?


Tadi sepanjang hari, saya kepikiran terus satu hal, quote bagus dari Henry Miller:

"One's destination is never a place but rather a new way of looking at things."

Damn! Yang langsung terlintas di benak saya adalah... Destination: nowhere, atau, Destination: now, here? Ini semata-mata masalah sudut pandang, Bung. Betul nggak?

Pak Miller, saya rasa Anda benar.

* * *


Wednesday, September 29, 2004

::: gerombolan si imut


"We all know that nostalgia is dangerous, but I remember those days with a clear conscience."
(The Toughest Indian In The World. Short story by Sherman Alexie. 2000)

Kemarin sore Badu tidak sengaja menemukan print-out tulisan lama ini di tumpukan kertas-kertas bekas yang hampir dibuang. Saya membacanya kembali, dan mengingat-ingat apa yang ada di benak saya ketika dulu saya menulisnya. Yang pertama saya ingat cuma: iseng banget sih. Itu berapa tahun yang lalu? Film AADC masih diputar di bioskop, dan penonton masih ngantri. Jox masih di Bandung, dan teman-teman masih lengkap. Tobucil masih di Juanda, dan saya belum kenal Omu. Langit mendung Tamankita, dan Padepokan Rudi Si Pendekar Ayam Cola masih di Ganesha. Itu berapa tahun yang lalu? Alangkah cepatnya waktu berlalu. Itu berapa tahun yang lalu? Di buku kumpulan cerpennya—oleh-oleh yang dahsyat dari Itbo waktu hunting buku ke Sydney—Sherman Alexie seolah mengejek saya. Dengan kesadaran penuhkah saya mengingatnya? Dengan nurani yang jernihkah saya mengenangnya? Setengah hati, ternyata saya menghitung hari juga...


Selamat bernostalgia bagi mereka yang sudah pernah membacanya:

*DI RUDI, SORE ITU *
(based on true story)

Sekitar jam 3-an di suatu sore, saya makan di Rudi.

Pesanan saya sudah datang dan siap saya santap, ketika 4 cewek imut masuk dan memesan makanan untuk dibungkus. Sambil menunggu dan menonton si Rudi beraksi unjuk kebolehan masak-memasak (bagi Rudi ini semata-mata “masalah reputasi”), mereka duduk manis dan mengobrol di meja yang sama dengan saya. Volume obrolan mereka disetel cukup keras. Jadi, please, bukan salah saya menjadi “penguping” lagi.

Saya pikir mereka pasti masih SMU—wajah imut-imut mereka mengatakan demikian. (Dalam hal rumusan “jika imut maka SMU”, tentu saja Dian Sastro adalah sebuah perkecualian.) Mereka tidak sedang berseragam sekolah. Semuanya memakai kaos ketat, dengan daerah sekitar pinggang dan pusar mengintip keluar malu-malu (mungkin inilah yang pernah disepakati seluruh dunia sebagai istilah “baju adek”), dan celana pendek di atas lutut. Paha putih mulus menyembul di mana-mana, tapi saya pikir dalam keadaan perut lapar seperti ini, paha ayam goreng di piring saya tetap lebih menarik.

"Iih, bete nggak sih, besok ulangan Matematika dan gue belum belajar sama sekali..." Imut I angkat suara.
"Iya, gue juga. Tau deh. Kumaha engke lah [1]..." Imut II menimpali.
"Mana gue belon ngerjain PR Kimia lagi..." Imut III tak mau kalah rupanya.

Aha, betul dugaan saya. Ulangan Matematika? PR Kimia? Bukankah itu semua kosakata SMU? Baru setelah menjadi mahasiswa kita mengganti istilah “ulangan” dengan “ujian”, dan “PR” menjadi “tugas”. (Bagi mahasiswa yang masih tinggal ama keluarga, yang kebetulan manis dan harmonis, aih.. aih.. bolehlah redaksional-pamit-plus-cium-tangan itu sedikit diubah: dari “Ma, Adek pergi sekolah dulu ya...” menjadi “Adek mau ke kampus nih Ma...”)

Dan dari mulut-mulut mungil empat cewek itu (eh, ada yang monyong juga sih) meluncurlah dialog-dialog khas anak SMU. Terasa sekali aroma AADC merebak di sana-sini.

“Eh, tau nggak sih lo, tadi si Roy nyapa gue lho...” kali ini Imut IV sumbang suara. Dan memang sumbang betul itu suara, cempreng nan nyinyir khas penggosip ulung level SMU.
“Trus napa?” sahut yang lain.
“Ya, grogi aja, gitu...” Imut IV sok malu-malu.
“Ih, norak, ih!”
“Abis si Roy cakep gitu...”
“Ah, biasa aja ah!”
“Iya, biasa aja tuh!”
“Nggak, lagi..” Imut IV keukeuh [2], “...mirip Rangga, lagi... Cool abis. Lagian matanya itu lho... Rangga banget!”
“Huuu....” Paduan suara Imut I + Imut II + Imut III. Kompak juga mereka. AB Three harus waspada.

Maka menu makan siang saya pun bertambah dengan tiket gratis nonton Talk Show Remaja berjudul “Anak SMU: Saat-saat Terindah Menjadi Manusia”. Saya terus menyimak.

“Denger-denger sih, abis lulus SMU ntar Si Roy mau belajar otodidak aja...”
“Belajar naon?" [3]
“Otodidak.”
“Oto.. naon?”
“O-TO-DI-DAK. Budeg ih!”
“Otodidak teh naon?”
“Iya, otodidak tuh apaan sih?”
“Otodidak teh... ehmm, apa ya?”
“Nama jurusan kali, di perguruan tinggi gitu...”
“Kayak Teknik Mesin gitu kali ya...”
“Bisa jadi…”
“Teuing ah!” [4]

Astaga. Saya berhenti mengunyah. Jadi penasaran: di SMU manakah mereka sekolah.
* * *
Kamus Bahasa Sunda oleh B.B. Badudu:
[1] kumaha engke: gimana ntar
[2] keukeuh: ngotot, bersikeras
[3] naon: apa
[4] teuing ah: auk ah gelap


budibadabadu © 2002

Tuesday, September 28, 2004

::: time of your life, buddy...


another turning point, a fork stuck in the road
time grabs you by the wrist, directs you where to do
so make the best of this test, and don't ask why
it's not a question, but a lesson learned in time
it's something unpredictable, but in the end is right
i hope you had the time of your life


[“Good Riddance (Time of Your Life)”. Green Day. 1997]

Saya berpikir ulang tentang “waktu”, setiap kali menatap videoklip "Ada Apa Denganmu"-nya Peter Pan; setiap kali menonton lagi film Donnie Darko; dan setiap kali terkenang seorang sahabat lama nun jauh di sana. Time belongs to God.

(NB. Akhir pekan depan, saya akan datang ke tempatmu, Sobat. Semoga kau berbahagia.)

* * *

Monday, September 27, 2004

::: sempat tidak sempat


empat kali empat, ya empat kuadrat..
sempat tidak sempat, harus diralat!

(“Pantun Jenaka”. Tugas Bahasa Indonesia waktu si Badu kelas 4, di sebuah SD Inpres)

Waduh. Kayaknya ada yang harus diklarifikasi deh. Posting saya tepat sebelum ini, itu bukan cerpen saya. Bahkan, itu bukan cerpen. Itu lirik salah satu lagu Pulp, band favorit saya sepanjang masa (I have all their albums, of course). Hmm, padahal kan sudah saya taruh tulisan “special thanks to Pulp”. Plus
link-nya pula. Baiklah, mungkin lain kali saya harus lebih jelas lagi. Banyak teman saya (berarti lebih dari tiga) yang salah mengira itu sebagai tulisan saya, wow keren banget, dsb, dst, etc, lsp. Come on folks, I am not that great. Wuiih. Saya hanya ubah dikit-dikit lirik itu, saya modifikasi, saya sesuaikan dengan situasi tertentu—yang waktu itu memang sengaja saya tujukan untuk seorang teman baik saya, Old Buddy (may you get the right answer soon, pal!). Jadi, isinya pun bukan tentang saya. I still have no idea what the hell “love” is. Mungkin itu bisa-bisanya kapitalis penjual bunga saja, kata seorang kawan mengutip sebuah film. But thanx to all who gave me grreatt comments!

