okt dog budibadabadu: ::: peramal, peramal, alangkah indahmu... merah kuning hijau, di langit yang biru...

Friday, August 11, 2006

::: peramal, peramal, alangkah indahmu... merah kuning hijau, di langit yang biru...



"No, I don’t believe in voices, because I hear them all the time…"
—"There’s No Emotion", Pulp, 1986. [lagu favorit Badu jika mulai diserang halusinasi]

Di rumah pohon kami yang rasanya dari hari ke hari makin berantakan saja, kami bertiga (Budi, Bada, dan Badu) sedang sok serius membaca ulang novel The Catcher in the Rye (1951). Masing-masing dari kami memegang 1 novel sendiri. Mungkin ini sudah pembacaan yang ke-... 1.089 kalinya. Yeah yeah yeah, kami bertiga memang menggilai masterpiece Yth. Tuan J.D. Salinger itu. Di perpustakaan pribadi rumah pohon kami, total ada 5 buah novel itu, masing-masing dalam edisi cover yang berbeda-beda. Seharusnya ada 7, tapi 2 buku sudah saya hadiahkan ke dua orang teman saya.

Go to hell with pameo usang "Don't judge a book by its cover". We do judge a book by its cover. Saya beli edisi sampul warna coklat bluwek yang corny, ada gambar Holden Caulfield lengkap dengan topi berburunya yang warna merah, sepintas mirip novel picisan alias pulp fiction. Badu beruntung nemu versi cover merah marun, polos tanpa ilustrasi (hanya ada tulisan judul dan nama pengarang), sangat elegan waktu difoto untuk sampul majalah Esquire edisi spesial J.D. Salinger yang misterius. Sementara Bada yang (sok) stabil lebih memilih sampul putih polos plus sedikit garis-garis yang oh-plis-deh-nggak-banget pokoknya [tapi denger-denger Tuan Salinger malah paling suka yang versi ini. *orang yang aneh…*]

Meskipun kami bertiga amat sangat memuja banget buku itu, tak seorang pun dari kami yang kemudian terpikir untuk menembak John Lennon, apalagi musisi lokal—karena memang tidak ada satupun dari mereka yang layak untuk dibunuh. Tiba-tiba Badu nyeletuk: "Eh, tapi kan John Lennon pernah nyanyiin lagu The Beatles yang liriknya, 'They’re going to crucify me…', bukan?" Bada mengangguk, "The Ballad of John and Yoko".

Badu langsung menyambar, "Hey guys, tidakkah lagu itu, disadari atau tidak, seolah meramalkan nasib John Lennon sendiri? Mark David Chapman "crucified" him, dengan memuntahkan beberapa timah panas ke dadanya…" Bada tertawa, "Haha! Bener juga! Jangan-jangan John Lennon itu seorang peramal!"

Saya sudah hampir ikut tertawa, tapi tidak jadi, karena tepat setelah itu Badu langsung mengajukan usul iseng, "Bagaimana kalo kita bikin permainan? Nama permainannya: Kompetisi-Mari-Menyebutkan-Judul-Lagu-Yang-Seolah-Meramalkan-Dirinya-Sendiri. Woohoo, it's gonna be fun!"

Woohoo gundulmu! Saya mengutuk dalam hati. Kompetisi? Mampus saya. Keringat dingin mulai membasahi kening dan kerah baju saya. Dalam kompetisi APA PUN dengan Bada dan Badu, saya HAMPIR SELALU kalah.

"Hadiahnya apa?" Bada meladeni dengan tenang. Badu meringis (lebih tepat menyeringai, sebenarnya) lalu berkata, "Oh man, reward is sooo last year. Bagaimana dengan punishment? Yang kalah kita hukum seberat-beratnya..."

Saya mulai melihat sepasang tanduk jahat tumbuh di kepala Badu.

"Misalnya?"

"Yang kalah kita sundut rokok! Atau kita gelitikin sampe mati kaku! Trus kita congkel matanya! Kita jadiin makanan buaya! Pokoknya harus sesuatu yang menyenangkan!"

