::: ateng sok tau
“…sok tau tanda tak mampu…”
(kata Flo et al, seorang teman diskusi yang sehat, di sebuah e-mail ke saya)
Saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Banyak sekali contoh kasusnya. Terlalu banyak malah, jadi saya kutipkan saja beberapa. Si A misalnya, masak ngakunya pembaca yang militan (dengan nada bangga) dan penggemar berat Budi Darma—ngomongnya keras-keras pula—tapi tidak pernah membaca Olenka? Oh plis deh. Lalu apa yang dia baca? Gelagapan juga dia (tapi berusaha tetap cool!) ketika akhirnya saya “serang” (dalam tanda kutip) dia dengan “pertanyaan-pertanyaan-sok-bego-tapi-sangat-mendasar” saya seputar karya-karya Budi Darma yang “sudah” dia baca. Rasain lu, batin saya dalam hati. Eh, bukannya nyadar, dia malah menyarankan saya untuk membaca judul-ini-dan-judul-itu, bahkan pakai “Kalo perlu elu minjem punya gue deh Bud!” segala. Wah wah, nggak tahan juga saya, akhirnya saya bilangin, “Oh makasih, saya punya semua judul itu kok.”
Kalo si B lain lagi. Ketika ngobrol soal film, keliatan sekali usaha kerasnya untuk menunjukkan ke saya bahwa “dia-sudah-nonton-banyak-film”. Pokoknya moviefreak deh. ("Gue sih orangnya nonton segalanya, Bud!") Well, tampaknya dia bangga sekali dengan label itu. OK, kasih deh. Saya cuma senyum-senyum saja saat dia dengan pede-nya mengira bahwa Buster Keaton itu adalah yang “Iya, gue tau, Bud, yang kacamataan dan gelantungan di jam raksasa itu kan? Filmnya yang itu tuh terkenal banget…” (Saya diam saja, meski hati saya teriak-teriak, “Wooy, itu sih Harold Lloyd, moron! Itu Safety Last! Ah, jangan-jangan sampeyan ini belum pernah nonton satupun film Keaton!”) Hmm, ini susahnya kalo ngobrol dengan orang-orang yang pengen dianggap keren dalam hal menonton film. Tipe pergaulan kayak gini adalah: berlomba-lombalah dalam menambah vocabulary judul film. Pokoknya banyak-banyakan perbendaharaan nonton. Makin tebal kamus sejarah menonton kamu, makin keren kamu di mata orang-orang itu. Makanya saya sering banget dapet pertanyaan yang dilontarkan dengan nada-sok-heran-tapi-sumpeh-terdengar-melecehkan, “Haah? Masak sih Bud elu belum nonton?” Kalo udah gini, saya hanya bisa senyum-senyum saja, karena toh saya yakin mereka juga BELUM nonton film-fim yang SUDAH saya tonton. Sumpeh deh, saya YAKIN. Bedanya: saya tidak merasa perlu menanyakannya.
Nah, kalo si C gini. Waktu saya cerita bahwa saya barusan nonton filmnya sutradara Geoffrey Wright, Romper Stomper, film Australia yang sangat rasis, dia (yang belum nonton film itu) buru-buru menyela, “Wah ketebak sih, Bud. Gue kan tau siapa Geoffrey Wright. Dia tuh kulit item, itu tuh yang jadi Basquiat di film Basquiat. Jadi wajar dong begitu bikin film temanya rasis.” Astaga. Yang ini parah betul. Sebenarnya saat itu juga saya sudah mencoba meralat sok taunya itu, tapi gaya ngomongnya yang sangat-suka-memotong-dan-tak-mau-mendengarkan bikin usaha saya sia-sia saja. Males deh. Padahal saya tau betul, yang jadi Basquiat di situ bukan Geoffrey Wright, tapi Jeffrey Wright. Serupa tapi tak sama. Mereka itu dua orang yang berbeda! Silogisme yang tergesa-gesa, dengan premis yang salah pula! Dasar dudul. (Dudul Garot, kata Badu.) Waktu saya cerita soal ini ke Flo (karena saya kesal buanget waktu itu) dia malah ketawa ngakak. Kalo Flo sih jelas tau betul Romper Stomper, sebab dia lagi tinggal di Aussie waktu film itu dirilis. Asyiknya Flo adalah, dia bisa menjelaskan sesuatu yang dia kuasai betul dengan cara yang rendah hati. Bukan tipe yang sebaliknya: sok tau segalanya tapi malah salah, yang mengesankan bahwa dia sebenarnya tidak tau apa-apa.