Oya, buat seseorang, meskipun sudah saya tulis di SMS, tapi sumprit: gak papa. Bener. Kalo itu bukan kamu, mungkin saya akan kesal. But it’s you. You’re special. So I am waiting for the new same poster, OK?

Blog ini lama nggak di-update. Biarin. Lagi banyak urusan. Numpuk nggak karuan. (Kalo udah gini, pasti banyak detil-detil janji lain yang terlewat. Sori banget buat yang kena.) Bukannya sok sibuk sih, tapi mengatur waktu itu (setidaknya buat saya) ternyata susah-susah-gampang. Atau bahkan susah-susah-susah. Kayaknya manajemen waktu memang benar-benar harus lebih rapi dan bersih. Harus! Sebab, toh semua orang sebenarnya punya jatah waktu yang sama: 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kecuali Badu mungkin—dia agak beda, dan saya salut. Staminanya edun. Dia bisa kerja nonstop, melek terus 25 jam sehari. Hah, 25 jam sehari? Kok bisa? Ya, sebab dia bangun 1 jam lebih awal! Wah, yang ini harus saya contoh.

Saya lantas inget stiker keren hadiah dari Jox, sobat saya di Jogja, tulisannya: raturaturu. Permainan kata yang cerdik, dan multitafsir. Yang berbahasa Jawa pasti ngerti. Salam hangat juga buat Brur, yang kini seatap. Saya tunggu modifikasi blog-nya, nanti pasti saya link. Hidup ini benar-benar maju ke depan…


Satu lagi. Lil’ JC, September kamu benar-benar warna-warni! Membaca lembar-lembar tulisanmu, di sepenggal senja di taman itu, bikin saya geleng-geleng kepala tak habis-habisnya. Astaga, itu K.E.R.E.N..B.A.N.G.G.E.T.!!! Saya pikir, dua jempol saya tidaklah cukup. Biarlah Badu mereplika diri 499 kali, supaya seribu jempol bisa kami acungkan untuk pemikiran-pemikiran mendalam kamu! Bow down to the genius Lil’ JC! Berapa tahun kita kenal? Dan kamu masih saja mengagetkan. Teruslah mengasah rasa, saya mau mencontoh! Jika memang benar orang yang kamu doakan di akhir bulan itu adalah saya (yang bahkan saya sendiri tidak berani berharap), terima kasih sedalam-dalamnya. It really means a lot.

Well, guys, ucapkan selamat pagi dan selamat menempuh hari ini kepada orang-orang terdekatmu.


* * *

Sunday, September 26, 2004

::: F.E.E.L.I.N.G.C.A.L.L.E.D.L.O.V.E.

That's why God created the word "love".
(Badu vs Old Buddy, in a nice chat!)

The room is cold and has been like this for several months. If you close your eyes you can visualize everything in it right down, right down to the broken handle on the third drawer down of the dressing table. And the world outside this room has also assumed a familiar shape: the same events shuffled in a slightly different order each day. Just like a modern shopping center. And it's so cold—yeah, it's so cold. What.. is.. this feeling called "love"?

Why me? Why you? Why here? Why now?

It doesn't make no sense. No. It's not convenient. No. It doesn't fit your plans. No. It's something you don't understand. Oh. And as you stand and cross the room you feel as if your whole life has been leading to this one moment. And as you touch your shoulder tonight this room has become the center of the entire universe.

So what do you do? You've got a slightly sick feeling in your stomach like you're standing on top of a very high building. Oh yeah, all the stuff they tell you about in the movies, but this is not chocolate boxes and roses—it's dirtier than that, like some small animal that only comes out at night. And you see flashes of the shape of his body and the curve of his belly and they make you have to sit down and catch your breath. It's so cold. Yeah, it's so cold!


It doesn't make no sense. No. It's not convenient. No. It doesn't fit your plans but you got that taste in your mouth again? Oh. F.E.E.L.I.N.G. C.A. double L.E.D. L.O.V.E. What is this thing that is happening to you? F.E.E.L.I.N.G. C.A. double L.E.D. L.O.V.E. What is this thing that is happening to you?
* * *
(N.B. Special thanks to Pulp)

Friday, September 24, 2004

::: aku ingat, maka aku ada

(sebuah surat tanpa alamat)

Nirmala kekasihku,
Di hari-hari seperti ini, aku teringat padamu: awal musim penghujan, pagi yang basah, dan betapa kenangan atas dirimu terasa semakin mengental. Kerinduan yang kian memuncak, dan untuk itu kutulis sepucuk surat. Puluhan surat telah kukirim padamu, Nirmala. Dan tak satupun yang kau balas. Aku mencoba untuk mengerti. Kau pasti terlalu sibuk dengan lingkungan barumu. Apakah teman-teman barumu lebih asyik diajak bertukar pikiran ketimbang aku, Nirmala? Aku tak tahu, apakah mereka juga suka menonton film seperti aku. Kau tak pernah cerita padaku. Tapi tak apa, toh aku takkan pernah bosan menulis surat untukmu. Bukankah cinta hanya butuh kesetiaan, meski logika tak mau mengerti?

Di luar masih gerimis, Nirmala. Pagi yang dingin. Jendela kamarku basah oleh tempias hujan tadi malam. Apa yang harus kuceritakan padamu sekarang? Kau tahu: terlampau banyak. Selalu terlampau banyak. Dan aku takut kau bosan. Aku selalu mengoceh tentang kenangan atas dirimu. Nirmala yang cantik. Nirmala yang pintar. Nirmala yang baik. Nirmala yang kupuja. Nirmala yang selalu mau kuajak ngobrol tentang film. Antusiasme yang seimbang. Kesabaran yang meladeni setiap ketukan di pintu rumahmu malam-malam, tiap kali aku datang dengan setumpuk film. “Film apa lagi yang kau bawa sekarang?” tanyamu sambil menyodorkan secangkir kopi panas. Lalu kita menonton film-film, dan bertahan membahasnya sampai subuh. Ditemani asap rokok, bergelas-gelas kafein, keripik singkong, dan kalau aku sedang beruntung: sepiring kue-kue coklat bikinanmu. Aku suka caramu berpendapat, Nirmala. Aku suka caramu mendebat. Aku menikmati setiap penggal kata dari komentar-komentarmu. Namun sayang semua itu tinggal kenangan. Karena tadi malam aku menonton film Memento sendirian. Untuk kesekian kalinya, Nirmala, dan tak ada lagi teman untuk berdiskusi. Padahal film itu sangat bagus. Kau seharusnya ikut menonton. Ya, berdua kita, seharusnya. Lalu kita membahasnya. Lalu kita berpendapat. Lalu kita berdebat, ditemani kue-kue coklat. Lalu...

Ah, aku terlalu sentimentil, Nirmala. Gerimis pagi memang selalu bikin perasaan melankolis. Tapi, Memento sendiri adalah sebuah film yang melankolis. Film tentang kenangan, penderitaan, dan kegalauan. Juga kebingungan dan kemarahan. Di layar, aktor Guy Pearce adalah Leonard Shelby. Kau bisa memanggilnya Lenny, kalau kau mau. Dia menderita penyakit anterograde amnesia, semacam kerusakan di hippocampus yang bikin kepalanya tak mampu menyimpan memori lebih dari 15 menit. Kau bisa memaki dia dengan umpatan paling kasar sekalipun, atau bahkan meludahinya, dan aku jamin: tak lama kemudian dia pasti sudah lupa. Dengan kata lain, dia jauh lebih pikun dari kakek-kakek penderita Alzheimer kronis sekalipun.

