::: dr. strangepop, or how they learn to start worrying and hate the fame...
“You aren't really anybody in America if you're not on TV.”
[Nicole Kidman in To Die For, Gus Van Sant, USA, 1995]
Berapa harga popularitas? Kalau menurut ayah pemenang AFI 3: setidaknya Rp 100 juta. Jujur sekali dia, batin saya, ketika membaca pengakuan itu di sebuah media. Beberapa minggu lalu, terkantuk-kantuk saya menghabiskan makan malam yang terlambat, di depan televisi yang menayangkan "Wisuda" 12 akademia AFI 3—sangat membosankan. (Wisuda? Plis dong deh! Bukankah yang tereliminasi harusnya DO?)
Ketika kontes popularitas sedang menjamur di negeri ini, saya malah teringat Kurt Cobain, yang tersiksa karena popularitas; atau J.D. Salinger, yang justru menghindari publisitas. Saya tidak tahu apakah kelak di kemudian hari AFI 3 akan selalu diingat dan dikenang orang (seperti harapan mereka dengan menyanyikan lagu Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan di akhir acara), sementara kita semua tahu bahwa album-album Nirvana dan novel Catcher in the Rye terbukti abadi.
Jika di Barat sana—yang notabene juga tak lepas dari hasrat menghamba pada popularitas [coba tengok lagi quote di atas]—telah tercatat beberapa contoh figur populer yang justru muak dengan ketenaran, kemudian hengkang darinya, bagaimana dengan di Indonesia? Saya tidak tahu. Yang jelas, beberapa televisi Indonesia, selain menjejali pemirsanya dengan puluhan infotainment yang nggak mutu, pernah juga menayangkan videoklip Blur, Coffee and TV, yang entah disadari atau tidak oleh khalayak, sebenarnya bercerita dengan sangat bagus perkara “dunia popularitas”.
Ini dia catatan ringan yang ditulis Badu sebagai penikmat setia lagu-lagu Blur, atas kejeniusan seorang Graham Coxon menulis lagu, dan kejelian seorang Garth Jennings menerjemahkannya ke dalam bahasa videoklip:
>> kopi, tv, popularitas
Sebuah kotak susu berjalan di tengah keramaian kota. Di badannya menempel selembar foto anak hilang. Susah payah ditembusnya segala rintangan perjalanan itu: jalan raya yang penuh mobil, orang-orang berlalu lalang, risiko terlindas dan terinjak. Bagaimanapun, si anak hilang harus segera ditemukan. Di rumahnya telah menunggu dengan cemas sepasang orang tua—muka mereka murung.
Videoklip Coffee and TV adalah cerita tentang sebuah misi mulia. Sebuah upaya penyelamatan. Perjalanan si kotak susu menjadi sangat heroik sekaligus mengharukan. Dan perjuangannya tak sia-sia. Si anak hilang berhasil ditemukan—dia sedang bermain musik, nge-band bersama teman-temannya. Si anak hilang pun bergegas pulang, meninggalkan teman-temannya, kembali ke rumah orangtuanya. Tugas si kotak susu selesai.
Blur, band asal Inggris, berhasil menerjemahkan lirik lagunya ke dalam bahasa gambar videoklip dengan cara yang ‘berbeda’. Lirik lagu Coffee and TV sendiri bercerita tentang seorang superstar yang lelah akan dunianya. Lirih, lagu bernuansa minor ini dilantunkan—setengah berharap, setengah mengejek. “Do you feel like a chain store/ practically floored/ one of many zeros/ kicked around bored…” Popularitas menjadikan seorang bintang seakan-akan (harus) hidup dalam deretan etalase toko: siap dilihat-lihat, dan oleh sebab itu harus bagus—karena konsumen adalah raja. Sang bintang pun terjebak dalam rutinitas itu: rangkaian konser yang gegap gempita, jadwal tur yang melelahkan, kejaran pers, dan histeria penggemar.