Flo tau betul cara menghilangkan kesal saya: dia lalu membelokkan pembicaraan ke pandangan teori post-colonial atas film Romper Stomper itu. Wuih. Dia mengutip salah satu artikel yang pernah dia baca (ingatannya luar biasa mengagumkan), bahwa film seperti Romper Stomper (dia juga menyebutkan contoh lain, Do the Right Thing) menggambarkan politik internal subkultur di mana etnis dan kekuasaan menempati panggung utama, yang mengarah pada konflik yang lebih besar, within society as a whole, blah blah blah… Busyet, saya nggak ngerti. Kalo soal film Basquiat, jangan tanya. Flo itu penggemar berat Jean-Michel Basquiat (selain juga Andy Warhol), dan di kamarnya ada beberapa replika lukisannya dan buku-buku tentang dia. Beberapa waktu lalu Flo sempat mengutarakan kekecewaannya pada buku terbitan lokal (kumpulan artikel terjemahan), “Berontak (Bukan) Tanpa Sebab: Revolusi Menurut Para Pesohor Dunia”. Penerbit Alinea, Jogja, September 2003. Buku itu saya dapatkan di sebuah kios buku pinggir jalan di Jogja. Sengaja saya beli untuk oleh-oleh ke Flo, karena buku itu membahas juga soal Basquiat dan Warhol. Menurut Flo, buku itu nggak niat alias tanggung. Setengah-setengah, dan hambar. Astaga, pedas juga kritiknya. Tapi belakangan dia mengaku, bahwa kekecewaan itu lebih karena menurutnya tidak ada yang baru dari buku itu—dia punya artikel-artikel aslinya! Wah, susah juga kalo udah gini. Tau nggak Flo, ada teman saya, namanya Hamdani, rambutnya gondrong dan ketua Jong Sunda, SANGAT suka buku itu waktu saya tunjukin ke dia. ("Alus, euy!" ceuk dia mah..) Well, lagi-lagi de gustibus non est disputandum.
Soal Basquiat saya jadi inget ada seorang anggota baru di sebuah milis yang saya ikuti. Nama orang itu, sebut aja si X. Dia baru saja bergabung, dan posting pertamanya tentang pengamatannya yang unik soal angkot. Hanya gara-gara saya tau bahwa kata-kata mutiaranya diambil dari salah satu sajak Chairil Anwar, si X ini langsung ngimel japri ke saya. Kenalan, dsb. Waduh. Dipikirnya saya ini pasti penggemar berat Chairil Anwar. Jujur saja saya katakan ke dia, saya ini bukan penggemar berat “si binatang jalang” itu. Saya hanya pernah baca beberapa karyanya saja. Saya jawab begitu karena saya pikir itu lebih baik daripada saya ngaku-ngaku penggemar berat, trus nanti sok tau, dan malah salah. (Apa bedanya saya dengan si A, si B, dan si C tadi kalo begitu?) Saya juga bilang padanya bahwa kata-kata mutiara itu akhirnya saya pakai untuk memberi “judul” (atau apalah namanya) blog saya ini.