Waduh. Rupanya arti kata 'menyenangkan' sudah jauh bergeser di kamus hidup Badu. Saya berusaha mencegah permainan bodoh itu, karena dikalahkan di sebuah permainan bodoh itu jauh lebih bodoh. Dengan nada panik yang tak bisa disamarkan, saya berkata, "Guys, come on. Ngapain sih pake bikin kompetisi-kompetisi segala? You like to interpret songs more than you should. Ayo lah, don’t build your life on pop song’s philosophy!"

Tapi dasar kepala batu, Bada dan Badu tetap pada pendiriannya. Saya juga, sebab berdiri-tegas-dan-menentukan-sikap itu sangat penting di dunia yang serba goyah dan makin meragukan ini. Kata Bada, "Kamu lupa ya? Kita ini anak band, Bud! Masak sama permainan kayak gini aja takut?" Kata Badu, "Nggak asyik euy, si Budi. Katanya rock 'n' roll... Mana buktinya? Rok and blus, kalii..." Bada dan Badu,"Hahaha! Daster aja sekaliaaan..."

Berteman dengan dua cecunguk seperti mereka memang butuh kesabaran tersendiri. Karena tak ada titik temu, dan musyawarah untuk mufakat tak bisa diterapkan juga, akhirnya kami terpaksa melakukan voting. Pemungutan suara. Dan bisa ditebak, saya kalah voting. 1 lawan 2. Damn.

Permainan dimulai. Peraturannya sebagai berikut:
1. Mengajukan judul lagu, harus dengan menyebutkan liriknya.
2. Jika forum menyatakan jawaban itu sah, baru mendapat poin.
3. Yang kalah bakal disiksa. Jenis siksaan ditentukan berikutnya.
4. Tidak boleh curang. Yang curang bakal disiksa.
5. Dilarang menyudahi permainan tanpa persetujuan forum. Yang melanggar bakal disiksa.


Gong dipukul, dan waktu berjalan. Kening kami berkerut, dan seperti yang bisa saya duga, kening saya lah yang paling kusut. "Perlu disetrika, kening lo Bud?" Badu mengejek saya. Biasa, teror mental alias perang urat saraf. "Itu tuh, pake setrika arang yang ada ayam jagonya, mau?" Tenang Bud, tenang, batin saya mati-matian. Saya berusaha menutup kuping, mengatur nafas, dan tetap fokus. Sambil terus berpikir.

Menit demi menit berlalu, belum ada yang bisa mengajukan jawaban lagu apa. Permainan ini ternyata tak mudah.

"Ah!" Tiba-tiba Badu menjentikkan jari—saya bahkan bisa melihat gambar bola lampu berpendar di atas kepalanya—lalu berteriak dengan suara cemprengnya yang legendaris, "Leaving on a Jetplane!!! John Denver, 1969."

Sial. Bener juga. Kenapa tadi nggak kepikiran ya?
I'm leaving on a jetplane
don’t know when I'll be back again
oh babe, I hate to go…
Lagu "Leaving on a Jetplane" diciptakan John Denver, musisi folk Amerika, pada tahun 1967. Sekitar 30 tahun kemudian, lagu itu seolah meramalkan nasib penciptanya sendiri: pada tahun 1997, John Denver tewas kecelakaan pesawat terbang yang dikemudikannya sendiri. He’s really leaving on a jetplane... Jenazahnya kemudian diperabukan, dan bahkan seperti mengikuti lagu hits-nya yang lain, "Rocky Mountain High", abunya pun ditebarkan di Rocky Mountains, Colorado.

"Ha ha ha! Mampus kalian! 1 poin buat aku! Kamu, Bud? Nol! Kamu, Bad? Nol? Kalian emang nol besaaar!!!"

Meski gondok setengah mati atas mulut besar Badu, rasanya saya ataupun Bada tidak perlu sampai menanduk dada Badu hingga terjengkang. Bagaimanapun, fairplay harus ditegakkan. Forum menyatakan jawaban Badu BENAR.

