::: senja truman yang lain...
well of course I'd like to sit around and chat
well of course I'd like to stay and chew the fat
well of course I'd like to sit around and chat
but someone's listening in.
(“Life in a Glass House”. Radiohead. 2001)
Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Setelah ngebut mengejar deadline skenario puluhan halaman (well, this project is much heavier), lalu menonton lagi secara acak Eisenstein’s Battleship Potemkin (what a grrreattt classic!), menelepon sana-sini (Bram is somewhere out there, I dunno), mengencangkan rem belakang Riri, mengecek arti kata “suffocate” di kamus, menjatuhkan sekotak tusuk gigi, menyeruput kopi busuk (c’mon, stay f**kin’ awake, pal!), sambil tetap tidak lupa memutar lirih-lirih-volume-standar-namun-pas Jarvis Cocker yang mendendangkan kesinisan terhadap fenomena-biasa-dari-kehidupan yang gagal dimaknai, dan membereskan jutaan hal-sepele-tapi-cukup-mengganggu-jika-tidak-ditengok, akhirnya sampai juga saya pada keadaan “favorit” ini, scene of the day: terdampar di sebuah ruangan berwarna cahaya kuning temaram, di meja papan di mana what-so-called intelektualitas milik beberapa kenalan pernah dipamerkan dengan percuma (bukan “gratis”, tapi “sia-sia”, dan justru beraroma blunder), juga di mana hahahihi diobral murah dengan nada frustrasi, dan segepok basa-basi selalu jadi menu pembuka yang lagi-lagi tak perlu, dan ya, saya kecewa. Saya kecewa. Saya kecewa. Hati saya mengeras, geraham ini selalu diam-diam mengatup tanpa pernah diminta, dan untung (wait a minute, untung? no, no, no, saya tak pernah terlalu yakin) bahwa pada akhirnya saya ketemu kenalan baru, seorang kikuk yang misterius-mengasyikkan. Saya melihat Jack the Narrator di depan saya, meringis menyapa: well, tentu saja kali ini saya adalah aktor watak selektif bertarif tiga puluh juta dollar yang layak menyabet Oscar. Gigi depan saya patah di sini, and ouch, your entire career will never be the same. Hai. Sudah lama?
Kami bicara di frekuensi yang sama—meski mungkin dengan mesin pemancar berbeda tahun keluaran, dia lebih klasik; kami memencet chapter yang sama di menu special feature; kami menangkap detil-detil serupa yang terlewat, juga membolak-balik kitab berdebu yang sama—bahkan selalu jatuh tepat di halaman yang itu-itu juga. Astaga. Astaga. Jangan-jangan kami menaruh merk susu yang sama di kulkas, dan menyiram jenis bunga yang serupa di kebun. Jangan salahkan saya jika kami terlampau mirip. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Saya juga heran kenapa bisa: bahkan sebentuk tindakan-yang-tak-bisa-dibenarkan yang dilakukan terhadap institusi kenalan saya yang lain (itupun jika memang, itupun jika memang!) sedikit banyak mengingatkan pada potensi-potensi kriminal yang diam-diam menyelinap ke laci-laci bawah sadar saya. Ouch.