Dan tidakkah itu kasihan? Karena Lenny harus mencari pembunuh istri tercintanya. Karena seorang perampok telah menggetok kepalanya (yang membuat dia menderita penyakit itu), lalu memperkosa istrinya. Karena Lenny masih hidup, dan harus terus hidup dengan trauma itu. Juga segumpal dendam. Maka Memento pun berkisah tentang usaha keras membalas dendam. Tapi efektifkah usaha itu? Lenny menjawab: “…my wife deserves revenge whether or not I remember it…” Sebuah pernyataan yang masuk akal memang, tapi dari parasnya kita tahu dia kebingungan. Lenny di Memento adalah Lenny yang gusar, Lenny yang gundah, dan penonton pun bersimpati. Bersimpati? Ya. Mungkin kau juga akan bersimpati padanya, Nirmala. Lenny, dengan segala kekurangannya, sangat mencintai istrinya. Ah, Nirmala, tidakkah itu mengingatkanmu padaku? Aku selalu mencintaimu Nirmala, sampai kapanpun. Lihat, foto-fotomu masih ada di dinding-dinding kamarku, di atas mejaku, di dalam dompetku, dan di sela buku-buku. Bahkan ketika kau memutuskan untuk pergi pun, aku masih rajin berkirim surat untukmu.

Dan surat-suratku itu, Nirmala, yang jumlahnya puluhan dan tak satupun kau balas, adalah catatan-catatan yang menjadi bukti rasa cintaku yang tak akan pernah padam. Bukti adalah fakta-fakta, Nirmala. Di film Memento ini, terlihat Lenny pun sangat mengagungkan fakta-fakta. “Memory… they’re just interpretation, not a record…” ujarnya yakin, di sebuah adegan di bar. “Memories can be changed or distorted, and they're irrelevant if you have the facts...” Begitulah. Fakta-fakta, Nirmala. Lenny sangat percaya fakta-fakta. Sadar ingatannya sangat terbatas (dan karena itu dia tidak mempercayainya), Lenny selalu menenteng kamera Polaroid ke mana-mana. Dia memotret semuanya: orang-orang, lokasi-lokasi, juga kejadian-kejadian penting. Ya, semuanya. Lalu dia tuliskan catatan-catatan di balik foto-foto Polaroid tersebut. Dia mengumpulkan data-data kepolisian, guntingan surat kabar, dan menelepon orang-orang. Dia bahkan membuat tato di sekujur tubuhnya: fakta-fakta terpenting seputar pembunuhan istrinya—karena tato adalah abadi. Aku paham dan maklum, Nirmala, karena Lenny memang sangat membutuhkannya. Tanpa foto-foto itu, tanpa catatan-catatan itu, tanpa tato-tato itu, mustahil Lenny bisa menuntaskan dendam kesumatnya.

Tapi Nirmala, sadarkah kau bahwa kita (yang hidup normal tanpa anterograde amnesia) sebenarnya adalah “semacam Lenny” juga? Tanpa kita sadari, kita juga membekali hidup kita dengan buku agenda, diary, jam weker, Post-It Note, dan benda-benda reminder lainnya—seolah-olah hidup kita tak bakal jalan tanpanya. Kita mem-fetish-kan barang-barang itu. Kau tentu ingat Nirmala, betapa bingungnya aku saat kehilangan buku agenda, yang berarti selamat tinggal pada sekumpulan alamat penting, jadwal-jadwal harian, dan catatan berharga lainnya. Atau kau yang kelabakan ketika sadar ponselmu ketinggalan di suatu tempat entah di mana. (“Nomor-nomor telepon penting ada di situ semua!” teriakmu histeris.) Atau, “Sialan, jam wekerku mati. Aku terlambat kuliah!” keluh seorang teman. Juga orang-orang yang selalu menempelkan secarik Post-It Note di pintu kamarnya (“Hari ini bayar listrik”, misalnya), untuk mengingatkan dirinya atas sesuatu yang harus segera dan sangat penting untuk dikerjakan.

Nah, bukankah berarti hidup kita juga dipenuhi dengan “berbagai-usaha-keras-untuk-mengingat”? Dan aku sendiri masih rajin membuka-buka lagi diary lamaku, untuk mengenang kembali indahnya kisah cinta kita. Begitu manis. Begitu tulus. Ada beberapa lembar foto kita berdua. Di situ, kita berdua tertawa bahagia. Lihat, kau begitu cantik dengan rok warna pastel. Tersenyum manis di sampingku, kau menggenggam sekuntum mawar merah yang indah. Itu mawar dariku, bukan? Aku memetiknya dari kebun tetangga. Aku ingat, kita habis bertengkar hebat saat itu. Tapi yang terlihat di foto itu adalah: kita bahagia, sangat bahagia, seolah-olah tak pernah ada pertengkaran itu. Ah, sebuah buku harian memang sangat menghibur. Begitu manis, begitu privat. Begitu jujur. Hey, tunggu.. begitu jujur? Tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku: adakah orang berbohong pada buku hariannya? Adakah orang memanipulasi ingatan dan kenangannya sendiri, demi “perasaan-yang-lebih-lega” saat membukanya kembali kelak? Dan bukankah itu yang kita lakukan dengan foto kita berdua itu, yang “berbohong” tentang keadaan sebenarnya yang terjadi saat itu? Disadari atau tidak, kita pun telah memanipulasi ingatan kita, Nirmala. Tapi akuilah: dalam hidup, terkadang kita memang membutuhkan manipulasi itu. Nirmala, kau harus menonton sendiri film Memento, dan kau akan tahu betapa memang ada orang seperti itu: memanipulasi ingatan sebagai “alasan untuk tetap hidup”. Semacam raison d’etre, alasan untuk menjadi. Aku ingat, maka aku ada.

Ah, di luar gerimis sudah berhenti, Nirmala. Lebih baik aku berhenti menulis sekarang, dan pergi mengirim surat ini. Aku kirimkan juga bajakan DVD Memento: sebuah film tentang kenangan, penderitaan, dan kegalauan. Tentang kebingungan dan kemarahan. Sebingung aku yang kau tinggalkan begitu saja, Nirmala. Semarah aku yang tak pernah tahu alasan kepergianmu. Juga segala ingatan atas kau, Nirmala. Juga kesedihan atas kejadian truk keparat itu. Baiklah, akan kuantar surat ini padamu. Kuantar sendiri, sebab Pak Pos selalu mengembalikan surat-surat pertamaku untukmu. Ya, akan kuantar sendiri, meski aku harus jalan kaki beberapa kilometer ke tempatmu. Ke alamat barumu. Seperti biasa, Nirmala, akan kutaruh di nisanmu, di bawah pohon kamboja. Semoga kau mau membacanya.

Salam dari Timbuktu,
Badu kekasihmu.
* * *
budibadabadu © Oktober 2002

Wednesday, September 22, 2004

::: dan jarvis terus bernyanyi...

"...oh, sing your song
about all the sad imitations

that got it so wrong..."
("Bad Cover Version". Pulp. 2001)

kayaknya bener deh. pekan Pulp di kamar badu. semua albumnya diputer. semua tentang fenomena biasa kehidupan yang gagal dimaknai. badu meringis. come on, sing your song, about all the sad imitations that got it so wrong. ketemu donal di timbuktu. kenapa saya sering kecewa atas hal-hal yang tak perlu? dan jarvis terus bernyanyi...

Monday, September 20, 2004

::: (not) just an ordinary monday

we're making a move, we're making it now
we're coming out of the sidelines
just put your hands up, it's a raid, yeah
we want your homes, we want your lives
we want the things you won't allow us
we won't use guns, we won't use bombs
we'll use the one thing we've got more of:
and that's our minds...
("Mis-Shapes". Pulp. 1995)

Ada apa 20 September ini? Pemilu. Nyoblos! ... Long weekend.. MD ulangtahun. Selamat! Wish you all the best, bro! Ewako! ... Badu dengerin Pulp lagi, nggak pernah bosen sampe kiamat hehe. Jarvis rules!

