::: the chaplin institute
“The story of industry, of individual enterprise—humanity crusading in the pursuit of happiness.”
(Modern Times’ opening title. Charles Chaplin. USA. 1936)
Jatinangor adalah kampus terik gersang nggak mutu. Minggu lalu saya harus ke sana untuk sebuah keperluan. Saya diundang menjadi pembicara di acara pemutaran film dan diskusi dalam rangka penerimaan mahasiswa baru. Bercucuran keringat saya ke sana, naik motor dibakar matahari, dan diasapi bis Damri. Sempat minum teh-botol-dingin-menyegarkan di kantin Sastra, mendaftar kembali film apa saja di tas saya (waduh, Man Bites Dog nyelip di mana ya?), kirim SMS sana sini (halo-hai-saya-sudah-sampai-nih), mengecek buku agenda, meraut pensil bujel kesayangan, Badu iseng mencoba menghitung jumlah pohon, sampai akhirnya seorang panitia datang juga menjemput. Astaga, masih muda banget (punten-kang-terlambat-dan-sebagainya-saya-sih-tersenyum-simpul-saja). Baik, baik. Kami naik ke lantai dua. Tajuk acaranya kurang lebih “Chaplin, Film, dan Sejarah”. Hmmm.
Panitia sempat mengajukan pilihan untuk memutar film Chaplin yang mana: The Circus (1928), atau The Kid (1925). Bahkan di layar in-focus (belakangan baru saya tahu mereka nyewa dari Ruku!) sudah tersorot gambar potongan scene dari film itu. Tapi saya keberatan. Saya pikir bukan dua-duanya. The Circus memang kental nuansa komedinya, sebuah jalan pintas yang tepat untuk kenalan dengan karya-karya Charles Chaplin. (Adegan berjalan-di-atas-tali-digangguin-monyet-dan-celana-melorot di film itu, what a brilliant tightrope sequence!) Sementara The Kid bolehlah populer karena hubungan emosionalnya dengan si kecil Jackie yang sangat menyentuh. (Adegan penyelamatan yang heroik dan dramatis di akhir film itu—diputar kembali di malam Academy Award, Los Angeles, April 1972 when 83-year-old-Chaplin was invited to return to America to receive a special Oscar—masih saja membuat saya merinding dan berkaca-kaca setiap kali menontonnya.) Tapi ngomongin Chaplin dalam konteks sejarah dunia (termasuk sinema), jelas lebih tepat jika memakai film Modern Times (1936). Ini bukan sekadar film komedi, Bung. Ini potret sosial yang jeli, sarat dengan satir. Dari film itu kita bisa membahas banyak hal: mekanisasi pabrik-pabrik dan dehumanisasi pekerja, perkembangan teknologi film (silent vs. talkie), kelas-kelas sosial masyarakat Amerika di era Depresi, perkembangan ideologi dunia, dsb, dsb. (Well, memang ada The Great Dictator (1940) yang memparodikan Hitler dan fasisme—yang tentu saja bisa memancing diskusi politik yang lebih seru—tapi ada masalah durasi yang terlalu panjang, dan hey, there’s no little tramp our little fellow there!) Dan tentu saja, di Modern Times masih tetap bertaburan ketrampilan fisik khas Chaplin: pameran kelenturan jasmani yang memukau, dengan pengaturan timing yang sempurna. Hurts and humor, hard works and hard-knocks, it’s all there! Semuanya dirangkai dalam plot cerita yang logis dan rapi, in a really careful display. Setelah mempertimbangkan segala masukan saya, panitia (mau nggak mau) akhirnya setuju. Pemutaran dimulai. Saya tersenyum melihat mahasiwa-mahasiswa baru masuk ruangan. Badu berbisik ke saya, “Hehe, coba kalo mereka tau elo juga angk…” Ucapannya terpotong sodokan sikut saya ke perutnya. Badu mesti diam meski dia tak suka Chaplin. (“I prefer Keaton,” he once said. “..or Lloyd.”) Whatever, Badu, just keep your mouth shut. De gustibus non est disputandum. Di ruangan yang lantainya berundak-undak itu, saya (dan Badu di sebelah saya) memilih duduk di pojok. Lampu dimatikan, film diputar. Saya masih saja bergetar menatap opening title berupa jam besar dan musik pengiringnya yang terasa menampar-nampar hati... Melempar saya kembali ke sebuah kamar sempit di Shinjuku, saat pertama kali saya menonton film ini beberapa tahun lalu... ("Kudamono ga doko desu ka?") ... Cahaya-berpendar-pendar-tak-rata, Chaplin beraksi, garis-semburat-tanda-tlah-lama, penonton tergelak-gelak, BA dan istri meringis sesekali... oh oh, benar-benar hitam-putih yang seksi!
