okt dog budibadabadu: 11/01/2005 - 12/01/2005

Friday, November 25, 2005

::: film akhir pekan


"To love is to suffer. To avoid suffering one must not love. But then one suffers from not loving. Therefore, to love is to suffer; not to love is to suffer; to suffer is to suffer. To be happy is to love. To be happy, then, is to suffer, but suffering makes one unhappy. Therefore, to be happy, one must love or love to suffer or suffer from too much happiness."
—Diane Keaton as Sonja, in Love and Death (Woody Allen, USA, 1975)


Seorang kawan baik saya, yang keberadaannya di dunia ini sempat diragukan oleh seorang teman baik saya yang lain (hal itu benar-benar menggelikan!), tiba-tiba mengirim e-mail ke saya—setelah sekian lama tidak. Pendek saja, hanya berisi quote di atas, plus beberapa kalimat pendek, salah satu di antaranya: "to love itu sama dengan to trust nggak?" Hmm, tricky question. Apa maksudnya dia melakukan hal itu, saya tidak tahu. Atau lebih tepatnya: saya tidak mau tahu. Dia memang penggemar berat Woody Allen, (sutradara jenius, yang dalam istilah dia: "Meski neurotik, tapi sangat stabil, jauh sangat stabil dibanding Hamlet, apalagi kamu, Bud!"), dan pernah bilang akan sangat senang kalau saya mau membahas film-film awalnya di blog ini. Woody Allen? OK. Saya juga suka. Hamlet? Saya sangat suka dia. Tapi, hey, wait a minute. Kok bisa-bisanya dia membandingkan tokoh nyata dengan tokoh fiktif. Mungkin bukan itu intinya. Bisa jadi dia membaca posting-posting saya sebelumnya. Saya tahu dia selalu membaca blog menyedihkan ini, mengintip, dan membubuhkan comment sesekali, dan di antara yang cuma sesekali itu kebanyakan adalah: sinis. Makasih.

Nah, jika memang iya—artinya kami bisa saling menoleh dan berkata, "d’ya think what I’m thinking, pal?"—apakah memang ada hubungannya antara 'to love' and 'to trust'? Sebab keduanya sama-sama 'to suffer', begitu dia menyimpulkan, di beberapa kalimat pendek tambahan di e-mail dia itu. Haha, kamu sok tahu! Batin saya. Terlalu dini, dan uhm, cukup sembrono. Tapi saya tidak terpancing untuk membahas hal itu. Dan, memangnya siapa subjek yang kita (atau lebih tepatnya, saya) bicarakan saat itu? Siapa? Saya? Bada? Badu? Nirmala? Haha, kamu sok tahu: revisited! batin saya ber-sekuel ria.

Sekarang weekend, tapi what is weekend, anyway? Is it weekend, or weakend? Tetap ada deadline macam-macam yang tak habis-habisnya itu ("Ayo beranjak!" seru Badu dari belakang, sambil melempar penghapus.); tetap ada segumpal penat di kaki dan segepok pegal yang bertumpuk; tetap ada tempurung kepala yang terasa memberat, dengan quote-quote film yang berseliweran di dalamnya, berserakan, dirubung lalat. Ah, tapi saya tahu: SEMUA sudah digariskan. (Wiih, Yth. Tuan Bijak Bestari is in da house!) Yo'i. Bukankah di saat yang bersamaan, Skenario Agung telah dituliskan, dan sedang dimainkan? Dan apakah ada revisi dari Sang Writer Almighty, saya kurang tahu. Saya hanya aktor di pentas akbar bernama Kehidupan ini ("Dunia ini.. panggung sandiwara..." kata Oom Kribo), dan jika aba-aba "Cut!" sudah diteriakkan, saya harus berhenti. Persoalannya, setelah itu apa? Take ulang? Ganti set? Revisi script? Atau "That’s a wraaap!"? Tidak ada lagi scene yang ada sayanya? *sambil membolak-balik naskah.* Boleh diulang, Pak Sutradara? Saya berjanji akan memberikan penampilan lebih baik. Sang Great Director hanya tersenyum. Saya tahu itu artinya "tidak". Apalagi di last line pada scene terakhir tadi Tom Ripley berucap, "If I could just go back… if I could rub everything out… starting with myself." Oh, poor Tom. Semuanya "if". Semuanya "Jika saja…" Semuanya "Aduh, kalo tau gini…"

Oh, man. Get real, napa?

Astaga, saya nyaris tak percaya bisa mengucapkan kalimat itu. Mulai lebih realistis, Bud? Saya suka. Saya gembira. Saya jungkir balik dan salto di udara. Saya dan personel band The Bagongs lainnya langsung menyanyikan reffrain lagu hits kami, "Gembira… Gembira…" Sekadar mengingatkan, band sampingan kami, The Bagongs (kependekan dari Badu and the Gongs) akan launching album perkusi pertama kami akhir bulan ini di Planet Mars. Dan ketika teman baik saya itu (cantik, pintar, baik, nyaris sempurna) saya kasih tau perihal keberadaannya-di-dunia-ini-diragukan-oleh-teman-baik-saya-yang-lain, dia malah mengutip The Usual Suspect (salah satu film laga-drama terbaik menurutnya) di SMS untuk saya, "The greatest trick the devil ever pulled, was convincing the world he didn't exist."

Sangat tepat. Dan lucu sekali. Ketika saya sedang mengagumi Sang Serba Maha, teman baik saya itu malah ngomongin Setan.


* * *