* * *

Sunday, September 19, 2004

::: ateng sok tau

“…sok tau tanda tak mampu…”
(kata Flo et al, seorang teman diskusi yang sehat, di sebuah e-mail ke saya)

Saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Banyak sekali contoh kasusnya. Terlalu banyak malah, jadi saya kutipkan saja beberapa. Si A misalnya, masak ngakunya pembaca yang militan (dengan nada bangga) dan penggemar berat Budi Darma—ngomongnya keras-keras pula—tapi tidak pernah membaca Olenka? Oh plis deh. Lalu apa yang dia baca? Gelagapan juga dia (tapi berusaha tetap cool!) ketika akhirnya saya “serang” (dalam tanda kutip) dia dengan “pertanyaan-pertanyaan-sok-bego-tapi-sangat-mendasar” saya seputar karya-karya Budi Darma yang “sudah” dia baca. Rasain lu, batin saya dalam hati. Eh, bukannya nyadar, dia malah menyarankan saya untuk membaca judul-ini-dan-judul-itu, bahkan pakai “Kalo perlu elu minjem punya gue deh Bud!” segala. Wah wah, nggak tahan juga saya, akhirnya saya bilangin, “Oh makasih, saya punya semua judul itu kok.”

Kalo si B lain lagi. Ketika ngobrol soal film, keliatan sekali usaha kerasnya untuk menunjukkan ke saya bahwa “dia-sudah-nonton-banyak-film”. Pokoknya moviefreak deh. ("Gue sih orangnya nonton segalanya, Bud!") Well, tampaknya dia bangga sekali dengan label itu. OK, kasih deh. Saya cuma senyum-senyum saja saat dia dengan pede-nya mengira bahwa
Buster Keaton itu adalah yang “Iya, gue tau, Bud, yang kacamataan dan gelantungan di jam raksasa itu kan? Filmnya yang itu tuh terkenal banget…” (Saya diam saja, meski hati saya teriak-teriak, “Wooy, itu sih Harold Lloyd, moron! Itu Safety Last! Ah, jangan-jangan sampeyan ini belum pernah nonton satupun film Keaton!”) Hmm, ini susahnya kalo ngobrol dengan orang-orang yang pengen dianggap keren dalam hal menonton film. Tipe pergaulan kayak gini adalah: berlomba-lombalah dalam menambah vocabulary judul film. Pokoknya banyak-banyakan perbendaharaan nonton. Makin tebal kamus sejarah menonton kamu, makin keren kamu di mata orang-orang itu. Makanya saya sering banget dapet pertanyaan yang dilontarkan dengan nada-sok-heran-tapi-sumpeh-terdengar-melecehkan, “Haah? Masak sih Bud elu belum nonton?” Kalo udah gini, saya hanya bisa senyum-senyum saja, karena toh saya yakin mereka juga BELUM nonton film-fim yang SUDAH saya tonton. Sumpeh deh, saya YAKIN. Bedanya: saya tidak merasa perlu menanyakannya.

Nah, kalo si C gini. Waktu saya cerita bahwa saya barusan nonton filmnya sutradara Geoffrey Wright, Romper Stomper, film Australia yang sangat rasis, dia (yang belum nonton film itu) buru-buru menyela, “Wah ketebak sih, Bud. Gue kan tau siapa Geoffrey Wright. Dia tuh kulit item, itu tuh yang jadi Basquiat di film Basquiat. Jadi wajar dong begitu bikin film temanya rasis.” Astaga. Yang ini parah betul. Sebenarnya saat itu juga saya sudah mencoba meralat sok taunya itu, tapi gaya ngomongnya yang sangat-suka-memotong-dan-tak-mau-mendengarkan bikin usaha saya sia-sia saja. Males deh. Padahal saya tau betul, yang jadi Basquiat di situ bukan
Geoffrey Wright, tapi Jeffrey Wright. Serupa tapi tak sama. Mereka itu dua orang yang berbeda! Silogisme yang tergesa-gesa, dengan premis yang salah pula! Dasar dudul. (Dudul Garot, kata Badu.) Waktu saya cerita soal ini ke Flo (karena saya kesal buanget waktu itu) dia malah ketawa ngakak. Kalo Flo sih jelas tau betul Romper Stomper, sebab dia lagi tinggal di Aussie waktu film itu dirilis. Asyiknya Flo adalah, dia bisa menjelaskan sesuatu yang dia kuasai betul dengan cara yang rendah hati. Bukan tipe yang sebaliknya: sok tau segalanya tapi malah salah, yang mengesankan bahwa dia sebenarnya tidak tau apa-apa.

Flo tau betul cara menghilangkan kesal saya: dia lalu membelokkan pembicaraan ke pandangan teori post-colonial atas film Romper Stomper itu. Wuih. Dia mengutip salah satu artikel yang pernah dia baca (ingatannya luar biasa mengagumkan), bahwa film seperti Romper Stomper (dia juga menyebutkan contoh lain, Do the Right Thing) menggambarkan politik internal subkultur di mana etnis dan kekuasaan menempati panggung utama, yang mengarah pada konflik yang lebih besar, within society as a whole, blah blah blah… Busyet, saya nggak ngerti. Kalo soal film Basquiat, jangan tanya. Flo itu penggemar berat Jean-Michel Basquiat (selain juga Andy Warhol), dan di kamarnya ada beberapa replika lukisannya dan buku-buku tentang dia. Beberapa waktu lalu Flo sempat mengutarakan kekecewaannya pada buku terbitan lokal (kumpulan artikel terjemahan),
“Berontak (Bukan) Tanpa Sebab: Revolusi Menurut Para Pesohor Dunia”. Penerbit Alinea, Jogja, September 2003. Buku itu saya dapatkan di sebuah kios buku pinggir jalan di Jogja. Sengaja saya beli untuk oleh-oleh ke Flo, karena buku itu membahas juga soal Basquiat dan Warhol. Menurut Flo, buku itu nggak niat alias tanggung. Setengah-setengah, dan hambar. Astaga, pedas juga kritiknya. Tapi belakangan dia mengaku, bahwa kekecewaan itu lebih karena menurutnya tidak ada yang baru dari buku itu—dia punya artikel-artikel aslinya! Wah, susah juga kalo udah gini. Tau nggak Flo, ada teman saya, namanya Hamdani, rambutnya gondrong dan ketua Jong Sunda, SANGAT suka buku itu waktu saya tunjukin ke dia. ("Alus, euy!" ceuk dia mah..) Well, lagi-lagi de gustibus non est disputandum.

Soal Basquiat saya jadi inget ada seorang anggota baru di sebuah milis yang saya ikuti. Nama orang itu, sebut aja si X. Dia baru saja bergabung, dan posting pertamanya tentang pengamatannya yang unik soal angkot. Hanya gara-gara saya tau bahwa kata-kata mutiaranya diambil dari salah satu sajak Chairil Anwar, si X ini langsung ngimel japri ke saya. Kenalan, dsb. Waduh. Dipikirnya saya ini pasti penggemar berat Chairil Anwar. Jujur saja saya katakan ke dia, saya ini bukan penggemar berat “si binatang jalang” itu. Saya hanya pernah baca beberapa karyanya saja. Saya jawab begitu karena saya pikir itu lebih baik daripada saya ngaku-ngaku penggemar berat, trus nanti sok tau, dan malah salah. (Apa bedanya saya dengan si A, si B, dan si C tadi kalo begitu?) Saya juga bilang padanya bahwa kata-kata mutiara itu akhirnya saya pakai untuk memberi “judul” (atau apalah namanya) blog saya ini.

Lain waktu si X ngimel japri lagi, katanya dia sudah mampir ke blog ini. Trus dia bilang, dia punya kenalan baru (sebut saja si Y) yang juga ikut milis itu tapi pasif. Si Y itu bilang ke dia, bahwa moderator milis itu orang gila! Saya sempat bingung, sebab saya kenal baik moderatornya dan menurut saya waras-waras saja. Trus kenapa si X ngimel saya? Ternyata: si Y mengira sayalah moderatornya! Dipikirnya budibadabadu adalah “Mr. Moderator” (perhatikan dia pakai istilah “Mr.”) dari milis itu! Katanya, kalo nggak salah, si Y menyukai posting-posting saya di milis itu karena sebuah alasan tertentu. (Saya jadi inget komentar Sfx karena kurang lebih sama.) Waduh, tapi saya kok malah jadi kuatir. Jangan-jangan itu sindiran, jangan-jangan posting-posting saya itu isinya sok tau semua. Waduh waduh. Saya sudah ingetin Badu dari dulu, jangan pernah posting tanpa sepengetahuan saya wooy! Tapi Badu susah dikontrol. Dia bisa online kapan saja, bahkan di saat saya sedang tidur. Percuma saja saya ganti password e-mail saya. Dia selalu tertawa sinis mengejek saya, sambil terus-terusan mengutip Palahniuk, “I know this because Tyler knows this.” Awfahkk! Saya lalu nitip pesan lewat si X, tolong bilangin ke si Y bahwa bukan saya moderatornya. Lagian moderator milis kita itu bukan “Mr.”, tapi “Ms.”—dia sedang aktif posting kok akhir-akhir ini. Asyik-asyik, lagi.

