okt dog budibadabadu: ::: gerombolan si imut

Wednesday, September 29, 2004

::: gerombolan si imut


"We all know that nostalgia is dangerous, but I remember those days with a clear conscience."
(The Toughest Indian In The World. Short story by Sherman Alexie. 2000)

Kemarin sore Badu tidak sengaja menemukan print-out tulisan lama ini di tumpukan kertas-kertas bekas yang hampir dibuang. Saya membacanya kembali, dan mengingat-ingat apa yang ada di benak saya ketika dulu saya menulisnya. Yang pertama saya ingat cuma: iseng banget sih. Itu berapa tahun yang lalu? Film AADC masih diputar di bioskop, dan penonton masih ngantri. Jox masih di Bandung, dan teman-teman masih lengkap. Tobucil masih di Juanda, dan saya belum kenal Omu. Langit mendung Tamankita, dan Padepokan Rudi Si Pendekar Ayam Cola masih di Ganesha. Itu berapa tahun yang lalu? Alangkah cepatnya waktu berlalu. Itu berapa tahun yang lalu? Di buku kumpulan cerpennya—oleh-oleh yang dahsyat dari Itbo waktu hunting buku ke Sydney—Sherman Alexie seolah mengejek saya. Dengan kesadaran penuhkah saya mengingatnya? Dengan nurani yang jernihkah saya mengenangnya? Setengah hati, ternyata saya menghitung hari juga...


Selamat bernostalgia bagi mereka yang sudah pernah membacanya:

*DI RUDI, SORE ITU *
(based on true story)

Sekitar jam 3-an di suatu sore, saya makan di Rudi.

Pesanan saya sudah datang dan siap saya santap, ketika 4 cewek imut masuk dan memesan makanan untuk dibungkus. Sambil menunggu dan menonton si Rudi beraksi unjuk kebolehan masak-memasak (bagi Rudi ini semata-mata “masalah reputasi”), mereka duduk manis dan mengobrol di meja yang sama dengan saya. Volume obrolan mereka disetel cukup keras. Jadi, please, bukan salah saya menjadi “penguping” lagi.

Saya pikir mereka pasti masih SMU—wajah imut-imut mereka mengatakan demikian. (Dalam hal rumusan “jika imut maka SMU”, tentu saja Dian Sastro adalah sebuah perkecualian.) Mereka tidak sedang berseragam sekolah. Semuanya memakai kaos ketat, dengan daerah sekitar pinggang dan pusar mengintip keluar malu-malu (mungkin inilah yang pernah disepakati seluruh dunia sebagai istilah “baju adek”), dan celana pendek di atas lutut. Paha putih mulus menyembul di mana-mana, tapi saya pikir dalam keadaan perut lapar seperti ini, paha ayam goreng di piring saya tetap lebih menarik.

"Iih, bete nggak sih, besok ulangan Matematika dan gue belum belajar sama sekali..." Imut I angkat suara.
"Iya, gue juga. Tau deh. Kumaha engke lah [1]..." Imut II menimpali.
"Mana gue belon ngerjain PR Kimia lagi..." Imut III tak mau kalah rupanya.

Aha, betul dugaan saya. Ulangan Matematika? PR Kimia? Bukankah itu semua kosakata SMU? Baru setelah menjadi mahasiswa kita mengganti istilah “ulangan” dengan “ujian”, dan “PR” menjadi “tugas”. (Bagi mahasiswa yang masih tinggal ama keluarga, yang kebetulan manis dan harmonis, aih.. aih.. bolehlah redaksional-pamit-plus-cium-tangan itu sedikit diubah: dari “Ma, Adek pergi sekolah dulu ya...” menjadi “Adek mau ke kampus nih Ma...”)

Dan dari mulut-mulut mungil empat cewek itu (eh, ada yang monyong juga sih) meluncurlah dialog-dialog khas anak SMU. Terasa sekali aroma AADC merebak di sana-sini.

“Eh, tau nggak sih lo, tadi si Roy nyapa gue lho...” kali ini Imut IV sumbang suara. Dan memang sumbang betul itu suara, cempreng nan nyinyir khas penggosip ulung level SMU.
“Trus napa?” sahut yang lain.
“Ya, grogi aja, gitu...” Imut IV sok malu-malu.
“Ih, norak, ih!”
“Abis si Roy cakep gitu...”
“Ah, biasa aja ah!”
“Iya, biasa aja tuh!”
“Nggak, lagi..” Imut IV keukeuh [2], “...mirip Rangga, lagi... Cool abis. Lagian matanya itu lho... Rangga banget!”
“Huuu....” Paduan suara Imut I + Imut II + Imut III. Kompak juga mereka. AB Three harus waspada.

Maka menu makan siang saya pun bertambah dengan tiket gratis nonton Talk Show Remaja berjudul “Anak SMU: Saat-saat Terindah Menjadi Manusia”. Saya terus menyimak.

“Denger-denger sih, abis lulus SMU ntar Si Roy mau belajar otodidak aja...”
“Belajar naon?" [3]
“Otodidak.”
“Oto.. naon?”
“O-TO-DI-DAK. Budeg ih!”
“Otodidak teh naon?”
“Iya, otodidak tuh apaan sih?”
“Otodidak teh... ehmm, apa ya?”
“Nama jurusan kali, di perguruan tinggi gitu...”
“Kayak Teknik Mesin gitu kali ya...”
“Bisa jadi…”
“Teuing ah!” [4]

Astaga. Saya berhenti mengunyah. Jadi penasaran: di SMU manakah mereka sekolah.
* * *
Kamus Bahasa Sunda oleh B.B. Badudu:
[1] kumaha engke: gimana ntar
[2] keukeuh: ngotot, bersikeras
[3] naon: apa
[4] teuing ah: auk ah gelap


budibadabadu © 2002