Lain waktu si X ngimel japri lagi, katanya dia sudah mampir ke blog ini. Trus dia bilang, dia punya kenalan baru (sebut saja si Y) yang juga ikut milis itu tapi pasif. Si Y itu bilang ke dia, bahwa moderator milis itu orang gila! Saya sempat bingung, sebab saya kenal baik moderatornya dan menurut saya waras-waras saja. Trus kenapa si X ngimel saya? Ternyata: si Y mengira sayalah moderatornya! Dipikirnya budibadabadu adalah “Mr. Moderator” (perhatikan dia pakai istilah “Mr.”) dari milis itu! Katanya, kalo nggak salah, si Y menyukai posting-posting saya di milis itu karena sebuah alasan tertentu. (Saya jadi inget komentar Sfx karena kurang lebih sama.) Waduh, tapi saya kok malah jadi kuatir. Jangan-jangan itu sindiran, jangan-jangan posting-posting saya itu isinya sok tau semua. Waduh waduh. Saya sudah ingetin Badu dari dulu, jangan pernah posting tanpa sepengetahuan saya wooy! Tapi Badu susah dikontrol. Dia bisa online kapan saja, bahkan di saat saya sedang tidur. Percuma saja saya ganti password e-mail saya. Dia selalu tertawa sinis mengejek saya, sambil terus-terusan mengutip Palahniuk, “I know this because Tyler knows this.” Awfahkk! Saya lalu nitip pesan lewat si X, tolong bilangin ke si Y bahwa bukan saya moderatornya. Lagian moderator milis kita itu bukan “Mr.”, tapi “Ms.”—dia sedang aktif posting kok akhir-akhir ini. Asyik-asyik, lagi.
Sejak saat itu saya mulai mengurangi keaktifan saya di milis tersebut. Mati-matian saya mengontrol jadwal online Badu, yang masih suka mencuri-curi kesempatan posting ke milis itu. Dia hampir saja mau mengirim satu e-mail agak panjang, respon terhadap subject yang lagi hangat tentang what-so-called-teologi, tapi untung berhasil saya cegah. Saya tau Badu pernah ikut sebuah milis tasawuf, dan saya yakin dia punya pendapat yang ingin dia bagi. Saya coba bujuk dia untuk mengomentari subject lain saja, seperti “outsourcing” misalnya. Badu tidak mau. Hey, kau pikir aku ini pekerja kantoran sebuah perusahaan besar dengan kantor-di-gedung-ber-AC, meja-berkomputer-online-24-jam, dan slip-gaji-tinggi-standar-dollar, yang tau hal-hal kayak gitu?!?! Baik, baik. Take it easy, pal. (Bukankah tidak perlu jadi pegawai kantoran dulu untuk tau hal itu? Tapi saya lagi males berdebat dengan Badu.) Nah, bagaimana kalo “pendidikan negeri kita” misalnya? Ada posting “lugu” yang bisa “dibantai” tuh! (Saya sengaja memakai istilah-istilah sarkastik kesukaannya.) Waduh, rupanya dia tidak tertarik. Biar orang lain saja yang membantainya, tukas dia. Dan betul, seseorang telah melakukannya. Badu tertawa membacanya. Saya tidak. I do know nobody loves being laughed at.
Lalu apa inti cerita saya ini? Saya tidak tau. Di awal tadi saya bilang, saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Tapi sekarang, jangan-jangan saya sedang mengecam sikap sok tau dengan sikap sok tau juga. Maling teriak maling. Jeruk minum jeruk. Bahkan jangan-jangan tidak cuma sekarang, tapi selama ini. Apa iya? Waduh waduh. Jika demikian adanya, alangkah ironisnya. Jika demikian adanya, saya benar-benar harus mengikat Badu ke tiang. Atau menjejalinya dengan obat penenang. Atau menyekapnya di gudang. Kalau begitu, pertama-tama saya harus mencari tali. Ada yang tau di mana saya bisa mendapatkan tali superkuat?