Ruang gerak pun menjadi terbatas. Privasi tiba-tiba menjadi satu hal langka. Penggemar bisa berada di mana saja, siap mengejar-ngejar untuk sekadar tanda tangan atau foto bersama. Sesuatu yang mungkin pada awalnya menyenangkan, membanggakan, tapi lama-kelamaan merepotkan juga. Sang bintang pun merasa letih. Mungkin juga jenuh—dan karenanya ingin sekali-kali hengkang dari situ. Di bagian reffrain, dengan teriakan setengah tertahan, keinginan itu diungkapkan: “...so give me coffee and TV easily/ I’ve seen so much/ I’m going blind/ and braindead virtually….” Hal-hal sepele pun kemudian menjadi sangat berharga: ditemani secangkir kopi, menonton televisi, menjalani kehidupan seperti orang lain, layaknya seorang manusia biasa.
Videoklip lagu ini tak lantas ber-‘frontal ria’. Dia tidak hendak menerjemahkan lirik lagu begitu saja. Dipilihnya cara penyampaian yang lebih ‘halus’. Sebuah sudut pandang yang sedikit berbeda, tanpa harus menyimpang dari tema utama dan pesan lagu yang ingin disampaikan. Tak ada sepotong pun adegan tentang gemerlapnya dunia bintang. Tak ada kilapan blitz kamera dan lampu-lampu panggung yang menyilaukan. Tak ada kepungan mikrofon wartawan dan teriakan histeris penggemar. Sebagai gantinya, dipakainya simbol-simbol, yang cukup simpel tapi dalam: kotak susu dan foto anak hilang.
Hampir seluruh adegan adalah petualangan seru si kotak susu. Sang bintang digambarkan sebagai "si anak hilang". Sebuah kiasan yang cukup bersahaja. Bahwa si kotak susu harus menempuh perjalanan yang cukup berat—untuk ukuran sebuah kotak susu—menggambarkan betapa misi mulia itu tidaklah mudah: "mengembalikan" sang bintang ke dunianya yang semula. Betapa tidak gampang untuk keluar dari sebuah lingkaran setan bernama "dunia showbiz" itu. Dunia yang penuh gemerlap, tampak menyenangkan, tapi sekaligus kejam. “Take me away from this big bad world...”—Blur bahkan menggambarkannya sebagai “sebuah dunia besar dan buruk”.
Dunia bintang ternyata tak selalu seenak kelihatannya, dan popularitas tak selamanya menyenangkan. Tak jarang mereka memaksa seorang bintang harus terus memakai topeng, demi menghibur penggemar. “Your ears are full but you’re empty/ holding out out your heart/ to people who never really/ care how you are...” Ada 'kekosongan' di tengah ketenaran itu, menyelinap diam-diam. Ada sesuatu yang hilang.
Tapi siapa yang mau peduli 'kehampaan' itu? Tiba-tiba kita teringat kisah tragis Kurt Cobain. Popularitas Nirvana—lengkap dengan segala konsekuensinya—ternyata, siapa sangka, sangat menyiksa dia. Salah satu judul lagunya yang terkenal, “I hate myself and I want to die” seakan mengisyaratkan sesuatu. Semacam beban yang berat. Bisa jadi sesuatu yang tak terjelaskan, namun menghimpit. Surat terakhirnya lebih menegaskan lagi: "…kejahatan terbesar yang pernah aku lakukan adalah naik ke panggung dan mempertontonkan kepalsuan…". Dan matilah si dewa grunge itu—dengan pistol ia meledakkan kepalanya sendiri. Tragis.
Blur bukannya tak tahu hal itu. Invasi pertama Blur ke Amerika di awal ’90-an—mencoba mengulang kesuksesan Beatles—gagal total karena demam grunge ala Nirvana sedang kuat-kuatnya melanda Amerika. Band asal Inggris lainnya, Oasis, yang sukses menginvasi Amerika beberapa tahun kemudian, juga pernah menulis tentang risiko sebuah popularitas. Lirik lagu Champagne Supernova mereka menyiratkan hal itu: “How many special people change/ how many lives are living strange/ where were you when we were getting high?”