Skor sementara, Budi : Bada : Badu = 0 : 0 : 1.

Permainan berlanjut. Semua kembali pada kebisuan masing-masing. Menit demi menit kembali berjalan. Semua berpikir keras. Memeras otak. Menggali ingatan. Memutar akal. Keringat dingin saya mulai membanjir, dan untuk mengelapnya sendiri sudah habis tissue satu gulung ukuran besar. Di pojok ruangan, Bada berusaha keliatan tetap tenang, meski saya tahu kecemasan mulai menjalar di tampangnya yang jelek itu. Sementara Badu, yang tampangnya paling jelek di antara kami, tersenyum penuh kemenangan. (Senyum dan tampang Badu berbanding terbalik. Semakin banyak Badu tersenyum, semakin jelek tampangnya. Sungguh tak tertolong.)

"Hey, ngapain kamu ngurusin tampang aku, Bud?"

Buset! Rupanya Badu bisa baca pikiran saya. Baiklah, ayo konsentrasi lagi. Ayo, cari lagu apa yang ternyata meramalkan dirinya sendiri. Demi mencairkan kegugupan, saya mencari minuman dingin di kulkas. Kemarin Badu bilang dia belanja beberapa jus buah segar. Saya lihat beberapa botol plastik berjejer di dalam kulkas. Ada tulisan Badu di label setiap botol. Hmm, dasar kurang kerjaan. Tapi tampaknya enak juga. Kita liat..
- Sari Buah Tomat: Gusi pun Lebih Terawat. [Huh, biasa...]
- Sari Buah Wortel: Mata Sehat Pria-pria Gatel. [Apa sih???]
- Sari Buah Mengkudu: Makin Mateng Makin Bau. [Plis deh!!]
- Sari Buah Terong: Pasti Jrek Nong! [Buseettt...]
- Sari Buah Simalakama: Minum Segan, Mati Tak Mau. *speechless*
- Sari Buah Dada. [What? *saya mengucek-ucek mata* Astaga, beneran! Sari Buah Dada! Apa maksudnya?]
Saya ambil botol Sari Buah Dada itu. Isinya lebih mirip bubur. Kental, merah kecoklatan. Rupanya Badu menangkap keheranan saya, "Oh, itu dari RS Panti Waras Timbuktu, Bud! Katanya buat menutup biaya operasional rumah sakit yang makin tinggi, sekarang semua unit dibisniskan. Termasuk Ruang Autopsi Mayat!"

Ruang Autopsi Mayat? Bentar, perasaan gue nggak enak nih...

Badu terus nyerocos, "Iya, beberapa organ tubuh yang masih tersisa, dimasukin ke blender, tambahin sedikit gula dan pemanis buatan, jadilah semacam jus. Trus dijual bebas di supermarket. Nah, yang sedang kamu pegang itu salah satunya..."

"Hooeekkkk...."

Saya muntah membayangkannya, tapi Badu malah ketawa. Saya tak jadi minum jus sialan itu. Rasa haus saya mendadak hilang entah ke mana, dan mungkin saya akan trauma minum jus sampai 3 bulan ke depan.

Saya pun terpaksa balik lagi ke permainan tolol tadi. Susah bener ya, lagu apa lagi sih? Untungnya saya tidak sendirian. Bada juga belum nemu jawabannya. Permainan ini terlalu susah, dan karena itu mulai membosankan. Saya jadi ngantuk. Mengingat "ketiduran" tidak disebutkan dalam peraturan, sempat terbersit ide "Hmm, kenapa aku nggak tidur aja ya?" Tapi demi menjaga sportivitas dan kesopanan (rasanya kok tidak etis ya, ketauan ketiduran di tengah perlombaan), saya memasang kacamata bergambar bola mata melek (penemu alat ini sungguh jenius!), dan beberapa detik kemudian saya pun siap terlelap. Mata tetap terlihat melek, dan volume ngorok sudah saya kecilkan. Haha, mereka tidak akan tahu!

