okt dog budibadabadu: 06/01/2006 - 07/01/2006

Monday, June 26, 2006

::: astaga, ini wish list ya namanya? oh man, di atas sana, tuhan pasti sedang tertawa terbahak-bahak...


Charlotte Haze: "Do you believe in God?"
Humbert Humbert: "The question is, does God believe in me?"
[Lolita. Stanley Kubrick, 1962]

Sudah amat sangat lamaaaa sekali, pengen:

[1] Membuka bisnis travel.
Apalagi begitu tol Cipularang dibuka, bisnis ini tumbuh menjamur bak cendawan di musim rambutan hujan. Tapi ciri khas itu penting, biar tak segera dilupakan konsumen. Maka business plan pun disusun. Lupakan pertanyaan standar dari belakang setir, "Mau turun di daerah mana, Mas?". Ganti dengan, "Mau turun di tahun berapa, Mas?" Yeah, karena nama bisnis perjalanan kami adalah: Time Travel.

[2] Punya rambut kribo ngembang, atau botak abis sekalian.
Tapi dua-duanya tak bisa dilakukan, atas beberapa alasan. Jadilah seperti sekarang ini: mirip pencapaian hidup kami, semuanya "serba tanggung". Nggak pernah pol. Pengen rasanya menyetel The Mars Volta keras-keras, atau dengerin R.E.M. sambil melayang di permadani terbang. Tapi toko karpet di sebelah tutup.

[3] Menulisi langit-langit kamar.
Dengan pilox merah, besar-besar, kata-kata mutiara: "Life is like a penis. Sometimes up, sometimes down. Sometimes big, sometimes small. Sometimes hard, sometimes soft." Kadang-kadang saya berpikir, waktu SD dulu Badu jenius juga. Tapi rapornya selalu merah dan sering tak naik kelas. Di buku kenang-kenangan sekolah dia menuliskan kata-kata mutiara favoritnya itu, dengan tambahan: "When it gets hard, f*ck it!" Setelah itu Badu minggat dari rumah, dan tak pernah kembali. Kadang-kadang saya kangen dia.

[4] Mengetapel bulan.
Ini obsesi Badu dari kecil, tapi selalu tak sampai. Mungkin perlu ketapel raksasa. Super raksasa. Kata Jonathan End, keinginan mustahil ini mirip peribahasa bernada ironis, "Bagai Badu mengetapel bulan."

[5] Berhenti nge-blog.
Karena: sumpah, tidak ada lagi yang menarik. Tapi niat mulia ini selalu digagalkan oleh sebuah godaan duniawi sialan berawalan huruf E dan berakhiran S dan tengahnya KSI. Oh, Bud, kasian deh lo...

* * *

Tuesday, June 20, 2006

::: atas nama antonioni


"It was written I should be loyal to the nightmare of my choice..."
Heart of Darkness, a grreatt novel by Joseph Conrad, 1902.



Tulisan saya dimuat di VISUAL ARTS, sebuah majalah seni rupa dwibulanan di Jakarta. Edisi #13, Juni-Juli 2006, halaman 73-76. Judulnya "Apa Yang Kau Cari, Antonioni?", membahas film Blow-Up (Michelangelo Antonioni, 1966).

Trus kenapa?
Hah. Iya ya, bener juga: trus kenapa?

Mungkin ini. Ada beberapa hal:

[1] Saya memang SANGAT SUKA film-film karya Michelangelo Antonioni. Rasanya senang bisa menuliskan hal-hal yang kita sukai. Sutradara Italia ini memang hebat. Meminjam istilah teman baik saya, Rantje, yang pertama kali mengenalkan film-film Antonioni ke saya: Kejeniusan Antonioni meredefinisi konsep film naratif, dilakukannya dengan menantang pakem konvensional tentang penuturan, realisme, drama, dan konsep kehidupan manusia secara keseluruhan. Perasaan yang distimulasi oleh keindahan gambar film-film Antonioni tidaklah jauh berbeda dengan perasaan yang selalu dialami oleh para karakternya: misterius, dan tak terungkapkan. Rasa teralienasi dan nuansa kehilangan di dunia yang terasing, mendominasi karya-karyanya.