Dunia bintang tak selamanya indah. Blur telah menjadi bintang, merasakan popularitasnya, menanggung risikonya. Dan mereka ingin sekali-kali "keluar"—sebelum beban itu meledak. Melepaskan label-label superstar mereka, meski cuma sejenak. Mereka memilih cara yang sehat: dengan “kopi dan televisi”—bukan pistol. Pilihan yang manis. Lebih manis lagi, dengan sekotak susu yang berjalan-jalan lucu sepanjang videoklip.
Videoklip Coffee and TV adalah cerita tentang sebuah misi mulia. Sebuah upaya penyelamatan. Perjalanan si kotak susu menjadi sangat heroik sekaligus mengharukan. Dan perjuangannya tak sia-sia. Si anak hilang berhasil ditemukan—dia sedang bermain musik, nge-band bersama teman-temannya. Si anak hilang pun bergegas pulang, meninggalkan teman-temannya, kembali ke rumah orangtuanya. Tugas si kotak susu selesai.
Blur, band asal Inggris, berhasil menerjemahkan lirik lagunya ke dalam bahasa gambar videoklip dengan cara yang ‘berbeda’. Lirik lagu Coffee and TV sendiri bercerita tentang seorang superstar yang lelah akan dunianya. Lirih, lagu bernuansa minor ini dilantunkan—setengah berharap, setengah mengejek. “Do you feel like a chain store/ practically floored/ one of many zeros/ kicked around bored…” Popularitas menjadikan seorang bintang seakan-akan (harus) hidup dalam deretan etalase toko: siap dilihat-lihat, dan oleh sebab itu harus bagus—karena konsumen adalah raja. Sang bintang pun terjebak dalam rutinitas itu: rangkaian konser yang gegap gempita, jadwal tur yang melelahkan, kejaran pers, dan histeria penggemar.
Ruang gerak pun menjadi terbatas. Privasi tiba-tiba menjadi satu hal langka. Penggemar bisa berada di mana saja, siap mengejar-ngejar untuk sekadar tanda tangan atau foto bersama. Sesuatu yang mungkin pada awalnya menyenangkan, membanggakan, tapi lama-kelamaan merepotkan juga. Sang bintang pun merasa letih. Mungkin juga jenuh—dan karenanya ingin sekali-kali hengkang dari situ. Di bagian reffrain, dengan teriakan setengah tertahan, keinginan itu diungkapkan: “...so give me coffee and TV easily/ I’ve seen so much/ I’m going blind/ and braindead virtually….” Hal-hal sepele pun kemudian menjadi sangat berharga: ditemani secangkir kopi, menonton televisi, menjalani kehidupan seperti orang lain, layaknya seorang manusia biasa.
Videoklip lagu ini tak lantas ber-‘frontal ria’. Dia tidak hendak menerjemahkan lirik lagu begitu saja. Dipilihnya cara penyampaian yang lebih ‘halus’. Sebuah sudut pandang yang sedikit berbeda, tanpa harus menyimpang dari tema utama dan pesan lagu yang ingin disampaikan. Tak ada sepotong pun adegan tentang gemerlapnya dunia bintang. Tak ada kilapan blitz kamera dan lampu-lampu panggung yang menyilaukan. Tak ada kepungan mikrofon wartawan dan teriakan histeris penggemar. Sebagai gantinya, dipakainya simbol-simbol, yang cukup simpel tapi dalam: kotak susu dan foto anak hilang.