(kata Flo et al, seorang teman diskusi yang sehat, di sebuah e-mail ke saya)
Saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Banyak sekali contoh kasusnya. Terlalu banyak malah, jadi saya kutipkan saja beberapa. Si A misalnya, masak ngakunya pembaca yang militan (dengan nada bangga) dan penggemar berat Budi Darma—ngomongnya keras-keras pula—tapi tidak pernah membaca Olenka? Oh plis deh. Lalu apa yang dia baca? Gelagapan juga dia (tapi berusaha tetap cool!) ketika akhirnya saya “serang” (dalam tanda kutip) dia dengan “pertanyaan-pertanyaan-sok-bego-tapi-sangat-mendasar” saya seputar karya-karya Budi Darma yang “sudah” dia baca. Rasain lu, batin saya dalam hati. Eh, bukannya nyadar, dia malah menyarankan saya untuk membaca judul-ini-dan-judul-itu, bahkan pakai “Kalo perlu elu minjem punya gue deh Bud!” segala. Wah wah, nggak tahan juga saya, akhirnya saya bilangin, “Oh makasih, saya punya semua judul itu kok.”
Kalo si B lain lagi. Ketika ngobrol soal film, keliatan sekali usaha kerasnya untuk menunjukkan ke saya bahwa “dia-sudah-nonton-banyak-film”. Pokoknya moviefreak deh. ("Gue sih orangnya nonton segalanya, Bud!") Well, tampaknya dia bangga sekali dengan label itu. OK, kasih deh. Saya cuma senyum-senyum saja saat dia dengan pede-nya mengira bahwa Buster Keaton itu adalah yang “Iya, gue tau, Bud, yang kacamataan dan gelantungan di jam raksasa itu kan? Filmnya yang itu tuh terkenal banget…” (Saya diam saja, meski hati saya teriak-teriak, “Wooy, itu sih Harold Lloyd, moron! Itu Safety Last! Ah, jangan-jangan sampeyan ini belum pernah nonton satupun film Keaton!”) Hmm, ini susahnya kalo ngobrol dengan orang-orang yang pengen dianggap keren dalam hal menonton film. Tipe pergaulan kayak gini adalah: berlomba-lombalah dalam menambah vocabulary judul film. Pokoknya banyak-banyakan perbendaharaan nonton. Makin tebal kamus sejarah menonton kamu, makin keren kamu di mata orang-orang itu. Makanya saya sering banget dapet pertanyaan yang dilontarkan dengan nada-sok-heran-tapi-sumpeh-terdengar-melecehkan, “Haah? Masak sih Bud elu belum nonton?” Kalo udah gini, saya hanya bisa senyum-senyum saja, karena toh saya yakin mereka juga BELUM nonton film-fim yang SUDAH saya tonton. Sumpeh deh, saya YAKIN. Bedanya: saya tidak merasa perlu menanyakannya.
Nah, kalo si C gini. Waktu saya cerita bahwa saya barusan nonton filmnya sutradara Geoffrey Wright, Romper Stomper, film Australia yang sangat rasis, dia (yang belum nonton film itu) buru-buru menyela, “Wah ketebak sih, Bud. Gue kan tau siapa Geoffrey Wright. Dia tuh kulit item, itu tuh yang jadi Basquiat di film Basquiat. Jadi wajar dong begitu bikin film temanya rasis.” Astaga. Yang ini parah betul. Sebenarnya saat itu juga saya sudah mencoba meralat sok taunya itu, tapi gaya ngomongnya yang sangat-suka-memotong-dan-tak-mau-mendengarkan bikin usaha saya sia-sia saja. Males deh. Padahal saya tau betul, yang jadi Basquiat di situ bukan Geoffrey Wright, tapi Jeffrey Wright. Serupa tapi tak sama. Mereka itu dua orang yang berbeda! Silogisme yang tergesa-gesa, dengan premis yang salah pula! Dasar dudul. (Dudul Garot, kata Badu.) Waktu saya cerita soal ini ke Flo (karena saya kesal buanget waktu itu) dia malah ketawa ngakak. Kalo Flo sih jelas tau betul Romper Stomper, sebab dia lagi tinggal di Aussie waktu film itu dirilis. Asyiknya Flo adalah, dia bisa menjelaskan sesuatu yang dia kuasai betul dengan cara yang rendah hati. Bukan tipe yang sebaliknya: sok tau segalanya tapi malah salah, yang mengesankan bahwa dia sebenarnya tidak tau apa-apa.