Sejak saat itu saya mulai mengurangi keaktifan saya di milis tersebut. Mati-matian saya mengontrol jadwal online Badu, yang masih suka mencuri-curi kesempatan posting ke milis itu. Dia hampir saja mau mengirim satu e-mail agak panjang, respon terhadap subject yang lagi hangat tentang what-so-called-teologi, tapi untung berhasil saya cegah. Saya tau Badu pernah ikut sebuah milis tasawuf, dan saya yakin dia punya pendapat yang ingin dia bagi. Saya coba bujuk dia untuk mengomentari subject lain saja, seperti “outsourcing” misalnya. Badu tidak mau. Hey, kau pikir aku ini pekerja kantoran sebuah perusahaan besar dengan kantor-di-gedung-ber-AC, meja-berkomputer-online-24-jam, dan slip-gaji-tinggi-standar-dollar, yang tau hal-hal kayak gitu?!?! Baik, baik. Take it easy, pal. (Bukankah tidak perlu jadi pegawai kantoran dulu untuk tau hal itu? Tapi saya lagi males berdebat dengan Badu.) Nah, bagaimana kalo “pendidikan negeri kita” misalnya? Ada posting “lugu” yang bisa “dibantai” tuh! (Saya sengaja memakai istilah-istilah sarkastik kesukaannya.) Waduh, rupanya dia tidak tertarik. Biar orang lain saja yang membantainya, tukas dia. Dan betul, seseorang telah melakukannya. Badu tertawa membacanya. Saya tidak. I do know nobody loves being laughed at.

Lalu apa inti cerita saya ini? Saya tidak tau. Di awal tadi saya bilang, saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Tapi sekarang, jangan-jangan saya sedang mengecam sikap sok tau dengan sikap sok tau juga. Maling teriak maling. J
eruk minum jeruk. Bahkan jangan-jangan tidak cuma sekarang, tapi selama ini. Apa iya? Waduh waduh. Jika demikian adanya, alangkah ironisnya. Jika demikian adanya, saya benar-benar harus mengikat Badu ke tiang. Atau menjejalinya dengan obat penenang. Atau menyekapnya di gudang. Kalau begitu, pertama-tama saya harus mencari tali. Ada yang tau di mana saya bisa mendapatkan tali superkuat?
* * *

NB: Badu suka banget film Ateng Sok Tahu, 1976. Terutama pas adegan Ateng dan Iskak kerja di bengkel Diran. Motor gandengan lepas, dan mobil berjalan dengan tiga roda…

Saturday, September 18, 2004

::: brave new world


"...it was written that I should be loyal to the nightmares of my choice..."
(Heart of Darkness. a grreatt novella by Joseph Conrad. 1902.)

well, setidaknya saya sudah makin kuat dan berani menghadapinya. masih inget hari-hari bergayut mendung setahun yang lalu, ketika segala melankolia menggelembung di pundak, and I looked again towards the sky as the raindrops mixed with the tears I cried… sayonara itekdungtralala!

tadi sudah posting ke milis angkatan… akhirnya! yeah, say hello, kirim kabar, dsb. it’s just a matter of choice. ini jalan hidup saya. ini pilihan saya. apapun risikonya. apapun konsekuensinya.

terharu juga waktu baca email dari teman, yang mengutipkan Sound of Music buat saya: "Where God closes a door, somewhere He opens a window." that's so sweet. thanks ya! :)



Friday, September 17, 2004

::: selamat malam, malam!

it's over, i knew it would end this way
i hope you're with someone who makes you feel
that this life is the night
and it settles down, stays around
spends more time with you
i got no distance left to run
("No Distance Left to Run". Blur. 1999)
And it’s a completely normal evening—yes, we all think it’s just a completely normal evening—except for this curious, unpleasant headache haze and this strange false clarity of sound. But, perhaps, too, we can all sense something else, an extra thing, activity starting to occur somewhere in my Bada’s brain, and maybe in my Badu’s mind also a perverse, insidious reciprocity has begun.

Time for you to go to bed, Bud, says Badu to the air. Don’t forget to clean your teeth, Bada adds, stacking the pillows, his head bowed. I walk to the door and turn. For a moment I feel I am on the edge of their exhausted, frightening, migraine world, and feel that I could deliver from it, tell them something quickly about the other side. But I say:

Good night. Good night. Good night. Sleep well, folks.

(Thanx to Albarn for the great music and lyrics. Vinterberg for the great music video. And of course Amis for the great text.)

* * *

Thursday, September 16, 2004

::: the chaplin institute


“The story of industry, of individual enterprise—humanity crusading in the pursuit of happiness.”
(Modern Times’ opening title. Charles Chaplin. USA. 1936)

Jatinangor adalah kampus terik gersang nggak mutu. Minggu lalu saya harus ke sana untuk sebuah keperluan. Saya diundang menjadi pembicara di acara pemutaran film dan diskusi dalam rangka penerimaan mahasiswa baru. Bercucuran keringat saya ke sana, naik motor dibakar matahari, dan diasapi bis Damri. Sempat minum teh-botol-dingin-menyegarkan di kantin Sastra, mendaftar kembali film apa saja di tas saya (waduh, Man Bites Dog nyelip di mana ya?), kirim SMS sana sini (halo-hai-saya-sudah-sampai-nih), mengecek buku agenda, meraut pensil bujel kesayangan, Badu iseng mencoba menghitung jumlah pohon, sampai akhirnya seorang panitia datang juga menjemput. Astaga, masih muda banget (punten-kang-terlambat-dan-sebagainya-saya-sih-tersenyum-simpul-saja). Baik, baik. Kami naik ke lantai dua. Tajuk acaranya kurang lebih “Chaplin, Film, dan Sejarah”. Hmmm.

Panitia sempat mengajukan pilihan untuk memutar film Chaplin yang mana: The Circus (1928), atau The Kid (1925). Bahkan di layar in-focus (belakangan baru saya tahu mereka nyewa dari Ruku!) sudah tersorot gambar potongan scene dari film itu. Tapi saya keberatan. Saya pikir bukan dua-duanya. The Circus memang kental nuansa komedinya, sebuah jalan pintas yang tepat untuk kenalan dengan karya-karya Charles Chaplin. (Adegan berjalan-di-atas-tali-digangguin-monyet-dan-celana-melorot di film itu, what a brilliant tightrope sequence!) Sementara The Kid bolehlah populer karena hubungan emosionalnya dengan si kecil Jackie yang sangat menyentuh. (Adegan penyelamatan yang heroik dan dramatis di akhir film itu—diputar kembali di malam Academy Award, Los Angeles, April 1972 when 83-year-old-Chaplin was invited to return to America to receive a special Oscar—masih saja membuat saya merinding dan berkaca-kaca setiap kali menontonnya.) Tapi ngomongin Chaplin dalam konteks sejarah dunia (termasuk sinema), jelas lebih tepat jika memakai film Modern Times (1936). Ini bukan sekadar film komedi, Bung. Ini potret sosial yang jeli, sarat dengan satir. Dari film itu kita bisa membahas banyak hal: mekanisasi pabrik-pabrik dan dehumanisasi pekerja, perkembangan teknologi film (silent vs. talkie), kelas-kelas sosial masyarakat Amerika di era Depresi, perkembangan ideologi dunia, dsb, dsb. (Well, memang ada The Great Dictator (1940) yang memparodikan Hitler dan fasisme—yang tentu saja bisa memancing diskusi politik yang lebih seru—tapi ada masalah durasi yang terlalu panjang, dan hey, there’s no little tramp our little fellow there!) Dan tentu saja, di Modern Times masih tetap bertaburan ketrampilan fisik khas Chaplin: pameran kelenturan jasmani yang memukau, dengan pengaturan timing yang sempurna. Hurts and humor, hard works and hard-knocks, it’s all there! Semuanya dirangkai dalam plot cerita yang logis dan rapi, in a really careful display. Setelah mempertimbangkan segala masukan saya, panitia (mau nggak mau) akhirnya setuju. Pemutaran dimulai. Saya tersenyum melihat mahasiwa-mahasiswa baru masuk ruangan. Badu berbisik ke saya, “Hehe, coba kalo mereka tau elo juga angk…” Ucapannya terpotong sodokan sikut saya ke perutnya. Badu mesti diam meski dia tak suka Chaplin. (“I prefer Keaton,” he once said. “..or Lloyd.”) Whatever, Badu, just keep your mouth shut. De gustibus non est disputandum. Di ruangan yang lantainya berundak-undak itu, saya (dan Badu di sebelah saya) memilih duduk di pojok. Lampu dimatikan, film diputar. Saya masih saja bergetar menatap opening title berupa jam besar dan musik pengiringnya yang terasa menampar-nampar hati... Melempar saya kembali ke sebuah kamar sempit di Shinjuku, saat pertama kali saya menonton film ini beberapa tahun lalu... ("Kudamono ga doko desu ka?") ... Cahaya-berpendar-pendar-tak-rata, Chaplin beraksi, garis-semburat-tanda-tlah-lama, penonton tergelak-gelak, BA dan istri meringis sesekali... oh oh, benar-benar hitam-putih yang seksi!