Saya tak habis pikir, apa yang kami perbincangkan hingga dua jam terasa dua menit? (He’s not just another movie buff. Absolutely not.) Bahwa wanita dan pistol selalu ada di film-film Godard. (“The cinema is not the station. The cinema is the train.”) … Peckinpah yang brutal—jungkir balik saya nyari Wild Bunch, dan kamu punya?—kemudian saya tawarkan High Noon, film koboi "ayam sayur" yang cukup penting … Sudah nonton Nanook of the North? Oya sori, A Bout de Souffle-nya lagi ada di saya … Line favorit dia di Annie Hall, dan kami mengumpat kagum pada Woody Allen—saya lupa bilang, Damon Albarn pernah menyinggungnya di lagu “Look Inside America”, track ke-11 album Blur, 1997 … Nah, ini pertanyaan klasik, Bung: Chaplin vs Keaton, mana yang lebih baik? Sebenarnya bukan dua sih, tapi tiga: ada Harold Lloyd, and they’re big three of great silent clowns! Go find Safety Last! (1923)—a master of daredevil comedy for high-rise antics in it, also remained an undervalued talent for many years … Oya, kenapa stand-up comedy belum bisa sukses diterapkan di Indonesia? Lalu kami bicara soal tradisi lawak pasca Srimulat … Eh, apakah Tersanjung masih ada? Udah 6 atau 7? What?! Si Indah masih belum berhenti menangis juga? … Tayangan televisi memang busuk, tapi toh kita tetap duduk berjam-jam di depannya. Kita melempar kulit kacang ke layar kaca sambil mengumpat kesal, lantas beralih ke buku di tangan kita, tapi toh mata tak bisa ditahan untuk tidak kembali mendongak menyimak “Ray Sahetapy tidak jadi menikah lagi” dan “Parto belum juga dipenjara” … Astaga, kami tertawa keras-keras. Beberapa pengunjung lain menoleh. Saya tak peduli. Entah dia. “So you just pretend to be an asshole?” Saya mengutip Andy Kaufman: ”It’s what I’m good at.”
Kami lalu “bertransaksi”. Ini semacam rencana barter: dia pengen fotokopi 653 halaman buku biografi Citizen Welles saya, dan untuk itu saya bisa meminjam novel Trainspotting dia. Orson Welles vs. Irvine Welsh! Even the names sound similar. Tak lupa saya rekomendasikan ke dia film Welles yang kedua, The Magnificent Ambersons, a brilliant drama from Booth Tarkington’s 1919 Pulitzer prize-winning novel. Dagu saya menunjuk, “Ada tuh, di rak kedua dari bawah”. Mukanya datar, “Sedahsyat Citizen Kane-kah?” Well, actually, it’s exciting in its own way, though the film was taken out of Welles’ hands, recut and reshot by others. Yeah, dia bergumam, Welles is a boy genius in cinema history … Tapi Bung, (saya benar-benar pamaeh!) saya bilang: sadar nggak, ada kejanggalan di Citizen Kane! Oya? Mukanya tampak tertarik. Yaitu? Saya nyerocos: bagaimana mungkin orang-orang di News on the March itu bisa tau bahwa “Rosebud” adalah kata-kata terakhir Kane, untuk kemudian antusias sekali mereka menyelidiki artinya? Hohoho, bukankah Kane mati sendirian di kamarnya? Bukankah dia mendesiskan kata itu seorang diri, lalu menghembuskan nafas terakhir sambil menjatuhkan bola kaca, sebelum akhirnya seorang suster datang? Bagaimana mungkin orang-orang bisa tau kata itu? Apa mereka menelepon Tuhan, the Writer Almighty, minta dikirimi halaman terakhir dari bundel script yang Dia tulis untuk “aktor” bernama Charles Foster Kane? Dia bengong. Entah takjub atau gondok. Well, maybe I am a natural born pamaeh. Peduli setan. Tapi saya inget betul, setidaknya saya tidak melakukannya waktu dulu nonton bareng film ini pertama kali di acara Kinemala (what a name!). Waktu itu saya sudah hampir melontarkan hal ini, tapi nggak jadi, takut merusak suasana di tengah decak kagum dan hujan pujian teman-teman atas Citizen Kane waktu itu. I am not a natural born pamaeh, then.