Flo tau betul cara menghilangkan kesal saya: dia lalu membelokkan pembicaraan ke pandangan teori post-colonial atas film Romper Stomper itu. Wuih. Dia mengutip salah satu artikel yang pernah dia baca (ingatannya luar biasa mengagumkan), bahwa film seperti Romper Stomper (dia juga menyebutkan contoh lain, Do the Right Thing) menggambarkan politik internal subkultur di mana etnis dan kekuasaan menempati panggung utama, yang mengarah pada konflik yang lebih besar, within society as a whole, blah blah blah… Busyet, saya nggak ngerti. Kalo soal film Basquiat, jangan tanya. Flo itu penggemar berat Jean-Michel Basquiat (selain juga Andy Warhol), dan di kamarnya ada beberapa replika lukisannya dan buku-buku tentang dia. Beberapa waktu lalu Flo sempat mengutarakan kekecewaannya pada buku terbitan lokal (kumpulan artikel terjemahan), “Berontak (Bukan) Tanpa Sebab: Revolusi Menurut Para Pesohor Dunia”. Penerbit Alinea, Jogja, September 2003. Buku itu saya dapatkan di sebuah kios buku pinggir jalan di Jogja. Sengaja saya beli untuk oleh-oleh ke Flo, karena buku itu membahas juga soal Basquiat dan Warhol. Menurut Flo, buku itu nggak niat alias tanggung. Setengah-setengah, dan hambar. Astaga, pedas juga kritiknya. Tapi belakangan dia mengaku, bahwa kekecewaan itu lebih karena menurutnya tidak ada yang baru dari buku itu—dia punya artikel-artikel aslinya! Wah, susah juga kalo udah gini. Tau nggak Flo, ada teman saya, namanya Hamdani, rambutnya gondrong dan ketua Jong Sunda, SANGAT suka buku itu waktu saya tunjukin ke dia. ("Alus, euy!" ceuk dia mah..) Well, lagi-lagi de gustibus non est disputandum.
Soal Basquiat saya jadi inget ada seorang anggota baru di sebuah milis yang saya ikuti. Nama orang itu, sebut aja si X. Dia baru saja bergabung, dan posting pertamanya tentang pengamatannya yang unik soal angkot. Hanya gara-gara saya tau bahwa kata-kata mutiaranya diambil dari salah satu sajak Chairil Anwar, si X ini langsung ngimel japri ke saya. Kenalan, dsb. Waduh. Dipikirnya saya ini pasti penggemar berat Chairil Anwar. Jujur saja saya katakan ke dia, saya ini bukan penggemar berat “si binatang jalang” itu. Saya hanya pernah baca beberapa karyanya saja. Saya jawab begitu karena saya pikir itu lebih baik daripada saya ngaku-ngaku penggemar berat, trus nanti sok tau, dan malah salah. (Apa bedanya saya dengan si A, si B, dan si C tadi kalo begitu?) Saya juga bilang padanya bahwa kata-kata mutiara itu akhirnya saya pakai untuk memberi “judul” (atau apalah namanya) blog saya ini.