Waktu diskusi, saya dan Maneka bergantian menjelaskan simbol-simbol film itu. I said like City Lights (another Chaplin’s masterpiece in the talkies-era, 1931), Modern Times was to be essentially a silent film with sound effects and a musical score … We talked about the Great Depression and the new problems of the 1930s—poverty and unemployments (“We’re not burglars. We’re hungry.”), the tyranny of the machine (one of the Budi’s most memorable film scenes of all time: Chaplin getting caught up in the cogs of a giant machine...), strikes and political intolerance, even narcotics (Chaplin-getting-high-in-jail is a very funny sequence!) … Maneka quoted Barthes to approach the proletarian theme. We admired the smart opening scene (a very cynical one, actually), a symbolic juxtaposition of shots of sheep being herded and of workers streaming out of a factory… Blah blah blah… Mulut kami berbusa-busa. (Ternyata siaran di radio dan ngomong langsung di depan audiens adalah dua hal yang sama sekali berbeda.)

Jatinangor benar-benar panas, terik gersang nggak mutu. (Senang juga waktu mereka menunjukkan salah satu program ospek mereka adalah menanam pohon-pohon di kampus. Dan saya langsung terkenang kampus rindang Ganesha yang pernah saya akrabi..) Kami lalu dapat sekotak konsumsi, meneguk air aqua, dan melanjutkan ocehan. Berikutnya benar-benar ke mana-mana… Bahwa Chaplin pernah ke Bandung dan nginep di Savoy-Homann… Bahwa Chaplin dituduh komunis dan diusir dari Amerika… Bahwa Chaplin pernah ke Prambanan dan nonton pertunjukan Sendratari Ramayana… Bahwa Jojon-Asmuni-Gogon adalah sekumpulan epigon yang gagal, Chaplin-wannabes yang ampun-deh-muke-lu-jauuh! … Gosip-gosip bahwa Che Guevara pernah ke Indonesia, dan Hitler hidup lama bersembunyi di Lombok… Astaga. Astaga. Lalu seseorang bertanya, soal kumis Chaplin dan Hitler, siapa meniru siapa? Waduh, nggak ada pertanyaan lain, apa? Both had chosen to wear similar moustaches, even if only one of them was real… Well, Chaplin dan Hitler memang banyak kemiripan. Mereka lahir hanya beda empat hari(!) pada April 1889. What a coincidence! Keduanya sama-sama mengalami masa kecil yang suram, sama-sama bergulat melawan kemiskinan, until they reached great success in their different respective fields—perhaps the best loved and the most hated men in the world. Maneka lalu menyambung, blah blah blah…

Waktu mau pulang, baru sadar kalau di luar turun hujan. Baiklah, kalo tadi berangkat kepanasan, sekarang pulang pun harus kehujanan. Bandung emang aneh. Tapi saya menikmatinya, sementara Badu terus saja menggerutu. Ini perjalanan pulang yang seru: Timbuktu ke arah Barat, waktu itu sudah sore, dan matahari hampir terbenam. Persis sekali adegan terakhir film Chaplin, berjalan ke arah horizon. Masih ada secercah harap esok hari. Saya ingat Tuan Polan, di mana dia sekarang? Dia benar-benar harus menonton film ini!

(Oya, saya dan Maneka tadi mengaku dari… The Chaplin Institute. Bilang aja kantornya di Sarijadi, di apartemennya Maneka. Dan orang-orang percaya. Untung nggak dimintai kartu nama. Belum bikin. Huahaha.)

* * *

Wednesday, September 15, 2004

::: masalahnya (selalu) sama...

"memble aje lu Bud, tukgling tralala!"
(Jox, seorang sahabat, sekitar 1068 hari yg lalu)

busyet. ngupdate blog aja nggak sempat. memble bener, yeah. huh.

Sunday, September 12, 2004

::: am i a sunset blvd.?


* * *

"...you see, this is my life! It always will be! Nothing else! Just us, the cameras, and those wonderful people out there in the dark! All right, Mr. DeMille, I'm ready for my close-up..."
(Norma Desmond in Sunset Boulevard. Billy Wilder, USA, 1950)

Hmm, iseng ikut what-so-called-tes-kepribadian itu gara-gara (baca blog) Rani. Hey rAni-Widya, thanx udah ngelink blog ini! Badu says, "welkam tu timbuktu!" (Where is Timbuktu, by the way? Well, it's between Timbukwan and Timbuktri! Hohoho..)

Thursday, September 09, 2004

::: kepada Yth. Tuan Polan (aka Mr. X)

"Do you know what a pessimist is? A man who thinks everybody is as nasty as himself, and hates them for it."
(George Bernard Shaw. "Unsocial Socialist". ch 5. 1887)

Tuan Polan, ini untuk Anda. Sangat cucok untuk menggambarkan "kepribadian" (jika itu pantas disebut "kepribadian") Tuan yang kerap kali sangat menjengkelkan:

"OXYMORON"
3 entries found:

1) "oxymoron"
ox.y.mo.ron
n. pl. ox·y·mo·ra (-môr, -mr) or ox·y·mo·rons
A rhetorical figure in which incongruous or contradictory terms are combined, as in a deafening silence and a mournful optimist. [Source: The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth EditionCopyright © 2000 by Houghton Mifflin Company.Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved.]
2) "oxymoron"
\Ox`y*mo"ron\, n. Rhet.)
A figure in which an epithet of a contrary signification is added to a word; e. g., cruel kindness; laborious idleness. [Source: Webster's Revised Unabridged Dictionary, © 1996, 1998 MICRA, Inc.]
3) "oxymoron"
n. : conjoining contradictory terms (as in `deafening silence') [Source: WordNet ® 2.0, © 2003 Princeton University]
* * *
Tuan Polan, saya harap Anda segera sadar. Hidup TIDAKLAH sekelabu itu. Masih ada fajar menyingsing esok hari, dan mentari menyinari dedaunan. Saya sarankan, menontonlah film-film Chaplin. Ini saran serius, bukan main-main. Mereka tidak sekadar lucu, tapi juga mengajarkan pada saya (dan semoga nantinya Anda juga) untuk tetap menyimpan harapan dalam keadaan sesusah apapun. Lihatlah, betapa di film-film itu, karakter Chaplin—the little tramp, our little fellow—selalu sial, sial dan sial, tapi toh dia tak pernah patah semangat sedikitpun. Dia mencoba dan terus mencoba. Di akhir cerita, Chaplin selalu berjalan menuju horizon: masih ada secercah harap esok hari.
Tuan Polan, Anda tahu di mana saya bisa dihubungi. PT Badu Films, Kompleks Timbuktu Permai. Kami punya satu rak khusus film-film Chaplin, plus buku-bukunya. Saya benar-benar berharap Anda mau mampir.
Teman lamamu,
Budi B. Badu
* * *

Tuesday, September 07, 2004

::: parto vs. infotainment: the rematch!

