mine is the sunlight, mine is the morning
born of the one light, eden saw play
praise with elation, praise every morning
God's recreation of the new day
(“Morning Has Broken”. Cat Stevens. 1971)
Saya mengintip buku harian Badu, ketika dia sedang pergi ke luar kota. Salah sendiri tidak dikunci. Waduh, tulisannya kecil-kecil amat sih:
jangan-jangan segala macam persimpangan jalan itu kita sendiri yang menciptanya. kita "merancang"-nya, lantas menetakkannya di tempurung kepala. maka muncul keraguan. maka terbit kebimbangan. you resah. you gundah. celakanya, sering kita malah menikmati setiap penggal kebingungan kita, asyik berkutat di dalamnya, sampai lupa bahwa tujuan sebenarnya adalah keluar dari kubangan itu. ciloko tenan jika benar begini. perhaps we've just watched too many movies. jadi seolah-olah hidup harus pula dramatik. life imitates #art# movies, atau #art# movies imitates life? walah. banyak yang malah merasa bangga punya segudang masalah. merasa keren jika keliatan sibuk, merasa hebat kalo dibilang sinis, merasa jagoan jika sudah tidak tidur berhari-hari. bleh. sejak kapan sinisme dan insomnia menjadi parameter kualitas seseorang? aku ketawa melihat budi nyengir [sumpeh, mukanya jadi juelekk banget], ketika seorang kawan dia melontarkan statement yang menyentak: "kok uwong-uwong podho seneng yo, yèn kétok sibuk mrono-mréné, nggarap macem-macem, agendané pirang-pirang?" heheh. lalu kawannya itu [belakangan aku tau namanya itonk] melanjutkan, “…yèn aku kok luwih seneng kétok nyantai, ra popo kétok léda-lédé, ning kabèh gawéanku beres, urip kepénak, dhuité akèh …” hahaha. aku bisa baca pikiran budi, yakni: asem tenan kowé tonk, bener juga sih. nah lo. aku pengen itu bisa dijadikan semacam sindiran yang tepat buat dia, meski bisa jadi kawannya yang garing lucu itu tidak memaksudkannya begitu. aku kadang kesal ama dia, yang lebih sering menampik saran-saranku untuk lebih taktis dalam menyiasati hidup. apa sih maunya? gagal satu kalipun sudah terlalu banyak! ayo bud, semangat! optimis dong! aku sepakat abis ama satu orang temen dia lainnya [seseorang yg tampaknya sangat dihormati dan dikaguminya] yang pernah menuliskan sesuatu untuknya: ...semoga kamu melihatnya tidak sebagai kolam (kubangan?) tempat kamu pernah tercebur, tapi sebagai karang terjal, yang ketika kamu melihat ke belakang untuk kedua kalinya, kamu bisa berbangga—dan tertunduk syukur—telah melewatinya… ouch. aku liat dia tercenung waktu mendapati tulisan itu pertama kali [meski disamarkan, dia sangat tau itu untuk dia]. lalu malam-malam dia datang lagi untuk diam-diam menyalinnya dengan penuh haru, dada bergemuruh, dan mata menghangat. pokoknya sepakat abis ama temannya yang satu itu. nah, kurang apa lagi, coba? semangat dong bud! taktis dong, taktis! Di pikiran saya cuma: sialan si Badu. Saya kapok baca buku hariannya.
"Besides, I'm not going to tell you my whole goddam
autobiography or anything."
[Holden Caulfield in Catcher in the Rye, a
grreatt novel by J.D. Salinger, 1953]
The Kinks: The Collection. Budi,
Bada, dan Badu lagi senang mendengarkan band ini.
Entah kenapa hati kami selalu berbunga-bunga dan
bersemangat setelah mendengarkan track demi track,
yang tampak diaransemen dengan rapih. Saya suka
karakter vokal Ray Davies, yang sebenarnya tidak
istimewa-istimewa amat. Haha! Lagu "Lola" di album ini
adalah live version, lengkap dengan suara tepuk tangan
dan koor penontonnya. Saya jadi ingat 101
Reykjavik (Baltasar Kormákur, 2000)——film
komedi absurd yang bagus dari Islandia——yang
menyertakan lagu "Lola" sebagai salah satu
soundtrack-nya, dalam versi aransemen ulang
oleh frontman Blur, Damon Albarn, dan ex-Sugarcubes,
Einar Orn Benediktsson. Track favorit Badu tentu saja
"Celluloid Heroes", yang liriknya antara lain:
"Everybody's a dreamer and everybody's a star… And
everybody's in movies, it doesn't matter who you
are…" Yeah, it’s so you, dude! Badu tambah senang
ketika saya kasih tahu bahwa Wim Wenders (yang
notabene adalah sutradara favoritnya) menyelesaikan
sekolah filmnya pada 1970 dengan final project
berjudul Summer in the City, yakni sebuah
film yang didedikasikan untuk The Kinks! Mungkin Badu
akan jungkir balik dan salto ke udara, kalau dia juga
tahu bahwa di film Wenders yang lain, The American
Friend (1977, interpretasi Wenders atas novel
Talented Mr. Ripley-nya Patricia Highsmith),
ada adegan di mana salah satu tokohnya menyanyikan
lagu the Kinks, “There's Too Much on My
Mind”...
[Flick of the
Week]
EUREKA [Shinji Japan, 2000. 217
min. DVD.]. Drama tentang kisah 3 orang yang selamat
dari sebuah tragedi pembajakan bus. Dibuka dengan
adegan dramatis yang pelan dan sedikit menghentak,
film ini benar-benar menguji kesabaran Anda. Betapa
tidak: durasi lebih dari 3,5 jam, hitam putih (sephia
tone), dan minim dialog. Tapi semuanya disajikan
dengan sinematografi yang indah, lirih, dan puitis.
Tak ada adegan mubazir, sebab semuanya bisa berarti
sesuatu. Dengan proses penceritaan yang tekun, ini
adalah sebentuk narasi yang mengundang perbincangan
filosofis tentang arti kata brutal dan pencarian makna
hidup. Nah, bukankah ini adalah kelas yang tepat untuk
belajar mengolah rasa dan memaknai sesuatu dengan
lebih mendalam? Menyabet penghargaan FIPRESCI Prize di
Cannes Film Festival tahun 2000, film ini benar-benar
layak dicoba, terutama jika Anda tipe orang yang
berusaha tetap optimis di tengah kehidupan yang seolah
tanpa harapan. [Film ini bisa didapatkan di
KINERUKU Rumah Buku Bandung, Jalan Hegarmanah
52, BANDUNG, Indonesia.]