Well, dua jam yang dua menit itu tentu saja terlalu sebentar, tapi apa boleh buat: “Cut!” Another routine role telah menunggu? I dunno. So let’s say bubye dan sebagainya. (Astaga. Jadinya French New Wave atau Dogme 95? Baik, baik, nanti saja setelah 10 September) … Badu muncul tiba-tiba—merusak semuanya—menyodorkan segepok naskah berikutnya, membetulkan make-up saya, membisikkan kata-kata mutiara, dan dari studio angkasa nun jauh di atas sana Christof memberi aba-aba tak kasat mata: “Lights! Camera! Action!” Ah, the magic of those words! … Makan malam yang dobel di Dipati Ukur, sebab nasi-goreng-tidak-pedas malah menjadi sangat-pedas, dan saya (selalu!) tidak tega melihat muka bersalah penjualnya … Ada cabe yang nyelip di gigi nggak? ... Saya melihat Tom Ripley di kaca spion. "Forging signatures, telling lies and impersonating almost anyone." … Isi bensin di Katamso. Cikapayang selalu terlalu penuh jam segitu. Dan tetap tidak membeli kerupuk bapak tua itu… Ada pilu yang mengiris-iris, hati yang mengeras, dan geraham yang mengatup … Saya meringis dari balik helm, ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal, dan kecepatan standar 40 km/jam … Saya capek pasang topeng. Tapi hidup toh harus jalan terus. The show must go on! The life must go on! (So life is a show?) Ke depan, ke depan… Tok-tok-tok. Ragu-ragu saya mengetuk pintu: “Oh, Tom. Ayo masuk! Mana yang lain?” … Ke depan, ke depan… Jam dinding terus berdetak. Pukul segini Bram biasanya mati. Rutinitas ini, rutinitas ini: transkrip-brainstorming-dari-Jakarta, undian-biasa-hayo-siapa-dapat-dua, waduh-fax-rundownnya-nggak-kebaca, adakah-pengembangan-dan-semua-diam-saja, gelak-tawa-imitasi-yang-terbungkus-rapi, nasi-goreng-putih-pedas-telornya-dipisah, dan oya-ini-Rabu-rating-gimana? Deadline, deadline, deadline!
Di Tamankita rupanya lagi ada pesta … Fetisisme bersama atas bulan kelahiran, sementara June Afternoon Party justru sudah tidak pernah ada lagi … Sebelumnya ada pemutaran film, dan saya tertinggal diskusi. Ternyata filmnya diganti: L’Appartment, film lamanya Monica Bellucci—saya tidak tau pasti apakah yang lain juga menangkap aura Hitchcokian seperti yang saya rasakan di film ini. (Bahkan beberapa adegan pun tampak mirip. Simak Vertigo dan Strangers on a Train, and you’ll know why…) Saya tidak sengaja menonton film ini malam-malam di Lativi beberapa minggu lalu, yang secara semena-mena diubah judulnya menjadi Lost Love. Tapi ceritanya memang soal cinta yang hilang tak tergapai, dirangkai dalam plot rumit tapi mengasyikkan. Di Tamankita beberapa orang lama muncul lagi. Salaman-rangkulan-tepuk-bahu-dan-semacamnya. Senyum lebar muka-muka lama, nada hati-hati menanya kabar, sekarang-di-mana-oh-masih-di Bandung-waduh-saya-membatin-betapa-basa-basinya-atau-mereka-emang-betul-betul-pengen-bertanya-dan-saya-heran-sendiri-kenapa-hati-ini-masih-perih-juga-menjawabnya. Ada MR histeris gembira melihat saya. Tema pesta boleh nasionalisme, tapi urusan perut soal lain. Wine(?) yang lebih mirip air pandan, dan spaghetti(!) bikinan sendiri yang maklumlah jika kurang berasa. Tiup lilinnya! Tiup lilinnya! Kue pertama untuk saya! Dan kamera-kamera menyorotnya. Mari bersulang! Mari bersulang! Happy birthday, semuanya! Wish you all the worst! … Saya mungkin hanya capek. Lonceng di kepala saya berdentang duabelas kali... Keras sekali, keras sekali.. gemanya tak hilang-hilang. Pesta belum selesai—baru mulai—saya harus pulang. Saya meringis dari balik helm, mengangguk ke satpam (jangan liat spion!), masuk gigi tiga di perempatan Borromeus, dan saya menyanyi, "…dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…” ... Heran, masih ada juga lampu merah jam segini …ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura… Belok di sekitar Japati, kecepatan standar 40 km/jam, jaket ini terlalu tipis... mengapa kita bersandiwara... mengapa kita bersandiwara… Melambat, melambat, melambat… Ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal. Penerbangan ke Timbuktu masih jam satu. Barangkali masih ada cukup waktu…
Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Saya mencatatnya. Dan Badu tertawa.
well of course I'd like to stay and chew the fat
well of course I'd like to sit around and chat
but someone's listening in.