"satire is a lesson, parody is a game."
(Vladimir Nabokov. "Strong Opinions". 1973)

...and deadline is a horror!
(B.B. Badu. "Strong Oblivions". 2004)

Apa kabar ya Parto? Tadi malam, ketika berjam-jam berkutat dengan FinalDraft, secangkir kopi busuk, apel berulat, brosur paket wisata ke Timbuktu, dan Thom Yorke yang meracau di tape; tiba-tiba saya malah dapat ide ini:

FADE IN:

EXT. STREET - NIGHT

PARTO is holed up in the house shooting it out with bunch of WARTAWAN INFOTAINMENTS.

We hear the crash of a window and pistol (yeah, that legendary pistol) shots being fired from inside of it.

There are some uniformed Wartawan Infotainments in the foreground shooting back at the window.



CHIEF OF INFOTAINMENT
(shouts through megaphone)
You'd better surrender, Parto! You ain't got a chance!!
PARTO (V.O.)
(Purwokerto accent)
That's what you think, Crab! I've got enough ammunition here to kill the lot of you! Stay fuckin' away from my wife and kid!!
There are two more volleys of gunfire from both directions.
CHIEF OF INFOTAINMENT
(to his own men)
Guys, hold your fire. I've just have a thought. Maybe it's good for our gossip news.
(shouts through megaphone)
Hey Parto, let's have a truce for a minute! I wanna talk to you!
PARTO
OK, but I'm warning you, don't try anything!
Chief of Infotainment crosses into broken windows.
PARTO
What do you want, man?
CHIEF OF INFOTAINMENT
Mmmm, it's CZ-83, right?
PARTO
Yeah.
CHIEF OF INFOTAINMENT
Is it 7.65mm or 9mm?
PARTO
9mm.
CHIEF OF INFOTAINMENT
Do you have a licence for that gun in your hand now?
PARTO
Yeah, of course.
CHIEF OF INFOTAINMENT
Let me see it.
Parto shows him a slip of paper which he studies carefully, takes a picture of it, and then returns to him.
CHIEF OF INFOTAINMENT
Yeah, that seems in order. Ah well, it was just a thought.
Chief of Infotainment returns to his men.
CHIEF OF INFOTAINMENT
OK guys, carry on firing!
Wartawan Infotainment fire shots.
CHIEF OF INFOTAINMENT
(shouts through megaphone)
You'd better give up, Parto! You ain't got a chance!!
PARTO (V.O.)
Never!!
End on both sides firing just as they started.
FADE OUT.
* * *

Monday, September 06, 2004

::: senja truman yang lain...

well of course I'd like to sit around and chat
well of course I'd like to stay and chew the fat
well of course I'd like to sit around and chat
but someone's listening in.
(“Life in a Glass House”. Radiohead. 2001)

Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Setelah ngebut mengejar deadline skenario puluhan halaman (well, this project is much heavier), lalu menonton lagi secara acak Eisenstein’s Battleship Potemkin (what a grrreattt classic!), menelepon sana-sini (Bram is somewhere out there, I dunno), mengencangkan rem belakang Riri, mengecek arti kata “suffocate” di kamus, menjatuhkan sekotak tusuk gigi, menyeruput kopi busuk (c’mon, stay f**kin’ awake, pal!), sambil tetap tidak lupa memutar lirih-lirih-volume-standar-namun-pas Jarvis Cocker yang mendendangkan kesinisan terhadap fenomena-biasa-dari-kehidupan yang gagal dimaknai, dan membereskan jutaan hal-sepele-tapi-cukup-mengganggu-jika-tidak-ditengok, akhirnya sampai juga saya pada keadaan “favorit” ini, scene of the day: terdampar di sebuah ruangan berwarna cahaya kuning temaram, di meja papan di mana what-so-called intelektualitas milik beberapa kenalan pernah dipamerkan dengan percuma (bukan “gratis”, tapi “sia-sia”, dan justru beraroma blunder), juga di mana hahahihi diobral murah dengan nada frustrasi, dan segepok basa-basi selalu jadi menu pembuka yang lagi-lagi tak perlu, dan ya, saya kecewa. Saya kecewa. Saya kecewa. Hati saya mengeras, geraham ini selalu diam-diam mengatup tanpa pernah diminta, dan untung (wait a minute, untung? no, no, no, saya tak pernah terlalu yakin) bahwa pada akhirnya saya ketemu kenalan baru, seorang kikuk yang misterius-mengasyikkan. Saya melihat Jack the Narrator di depan saya, meringis menyapa: well, tentu saja kali ini saya adalah aktor watak selektif bertarif tiga puluh juta dollar yang layak menyabet Oscar. Gigi depan saya patah di sini, and ouch, your entire career will never be the same. Hai. Sudah lama?

Kami bicara di frekuensi yang sama—meski mungkin dengan mesin pemancar berbeda tahun keluaran, dia lebih klasik; kami memencet chapter yang sama di menu special feature; kami menangkap detil-detil serupa yang terlewat, juga membolak-balik kitab berdebu yang sama—bahkan selalu jatuh tepat di halaman yang itu-itu juga. Astaga. Astaga. Jangan-jangan kami menaruh merk susu yang sama di kulkas, dan menyiram jenis bunga yang serupa di kebun. Jangan salahkan saya jika kami terlampau mirip. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Saya juga heran kenapa bisa: bahkan sebentuk tindakan-yang-tak-bisa-dibenarkan yang dilakukan terhadap institusi kenalan saya yang lain (itupun jika memang, itupun jika memang!) sedikit banyak mengingatkan pada potensi-potensi kriminal yang diam-diam menyelinap ke laci-laci bawah sadar saya. Ouch.

Saya tak habis pikir, apa yang kami perbincangkan hingga dua jam terasa dua menit? (He’s not just another movie buff. Absolutely not.) Bahwa wanita dan pistol selalu ada di film-film Godard. (“The cinema is not the station. The cinema is the train.”) … Peckinpah yang brutal—jungkir balik saya nyari Wild Bunch, dan kamu punya?—kemudian saya tawarkan High Noon, film koboi "ayam sayur" yang cukup penting … Sudah nonton Nanook of the North? Oya sori, A Bout de Souffle-nya lagi ada di saya … Line favorit dia di Annie Hall, dan kami mengumpat kagum pada Woody Allen—saya lupa bilang, Damon Albarn pernah menyinggungnya di lagu “Look Inside America”, track ke-11 album Blur, 1997 … Nah, ini pertanyaan klasik, Bung: Chaplin vs Keaton, mana yang lebih baik? Sebenarnya bukan dua sih, tapi tiga: ada Harold Lloyd, and they’re big three of great silent clowns! Go find Safety Last! (1923)a master of daredevil comedy for high-rise antics in it, also remained an undervalued talent for many years … Oya, kenapa stand-up comedy belum bisa sukses diterapkan di Indonesia? Lalu kami bicara soal tradisi lawak pasca Srimulat … Eh, apakah Tersanjung masih ada? Udah 6 atau 7? What?! Si Indah masih belum berhenti menangis juga? … Tayangan televisi memang busuk, tapi toh kita tetap duduk berjam-jam di depannya. Kita melempar kulit kacang ke layar kaca sambil mengumpat kesal, lantas beralih ke buku di tangan kita, tapi toh mata tak bisa ditahan untuk tidak kembali mendongak menyimak “Ray Sahetapy tidak jadi menikah lagi” dan “Parto belum juga dipenjara” … Astaga, kami tertawa keras-keras. Beberapa pengunjung lain menoleh. Saya tak peduli. Entah dia. “So you just pretend to be an asshole?” Saya mengutip Andy Kaufman: ”It’s what I’m good at.”