Lain waktu si X ngimel japri lagi, katanya dia sudah mampir ke blog ini. Trus dia bilang, dia punya kenalan baru (sebut saja si Y) yang juga ikut milis itu tapi pasif. Si Y itu bilang ke dia, bahwa moderator milis itu orang gila! Saya sempat bingung, sebab saya kenal baik moderatornya dan menurut saya waras-waras saja. Trus kenapa si X ngimel saya? Ternyata: si Y mengira sayalah moderatornya! Dipikirnya budibadabadu adalah “Mr. Moderator” (perhatikan dia pakai istilah “Mr.”) dari milis itu! Katanya, kalo nggak salah, si Y menyukai posting-posting saya di milis itu karena sebuah alasan tertentu. (Saya jadi inget komentar Sfx karena kurang lebih sama.) Waduh, tapi saya kok malah jadi kuatir. Jangan-jangan itu sindiran, jangan-jangan posting-posting saya itu isinya sok tau semua. Waduh waduh. Saya sudah ingetin Badu dari dulu, jangan pernah posting tanpa sepengetahuan saya wooy! Tapi Badu susah dikontrol. Dia bisa online kapan saja, bahkan di saat saya sedang tidur. Percuma saja saya ganti password e-mail saya. Dia selalu tertawa sinis mengejek saya, sambil terus-terusan mengutip Palahniuk, “I know this because Tyler knows this.” Awfahkk! Saya lalu nitip pesan lewat si X, tolong bilangin ke si Y bahwa bukan saya moderatornya. Lagian moderator milis kita itu bukan “Mr.”, tapi “Ms.”—dia sedang aktif posting kok akhir-akhir ini. Asyik-asyik, lagi.
Sejak saat itu saya mulai mengurangi keaktifan saya di milis tersebut. Mati-matian saya mengontrol jadwal online Badu, yang masih suka mencuri-curi kesempatan posting ke milis itu. Dia hampir saja mau mengirim satu e-mail agak panjang, respon terhadap subject yang lagi hangat tentang what-so-called-teologi, tapi untung berhasil saya cegah. Saya tau Badu pernah ikut sebuah milis tasawuf, dan saya yakin dia punya pendapat yang ingin dia bagi. Saya coba bujuk dia untuk mengomentari subject lain saja, seperti “outsourcing” misalnya. Badu tidak mau. Hey, kau pikir aku ini pekerja kantoran sebuah perusahaan besar dengan kantor-di-gedung-ber-AC, meja-berkomputer-online-24-jam, dan slip-gaji-tinggi-standar-dollar, yang tau hal-hal kayak gitu?!?! Baik, baik. Take it easy, pal. (Bukankah tidak perlu jadi pegawai kantoran dulu untuk tau hal itu? Tapi saya lagi males berdebat dengan Badu.) Nah, bagaimana kalo “pendidikan negeri kita” misalnya? Ada posting “lugu” yang bisa “dibantai” tuh! (Saya sengaja memakai istilah-istilah sarkastik kesukaannya.) Waduh, rupanya dia tidak tertarik. Biar orang lain saja yang membantainya, tukas dia. Dan betul, seseorang telah melakukannya. Badu tertawa membacanya. Saya tidak. I do know nobody loves being laughed at.
Lalu apa inti cerita saya ini? Saya tidak tau. Di awal tadi saya bilang, saya sering kesal sama orang-orang sok tau di sekitar saya. Tapi sekarang, jangan-jangan saya sedang mengecam sikap sok tau dengan sikap sok tau juga. Maling teriak maling. Jeruk minum jeruk. Bahkan jangan-jangan tidak cuma sekarang, tapi selama ini. Apa iya? Waduh waduh. Jika demikian adanya, alangkah ironisnya. Jika demikian adanya, saya benar-benar harus mengikat Badu ke tiang. Atau menjejalinya dengan obat penenang. Atau menyekapnya di gudang. Kalau begitu, pertama-tama saya harus mencari tali. Ada yang tau di mana saya bisa mendapatkan tali superkuat?
* * *
NB: Badu suka banget film Ateng Sok Tahu, 1976. Terutama pas adegan Ateng dan Iskak kerja di bengkel Diran. Motor gandengan lepas, dan mobil berjalan dengan tiga roda…