(“Life in a Glass House”. Radiohead. 2001)
Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Setelah ngebut mengejar deadline skenario puluhan halaman (well, this project is much heavier), lalu menonton lagi secara acak Eisenstein’s Battleship Potemkin (what a grrreattt classic!), menelepon sana-sini (Bram is somewhere out there, I dunno), mengencangkan rem belakang Riri, mengecek arti kata “suffocate” di kamus, menjatuhkan sekotak tusuk gigi, menyeruput kopi busuk (c’mon, stay f**kin’ awake, pal!), sambil tetap tidak lupa memutar lirih-lirih-volume-standar-namun-pas Jarvis Cocker yang mendendangkan kesinisan terhadap fenomena-biasa-dari-kehidupan yang gagal dimaknai, dan membereskan jutaan hal-sepele-tapi-cukup-mengganggu-jika-tidak-ditengok, akhirnya sampai juga saya pada keadaan “favorit” ini, scene of the day: terdampar di sebuah ruangan berwarna cahaya kuning temaram, di meja papan di mana what-so-called intelektualitas milik beberapa kenalan pernah dipamerkan dengan percuma (bukan “gratis”, tapi “sia-sia”, dan justru beraroma blunder), juga di mana hahahihi diobral murah dengan nada frustrasi, dan segepok basa-basi selalu jadi menu pembuka yang lagi-lagi tak perlu, dan ya, saya kecewa. Saya kecewa. Saya kecewa. Hati saya mengeras, geraham ini selalu diam-diam mengatup tanpa pernah diminta, dan untung (wait a minute, untung? no, no, no, saya tak pernah terlalu yakin) bahwa pada akhirnya saya ketemu kenalan baru, seorang kikuk yang misterius-mengasyikkan. Saya melihat Jack the Narrator di depan saya, meringis menyapa: well, tentu saja kali ini saya adalah aktor watak selektif bertarif tiga puluh juta dollar yang layak menyabet Oscar. Gigi depan saya patah di sini, and ouch, your entire career will never be the same. Hai. Sudah lama?
Kami bicara di frekuensi yang sama—meski mungkin dengan mesin pemancar berbeda tahun keluaran, dia lebih klasik; kami memencet chapter yang sama di menu special feature; kami menangkap detil-detil serupa yang terlewat, juga membolak-balik kitab berdebu yang sama—bahkan selalu jatuh tepat di halaman yang itu-itu juga. Astaga. Astaga. Jangan-jangan kami menaruh merk susu yang sama di kulkas, dan menyiram jenis bunga yang serupa di kebun. Jangan salahkan saya jika kami terlampau mirip. Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Saya juga heran kenapa bisa: bahkan sebentuk tindakan-yang-tak-bisa-dibenarkan yang dilakukan terhadap institusi kenalan saya yang lain (itupun jika memang, itupun jika memang!) sedikit banyak mengingatkan pada potensi-potensi kriminal yang diam-diam menyelinap ke laci-laci bawah sadar saya. Ouch.
Saya tak habis pikir, apa yang kami perbincangkan hingga dua jam terasa dua menit? (He’s not just another movie buff. Absolutely not.) Bahwa wanita dan pistol selalu ada di film-film Godard. (“The cinema is not the station. The cinema is the train.”) … Peckinpah yang brutal—jungkir balik saya nyari Wild Bunch, dan kamu punya?—kemudian saya tawarkan High Noon, film koboi "ayam sayur" yang cukup penting … Sudah nonton Nanook of the North? Oya sori, A Bout de Souffle-nya lagi ada di saya … Line favorit dia di Annie Hall, dan kami mengumpat kagum pada Woody Allen—saya lupa bilang, Damon Albarn pernah menyinggungnya di lagu “Look Inside America”, track ke-11 album Blur, 1997 … Nah, ini pertanyaan klasik, Bung: Chaplin vs Keaton, mana yang lebih baik? Sebenarnya bukan dua sih, tapi tiga: ada Harold Lloyd, and they’re big three of great silent clowns! Go find Safety Last! (1923)—a master of daredevil comedy for high-rise antics in it, also remained an undervalued talent for many years … Oya, kenapa stand-up comedy belum bisa sukses diterapkan di Indonesia? Lalu kami bicara soal tradisi lawak pasca Srimulat … Eh, apakah Tersanjung masih ada? Udah 6 atau 7? What?! Si Indah masih belum berhenti menangis juga? … Tayangan televisi memang busuk, tapi toh kita tetap duduk berjam-jam di depannya. Kita melempar kulit kacang ke layar kaca sambil mengumpat kesal, lantas beralih ke buku di tangan kita, tapi toh mata tak bisa ditahan untuk tidak kembali mendongak menyimak “Ray Sahetapy tidak jadi menikah lagi” dan “Parto belum juga dipenjara” … Astaga, kami tertawa keras-keras. Beberapa pengunjung lain menoleh. Saya tak peduli. Entah dia. “So you just pretend to be an asshole?” Saya mengutip Andy Kaufman: ”It’s what I’m good at.”