Kami lalu “bertransaksi”. Ini semacam rencana barter: dia pengen fotokopi 653 halaman buku biografi Citizen Welles saya, dan untuk itu saya bisa meminjam novel Trainspotting dia. Orson Welles vs. Irvine Welsh! Even the names sound similar. Tak lupa saya rekomendasikan ke dia film Welles yang kedua, The Magnificent Ambersons, a brilliant drama from Booth Tarkington’s 1919 Pulitzer prize-winning novel. Dagu saya menunjuk, “Ada tuh, di rak kedua dari bawah”. Mukanya datar, “Sedahsyat Citizen Kane-kah?” Well, actually, it’s exciting in its own way, though the film was taken out of Welles’ hands, recut and reshot by others. Yeah, dia bergumam, Welles is a boy genius in cinema history … Tapi Bung, (saya benar-benar pamaeh!) saya bilang: sadar nggak, ada kejanggalan di Citizen Kane! Oya? Mukanya tampak tertarik. Yaitu? Saya nyerocos: bagaimana mungkin orang-orang di News on the March itu bisa tau bahwa “Rosebud” adalah kata-kata terakhir Kane, untuk kemudian antusias sekali mereka menyelidiki artinya? Hohoho, bukankah Kane mati sendirian di kamarnya? Bukankah dia mendesiskan kata itu seorang diri, lalu menghembuskan nafas terakhir sambil menjatuhkan bola kaca, sebelum akhirnya seorang suster datang? Bagaimana mungkin orang-orang bisa tau kata itu? Apa mereka menelepon Tuhan, the Writer Almighty, minta dikirimi halaman terakhir dari bundel script yang Dia tulis untuk “aktor” bernama Charles Foster Kane? Dia bengong. Entah takjub atau gondok. Well, maybe I am a natural born pamaeh. Peduli setan. Tapi saya inget betul, setidaknya saya tidak melakukannya waktu dulu nonton bareng film ini pertama kali di acara Kinemala (what a name!). Waktu itu saya sudah hampir melontarkan hal ini, tapi nggak jadi, takut merusak suasana di tengah decak kagum dan hujan pujian teman-teman atas Citizen Kane waktu itu. I am not a natural born pamaeh, then.

Well, dua jam yang dua menit itu tentu saja terlalu sebentar, tapi apa boleh buat: “Cut!” Another routine role telah menunggu? I dunno. So let’s say bubye dan sebagainya. (Astaga. Jadinya French New Wave atau Dogme 95? Baik, baik, nanti saja setelah 10 September) … Badu muncul tiba-tiba—merusak semuanya—menyodorkan segepok naskah berikutnya, membetulkan make-up saya, membisikkan kata-kata mutiara, dan dari studio angkasa nun jauh di atas sana Christof memberi aba-aba tak kasat mata: “Lights! Camera! Action!” Ah, the magic of those words! … Makan malam yang dobel di Dipati Ukur, sebab nasi-goreng-tidak-pedas malah menjadi sangat-pedas, dan saya (selalu!) tidak tega melihat muka bersalah penjualnya … Ada cabe yang nyelip di gigi nggak? ... Saya melihat Tom Ripley di kaca spion. "Forging signatures, telling lies and impersonating almost anyone." … Isi bensin di Katamso. Cikapayang selalu terlalu penuh jam segitu. Dan tetap tidak membeli kerupuk bapak tua itu… Ada pilu yang mengiris-iris, hati yang mengeras, dan geraham yang mengatup … Saya meringis dari balik helm, ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal, dan kecepatan standar 40 km/jam … Saya capek pasang topeng. Tapi hidup toh harus jalan terus. The show must go on! The life must go on! (So life is a show?) Ke depan, ke depan… Tok-tok-tok. Ragu-ragu saya mengetuk pintu: “Oh, Tom. Ayo masuk! Mana yang lain?” … Ke depan, ke depan… Jam dinding terus berdetak. Pukul segini Bram biasanya mati. Rutinitas ini, rutinitas ini: transkrip-brainstorming-dari-Jakarta, undian-biasa-hayo-siapa-dapat-dua, waduh-fax-rundownnya-nggak-kebaca, adakah-pengembangan-dan-semua-diam-saja, gelak-tawa-imitasi-yang-terbungkus-rapi, nasi-goreng-putih-pedas-telornya-dipisah, dan oya-ini-Rabu-rating-gimana? Deadline, deadline, deadline!

Di Tamankita rupanya lagi ada pesta … Fetisisme bersama atas bulan kelahiran, sementara June Afternoon Party justru sudah tidak pernah ada lagi … Sebelumnya ada pemutaran film, dan saya tertinggal diskusi. Ternyata filmnya diganti: L’Appartment, film lamanya Monica Bellucci—saya tidak tau pasti apakah yang lain juga menangkap aura Hitchcokian seperti yang saya rasakan di film ini. (Bahkan beberapa adegan pun tampak mirip. Simak Vertigo dan Strangers on a Train, and you’ll know why…) Saya tidak sengaja menonton film ini malam-malam di Lativi beberapa minggu lalu, yang secara semena-mena diubah judulnya menjadi Lost Love. Tapi ceritanya memang soal cinta yang hilang tak tergapai, dirangkai dalam plot rumit tapi mengasyikkan. Di Tamankita beberapa orang lama muncul lagi. Salaman-rangkulan-tepuk-bahu-dan-semacamnya. Senyum lebar muka-muka lama, nada hati-hati menanya kabar, sekarang-di-mana-oh-masih-di Bandung-waduh-saya-membatin-betapa-basa-basinya-atau-mereka-emang-betul-betul-pengen-bertanya-dan-saya-heran-sendiri-kenapa-hati-ini-masih-perih-juga-menjawabnya. Ada MR histeris gembira melihat saya. Tema pesta boleh nasionalisme, tapi urusan perut soal lain. Wine(?) yang lebih mirip air pandan, dan spaghetti(!) bikinan sendiri yang maklumlah jika kurang berasa. Tiup lilinnya! Tiup lilinnya! Kue pertama untuk saya! Dan kamera-kamera menyorotnya. Mari bersulang! Mari bersulang! Happy birthday, semuanya! Wish you all the worst! … Saya mungkin hanya capek. Lonceng di kepala saya berdentang duabelas kali... Keras sekali, keras sekali.. gemanya tak hilang-hilang. Pesta belum selesai—baru mulai—saya harus pulang. Saya meringis dari balik helm, mengangguk ke satpam (jangan liat spion!), masuk gigi tiga di perempatan Borromeus, dan saya menyanyi, "…dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…” ... Heran, masih ada juga lampu merah jam segini …ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura… Belok di sekitar Japati, kecepatan standar 40 km/jam, jaket ini terlalu tipis... mengapa kita bersandiwara... mengapa kita bersandiwara… Melambat, melambat, melambat… Ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal. Penerbangan ke Timbuktu masih jam satu. Barangkali masih ada cukup waktu…

Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Saya mencatatnya. Dan Badu tertawa.


* * *

Sunday, September 05, 2004

::: sunday, sunday

Damon selalu punya lagu yang lucu. Lirik yang (tidak) pas untuk hari Minggu kali ini. Videoklipnya busuk.

sunday, sunday here again in tidy attire
you read the colour supplement, the TV guide
you dream of protein on a plate,
regret you left it quite so late
to gather the family around the table,
to eat enough to sleep
oh, the sunday sleep
("Sunday, Sunday". Blur. 1993)

Well, it's just another boring Sunday. Zzzz..


* * *

Saturday, September 04, 2004

::: bersedia, siap, yak!

tak ada gunting pita, tabuh gong, atau ketok palu. atau pidato-pidato sambutan yang tak perlu. hanya lirik lagu ini. sangat mewakili. dan awas, corat-coret siap dimulai.

a fervoured image of another world
is nothing in particular now
and imitation comes naturally
but i've never really stopped to think how
and everyone is a clever clone
a chrome-covered clone am i
so in the absence of a way of life
i'll repeat this again and again and again
hey hey, come out tonight
hey hey, come out tonight
popscene, alright
yeah yeah yeah yeah yeah

("Popscene". Blur. 1992)


* * *