Di saat terlelap itulah, entah saya sedang mimpi buruk atau ini beneran, saya merasa mendengar ada suara pengamen bermain gitar genjrang-genjreng tak keruan di bawah rumah pohon kami. Aduh, berisik amat sih. Kalo tidak salah, lagunya adalah lagu busuk dari band paling busuk di negeri ini. Berakhiran A, berawalan D, tengahnya EW. Liriknya benar-benar menusuk kuping, karena suara pengamennya bener-bener jelek, lebih fals dari Iwan Fals, dan lebih sumbang dari Doel Sumbang.
Separuh nafasku, terbang bersama dirimu
Saat kau tinggalkanku, salahkanku...
Salahkah aku, bila ku bukanlah seperti aku yang dahulu...
Otak lemot saya suka jadi lebih lemot kalau lagi ngantuk. Setelah lirik itu diulang-ulang, melalui vokal yang makin ke sini makin sember, saya baru sadar sesuatu. Damn! Itu dia lagu yang saya cari-cari! Ya, itu! Itu! Saya gelagapan, berusaha bangun dari tidur, demi meneriakkan judulnya, lalu saya terhindar dari kekalahan dan tak jadi disiksa!

Tapi setiap kali saya berusaha bangun, yang terjadi adalah: saya terbangun, tapi itu pun ternyata dalam mimpi. Begitu saya berusaha bangun lagi, itu pun terbangun dalam keadaan mimpi lagi. Mimpi lain lagi, dan mimpi lain yang lain lagi... Begitu seterusnya. Berulang-ulang, berlapis-lapis. Damn, saya sedang tidak butuh absurditas-surealisme-atau-apalah-itu-namanya sekarang... Bangun, Bud! Bangun! BANGUUNN..!!!

Setelah bersusah payah mengumpulkan segenap kesadaran, akhirnya saya berhasil bangun dan membuka mata. Tapi adegan yang pertama kali tertangkap adalah: dalam gerakan slow-motion, bibir Bada (ya, bukan saya, tapi Bada!) bergerak pelan, begitu dramatis, dan lamat-lamat mengucapkan judul lagu sialan itu.

"Separuh Nafas, Dewa, 2000."

ARRGGHHH!!! Sejuta topan badai! Harusnya saya yang ngomong! Bada tampak tersenyum bahagia saat menjelaskan, "Bud, Bad, simak liriknya: 'Salahkah aku, bila ku bukanlah seperti aku yang dahulu...' Itu bisa diartikan sebagai ketakutan bawah sadar Dhani waktu itu ketika Ari Lasso bukan lagi vokalis Dewa. Sebenarnya, waktu awal-awal Once masuk sebagai vokalis baru, Dewa belum sepenuhnya ditinggalkan para penggemarnya. Malah, album Bintang Lima tembus satu juta kopi. Tapi SEKARANG?!?! Lihat, Dewa makin berusaha tampil aneh. Dhani Ahmad makin dominan dan sok nyleneh. Mending kalo bagus. Ancur, Bos! Nah, lagu Separuh Nafas dulu itu seakan-akan meramalkan nasib mereka sekarang ini: 'Saat kau tinggalkanku... Salahkanku...' Ya, bukankah kini para penggemar mulai meninggalkan mereka? Salahkan Dhani. Mestinya ada yang bilang ke dia, daripada bikin gosip-gosip gak mutu untuk infotainment, mending bikin lagu bermutu untuk album berikutnya..."

Kami (terpaksa) manggut-manggut mendengar uraian panjang lebar Bada. Betul juga sih. Forum menyatakan, JAWABAN ITU SAH.

Skor berubah. Budi : Bada : Badu = 0 : 1 : 1. Mampus... Mampus... Saya bakal disiksa.

Badu menyambung pendapat Bada, "Tapi lucu juga ya. Sementara lirik lagu itu berisi kecemasan, tapi videoklipnya justru sebaliknya. Optimis abis! Pede berat lah! Ngerti kan, maksud aku?"