Kami lalu “bertransaksi”. Ini semacam rencana barter: dia pengen fotokopi 653 halaman buku biografi Citizen Welles saya, dan untuk itu saya bisa meminjam novel Trainspotting dia. Orson Welles vs. Irvine Welsh! Even the names sound similar. Tak lupa saya rekomendasikan ke dia film Welles yang kedua, The Magnificent Ambersons, a brilliant drama from Booth Tarkington’s 1919 Pulitzer prize-winning novel. Dagu saya menunjuk, “Ada tuh, di rak kedua dari bawah”. Mukanya datar, “Sedahsyat Citizen Kane-kah?” Well, actually, it’s exciting in its own way, though the film was taken out of Welles’ hands, recut and reshot by others. Yeah, dia bergumam, Welles is a boy genius in cinema history … Tapi Bung, (saya benar-benar pamaeh!) saya bilang: sadar nggak, ada kejanggalan di Citizen Kane! Oya? Mukanya tampak tertarik. Yaitu? Saya nyerocos: bagaimana mungkin orang-orang di News on the March itu bisa tau bahwa “Rosebud” adalah kata-kata terakhir Kane, untuk kemudian antusias sekali mereka menyelidiki artinya? Hohoho, bukankah Kane mati sendirian di kamarnya? Bukankah dia mendesiskan kata itu seorang diri, lalu menghembuskan nafas terakhir sambil menjatuhkan bola kaca, sebelum akhirnya seorang suster datang? Bagaimana mungkin orang-orang bisa tau kata itu? Apa mereka menelepon Tuhan, the Writer Almighty, minta dikirimi halaman terakhir dari bundel script yang Dia tulis untuk “aktor” bernama Charles Foster Kane? Dia bengong. Entah takjub atau gondok. Well, maybe I am a natural born pamaeh. Peduli setan. Tapi saya inget betul, setidaknya saya tidak melakukannya waktu dulu nonton bareng film ini pertama kali di acara Kinemala (what a name!). Waktu itu saya sudah hampir melontarkan hal ini, tapi nggak jadi, takut merusak suasana di tengah decak kagum dan hujan pujian teman-teman atas Citizen Kane waktu itu. I am not a natural born pamaeh, then.