[2] Yang lucu dari pemuatan artikel saya ini justru profil kontributornya, di halaman 4, yang bertebaran salah ketik dari redaksinya. Salah satunya, ditulis di situ: Budi Warsito, lahir di Solo, 1908. Haaa... Ketika saya tunjukkan kepada Rantje, yang juga partner saya di Kineruku, dia langsung bilang, "Hahahaha! Kurator Kineruku umurnya hampir 100 tahun, udah kakek-kakek tapi masih mau nulis!" Saya menjawabnya, "1908! Ini sih bukan Budi Warsito, tapi Boedi Oetomo!" :)

[3] Seno Gumira Ajidarma juga pernah membahas film Blow-Up di salah satu eseinya yang dahsyat tentang fotografi. Dia kan fotografer juga. Dan, kok ya kebetulan banget, kineruku, di mana saya menjadi kuratornya, program monthly screening-nya untuk bulan Juni ini memutar karya-karya Antonioni, dan tentu saja salah satunya adalah film Blow-Up, yaitu Sabtu, 24 Juni 2006.

Tertarik datang? Filmnya BAGUS BANGET BANGET BANGET!
Sampai jumpa dengan Budi, Bada, dan Badu di sana!

* * *

Tuesday, June 06, 2006

::: bahwa seteru abadi tak pernah mati

pagi itu, mungkin seribu tahun yang lalu, atas nama embun-embun tak bertuan dan bisikan setan yang tak beralasan, aku berniat meracuni sarapanmu. semua telah siap, segala bakal beres: secawan racun dari mulut ular paling berbisa di dunia, kata-kata terakhir dengan senyum sinis yang dilatih ratusan kali di depan kaca, juga segenap detil lainnya dengan pengaruh film-film detektif murahan di sana-sini. namun seperti kisah-kisah klise di buku dongeng, ternyata gelas kita tertukar: tanpa sadar aku menenggak racunku sendiri. (arghh, 'ternyata'—bukankah itu kata sialan yang sudah lama berusaha kita hapus dari kamus?)

betapa usangnya. tapi juga betapa perihnya: wahai siapapun yang merasa jenius sudah menciptakan istilah 'senjata makan tuan', silakan berbangga, bung. pagi itu pula, aku kemudian menggelepar meregang nyawa, mati konyol dan sia-sia. leherku melepuh, dan perutku terbakar dengan indah (sia-sia saja berusaha mengutuk), sementara parasmu tampak memucat dengan kecemasan yang putih dan tulus. adakah kau khawatir? keringat sisa bercinta semalam memantulkan cahaya keperakan di pipimu yang cekung, lalu semuanya memburam: selamat tinggal.

jika dada rasa hampa,
dan jam dinding yang berdetak.


bahkan kita dulu pernah foto bersama. masa muda yang gelap? lihat, kau tampak limbung mengacungkan sebotol bir, menggumamkan sebaris puisi chairil anwar, dan kembali meracau tentang karya-karya ginsberg. astaga, betapa noraknya. sementara aku berdiri tolol dengan pupur tebal yang tak kalah noraknya, memakai topi rombeng yang bolong-bolong dimakan ngengat, juga asap tembakau yang mengepul dengan aroma daun surga, dan kata-kata mutiara sialan betapa dunia adalah panggung sandiwara. mungkin kita hanya terlalu serius menyiasati kedunguan masing-masing. bukankah kuil tempat kita rajin berdoa hanyalah bioskop tua dengan sejuta sarang laba-laba, dan yang tersisa adalah chaplin yang tak bosan-bosannya berjumpalitan menuai tawa yang tak pernah ada? kita hanya meringis tipis, sebab belati sedang menancap di masing-masing perut, merobek lambung dan membanting harapan, sementara sidik jari kita jelas bertebaran, bersilangan dan berseberangan. tiba-tiba segalanya serupa nafas terakhir kita yang tersengal-sengal: keteraturan tidak lagi menarik. jari kita basah meraba luka, dan terasa genangan darahnya terlalu becek, tapi senyum tetap berusaha dipaksakan, begitu senyap, dan redup mata bertahan menatap layar: kenapa kita selalu berusaha saling membunuh?

tiba-tiba kau ingat maut dan bertanya
adakah taman puspa di atas sana.

dan aku hanya bisa tertawa. gara-gara kita, bioskop tua itu lalu ditutup selamanya, dengan berita kecil di koran lokal.
kini, dari nisan tua yang makin jarang kau ziarahi: serupa hantu gentayangan yang terus mencoba, aku kembali turun ke bumi, dan bersumpah akan terus mengusikmu. dan bersikeras membunuhmu. lalu pertarungan bisa kita lanjutkan di alam baka. jika hari perhitungan tertunda, jika tuhan terlalu sibuk dengan angka-angka, jika surga-neraka tak pernah ada.

lalu kita berdua menulisi buku harian masing-masing dengan tinta darah: "do you know how to make god laugh? MAKE A PLAN."

* * *