Diam-diam saya mulai mengingat-ingat videoklip yang dimaksud Badu. Oh yeah, saya ingat. Modelnya Titi Kamal dan Suti Karno. Ceritanya, mereka rebutan remote-control untuk memindah-mindah channel TV. Tapi ke mana pun mereka pencet, semua saluran sedang menayangkan Dewa. Mulai dari liputan konser Dewa, siaran berita tentang Dewa, kuis yang ada Dewa, acara anak-anak di mana Joshua menyanyi lagu Dewa, bahkan liputan Ade Rai sedang fitness sambil melafalkan lagu Dewa. As if the world is all about Dewa. Ironis sekali, jika mengingat liriknya. Haha, kentara sekali Dewa menghibur diri waktu itu!

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Oh, ini mungkin bisa menyelamatkan saya dari kemungkinan disiksa! Saya pun angkat bicara, "Eh, Bada, Badu. Ngomong-ngomong soal videoklip ya, ada juga lho, videoklip yang meramalkan dirinya sendiri!"

Bada dan Badu saling berpandangan, lalu serempak bilang, "Maksud lo?"

"Iya! Ingat videoklip "November Rain"-nya Guns N' Roses? Tahun 1992... Ah, kalian pasti inget! Ceritanya, pernikahan antara sang model di videoklip itu dengan Axl Rose! Kalian inget adegan waktu mereka tukar cincin di gereja? Slash mendadak melangkah keluar, meninggalkan teman-temannya, keluar dari gereja, lalu bermain gitar sendirian di padang luas! Dan kalian tau kan, apa yang terjadi di dunia nyata setelah itu? Slash benar-benar keluar dari Guns N' Roses, Sodara-sodara! Dia tinggalkan Axl Rose! Dia bersolo karier, main gitar sendirian! Yah, akhirnya ama temen-temennya juga sih... Bikin side project, seperti Slash's Snakepit! Trus terakhir ya Velvet Revolver itu! Tapi intinya, Bos... videoklip "November Rain" itu seolah meramalkan nasib Guns N' Roses sendiri! Hahaha! 1 poin buat aku!"

Woohoo!!! Saya bertepuk tangan keras-keras. Heboh. Sendirian sih. Mereka tidak. Peduli setan. Pokoknya saya senang nggak jadi pecundang.
Tapi ternyata oh ternyata, mereka tidak terima jawaban saya.

Kata Badu, "Oh, nggak bisa, Bud! Nama permainan kita adalah Kompetisi-Mari-Menyebutkan-Judul-Lagu-Yang-Seolah-Meramalkan-Dirinya-Sendiri. Ingat, LAGU, Bud, BUKAN VIDEOKLIP!!!"

Bada menimpali, "Yo'i, Bud. Badu benar. Lagian kalo mau ngomongin videoklip yang meramalkan diri sendiri, ada contoh yang jauh lebih tepat. "Coffee and TV"-nya Blur! Ada keterkaitan jelas dengan lirik lagunya! Dan Badu pernah menulis esai tentang itu kan?"

Tapi, kan... Tapi, kan...

Mereka tetap menggeleng. Forum menyatakan jawaban saya TIDAK SAH. Oh my Ghost, saya benar-benar pengen membunuh mereka.

Tapi ada daya, peraturan adalah peraturan. Tak seperti ending film-film Hollywood, cerita ini pun berakhir tragis. Karena kalah di permainan tolol ini, saya disiksa oleh Bada dan Badu. Seperti apa jenis penyiksaannya, saya tidak tega menuliskannya di sini.

Ada yang bisa bantu saya?
Tolooonngggg....
FADE OUT.

* * *
NB.
Foto © Budi B. Badu, 2006. Hasil jepretan Badu, foto fosil cicak (atau tokek, binatang peramal?) di dinding-dinding gua dari zaman purbakala. Badu selalu merasa dirinya arkeolog. Wahai wanita-wanita berumur yang belum juga punya pasangan, coba dekati Prof. Badu. Ingat, dia seorang arkeolog, prinsipnya: "Makin tua Anda, makin tertariklah dia..."