Well, dua jam yang dua menit itu tentu saja terlalu sebentar, tapi apa boleh buat: “Cut!” Another routine role telah menunggu? I dunno. So let’s say bubye dan sebagainya. (Astaga. Jadinya French New Wave atau Dogme 95? Baik, baik, nanti saja setelah 10 September) … Badu muncul tiba-tiba—merusak semuanya—menyodorkan segepok naskah berikutnya, membetulkan make-up saya, membisikkan kata-kata mutiara, dan dari studio angkasa nun jauh di atas sana Christof memberi aba-aba tak kasat mata: “Lights! Camera! Action!” Ah, the magic of those words! … Makan malam yang dobel di Dipati Ukur, sebab nasi-goreng-tidak-pedas malah menjadi sangat-pedas, dan saya (selalu!) tidak tega melihat muka bersalah penjualnya … Ada cabe yang nyelip di gigi nggak? ... Saya melihat Tom Ripley di kaca spion. "Forging signatures, telling lies and impersonating almost anyone." … Isi bensin di Katamso. Cikapayang selalu terlalu penuh jam segitu. Dan tetap tidak membeli kerupuk bapak tua itu… Ada pilu yang mengiris-iris, hati yang mengeras, dan geraham yang mengatup … Saya meringis dari balik helm, ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal, dan kecepatan standar 40 km/jam … Saya capek pasang topeng. Tapi hidup toh harus jalan terus. The show must go on! The life must go on! (So life is a show?) Ke depan, ke depan… Tok-tok-tok. Ragu-ragu saya mengetuk pintu: “Oh, Tom. Ayo masuk! Mana yang lain?” … Ke depan, ke depan… Jam dinding terus berdetak. Pukul segini Bram biasanya mati. Rutinitas ini, rutinitas ini: transkrip-brainstorming-dari-Jakarta, undian-biasa-hayo-siapa-dapat-dua, waduh-fax-rundownnya-nggak-kebaca, adakah-pengembangan-dan-semua-diam-saja, gelak-tawa-imitasi-yang-terbungkus-rapi, nasi-goreng-putih-pedas-telornya-dipisah, dan oya-ini-Rabu-rating-gimana? Deadline, deadline, deadline!
Di Tamankita rupanya lagi ada pesta … Fetisisme bersama atas bulan kelahiran, sementara June Afternoon Party justru sudah tidak pernah ada lagi … Sebelumnya ada pemutaran film, dan saya tertinggal diskusi. Ternyata filmnya diganti: L’Appartment, film lamanya Monica Bellucci—saya tidak tau pasti apakah yang lain juga menangkap aura Hitchcokian seperti yang saya rasakan di film ini. (Bahkan beberapa adegan pun tampak mirip. Simak Vertigo dan Strangers on a Train, and you’ll know why…) Saya tidak sengaja menonton film ini malam-malam di Lativi beberapa minggu lalu, yang secara semena-mena diubah judulnya menjadi Lost Love. Tapi ceritanya memang soal cinta yang hilang tak tergapai, dirangkai dalam plot rumit tapi mengasyikkan. Di Tamankita beberapa orang lama muncul lagi. Salaman-rangkulan-tepuk-bahu-dan-semacamnya. Senyum lebar muka-muka lama, nada hati-hati menanya kabar, sekarang-di-mana-oh-masih-di Bandung-waduh-saya-membatin-betapa-basa-basinya-atau-mereka-emang-betul-betul-pengen-bertanya-dan-saya-heran-sendiri-kenapa-hati-ini-masih-perih-juga-menjawabnya. Ada MR histeris gembira melihat saya. Tema pesta boleh nasionalisme, tapi urusan perut soal lain. Wine(?) yang lebih mirip air pandan, dan spaghetti(!) bikinan sendiri yang maklumlah jika kurang berasa. Tiup lilinnya! Tiup lilinnya! Kue pertama untuk saya! Dan kamera-kamera menyorotnya. Mari bersulang! Mari bersulang! Happy birthday, semuanya! Wish you all the worst! … Saya mungkin hanya capek. Lonceng di kepala saya berdentang duabelas kali... Keras sekali, keras sekali.. gemanya tak hilang-hilang. Pesta belum selesai—baru mulai—saya harus pulang. Saya meringis dari balik helm, mengangguk ke satpam (jangan liat spion!), masuk gigi tiga di perempatan Borromeus, dan saya menyanyi, "…dunia ini, panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…” ... Heran, masih ada juga lampu merah jam segini …ada peran wajar, dan ada peran berpura-pura… Belok di sekitar Japati, kecepatan standar 40 km/jam, jaket ini terlalu tipis... mengapa kita bersandiwara... mengapa kita bersandiwara… Melambat, melambat, melambat… Ini gelap punya malam, bulan separuh terpenggal. Penerbangan ke Timbuktu masih jam satu. Barangkali masih ada cukup waktu…
Kemarin lusa adalah kemarin lusa yang penuh sekali. Saya mencatatnya. Dan Badu tertawa.
* * *