Hampir seluruh adegan adalah petualangan seru si kotak susu. Sang bintang digambarkan sebagai "si anak hilang". Sebuah kiasan yang cukup bersahaja. Bahwa si kotak susu harus menempuh perjalanan yang cukup berat—untuk ukuran sebuah kotak susu—menggambarkan betapa misi mulia itu tidaklah mudah: "mengembalikan" sang bintang ke dunianya yang semula. Betapa tidak gampang untuk keluar dari sebuah lingkaran setan bernama "dunia showbiz" itu. Dunia yang penuh gemerlap, tampak menyenangkan, tapi sekaligus kejam. “Take me away from this big bad world...”—Blur bahkan menggambarkannya sebagai “sebuah dunia besar dan buruk”.
Dunia bintang ternyata tak selalu seenak kelihatannya, dan popularitas tak selamanya menyenangkan. Tak jarang mereka memaksa seorang bintang harus terus memakai topeng, demi menghibur penggemar. “Your ears are full but you’re empty/ holding out out your heart/ to people who never really/ care how you are...” Ada 'kekosongan' di tengah ketenaran itu, menyelinap diam-diam. Ada sesuatu yang hilang.
Tapi siapa yang mau peduli 'kehampaan' itu? Tiba-tiba kita teringat kisah tragis Kurt Cobain. Popularitas Nirvana—lengkap dengan segala konsekuensinya—ternyata, siapa sangka, sangat menyiksa dia. Salah satu judul lagunya yang terkenal, “I hate myself and I want to die” seakan mengisyaratkan sesuatu. Semacam beban yang berat. Bisa jadi sesuatu yang tak terjelaskan, namun menghimpit. Surat terakhirnya lebih menegaskan lagi: "…kejahatan terbesar yang pernah aku lakukan adalah naik ke panggung dan mempertontonkan kepalsuan…". Dan matilah si dewa grunge itu—dengan pistol ia meledakkan kepalanya sendiri. Tragis.
Blur bukannya tak tahu hal itu. Invasi pertama Blur ke Amerika di awal ’90-an—mencoba mengulang kesuksesan Beatles—gagal total karena demam grunge ala Nirvana sedang kuat-kuatnya melanda Amerika. Band asal Inggris lainnya, Oasis, yang sukses menginvasi Amerika beberapa tahun kemudian, juga pernah menulis tentang risiko sebuah popularitas. Lirik lagu Champagne Supernova mereka menyiratkan hal itu: “How many special people change/ how many lives are living strange/ where were you when we were getting high?”
Dunia bintang tak selamanya indah. Blur telah menjadi bintang, merasakan popularitasnya, menanggung risikonya. Dan mereka ingin sekali-kali "keluar"—sebelum beban itu meledak. Melepaskan label-label superstar mereka, meski cuma sejenak. Mereka memilih cara yang sehat: dengan “kopi dan televisi”—bukan pistol. Pilihan yang manis. Lebih manis lagi, dengan sekotak susu yang berjalan-jalan lucu sepanjang videoklip.
* * *
>> Budi B. Badu
penikmat musik dan film, tinggal di Timbuktu
Post Scriptum:
Di videoklip yang dibuat tahun 1999 ini, “si anak hilang” diperankan oleh gitaris Blur, Graham Coxon, yang juga menulis lirik Coffee and TV dan menyanyikannya sendiri (di lagu ini vokalis Damon Albarn hanya mengiringi sebagai vokal latar). Uniknya, melalui videoklip ini Graham Coxon seolah meramalkan nasibnya sendiri. Tiga tahun setelah itu lagu itu dibuat, dia keluar dari Blur, meninggalkan teman-temannya. Persis seperti di videoklipnya, dia kembali ke keluarganya (di kehidupan nyata: istri dan anaknya). Personel Blur lainnya tetap jalan terus sebagai band dan menelurkan album berikutnya, sementara Graham Coxon menghasilkan beberapa album solo sampai sekarang. Sutradara videoklip ini, Garth Jennings [tergabung di Hammer and Tongs], juga membuat videoklip keren lainnya: Imitation of Life-nya R.E.M (2001) yang unik, dan Silent Sigh-nya Badly Drawn Boy (2002) yang menyentuh.
budibadabadu © 2004