Waktu diskusi, saya dan Maneka bergantian menjelaskan simbol-simbol film itu. I said like City Lights (another Chaplin’s masterpiece in the talkies-era, 1931), Modern Times was to be essentially a silent film with sound effects and a musical score … We talked about the Great Depression and the new problems of the 1930s—poverty and unemployments (“We’re not burglars. We’re hungry.”), the tyranny of the machine (one of the Budi’s most memorable film scenes of all time: Chaplin getting caught up in the cogs of a giant machine...), strikes and political intolerance, even narcotics (Chaplin-getting-high-in-jail is a very funny sequence!) … Maneka quoted Barthes to approach the proletarian theme. We admired the smart opening scene (a very cynical one, actually), a symbolic juxtaposition of shots of sheep being herded and of workers streaming out of a factory… Blah blah blah… Mulut kami berbusa-busa. (Ternyata siaran di radio dan ngomong langsung di depan audiens adalah dua hal yang sama sekali berbeda.)
Jatinangor benar-benar panas, terik gersang nggak mutu. (Senang juga waktu mereka menunjukkan salah satu program ospek mereka adalah menanam pohon-pohon di kampus. Dan saya langsung terkenang kampus rindang Ganesha yang pernah saya akrabi..) Kami lalu dapat sekotak konsumsi, meneguk air aqua, dan melanjutkan ocehan. Berikutnya benar-benar ke mana-mana… Bahwa Chaplin pernah ke Bandung dan nginep di Savoy-Homann… Bahwa Chaplin dituduh komunis dan diusir dari Amerika… Bahwa Chaplin pernah ke Prambanan dan nonton pertunjukan Sendratari Ramayana… Bahwa Jojon-Asmuni-Gogon adalah sekumpulan epigon yang gagal, Chaplin-wannabes yang ampun-deh-muke-lu-jauuh! … Gosip-gosip bahwa Che Guevara pernah ke Indonesia, dan Hitler hidup lama bersembunyi di Lombok… Astaga. Astaga. Lalu seseorang bertanya, soal kumis Chaplin dan Hitler, siapa meniru siapa? Waduh, nggak ada pertanyaan lain, apa? Both had chosen to wear similar moustaches, even if only one of them was real… Well, Chaplin dan Hitler memang banyak kemiripan. Mereka lahir hanya beda empat hari(!) pada April 1889. What a coincidence! Keduanya sama-sama mengalami masa kecil yang suram, sama-sama bergulat melawan kemiskinan, until they reached great success in their different respective fields—perhaps the best loved and the most hated men in the world. Maneka lalu menyambung, blah blah blah…
Waktu mau pulang, baru sadar kalau di luar turun hujan. Baiklah, kalo tadi berangkat kepanasan, sekarang pulang pun harus kehujanan. Bandung emang aneh. Tapi saya menikmatinya, sementara Badu terus saja menggerutu. Ini perjalanan pulang yang seru: Timbuktu ke arah Barat, waktu itu sudah sore, dan matahari hampir terbenam. Persis sekali adegan terakhir film Chaplin, berjalan ke arah horizon. Masih ada secercah harap esok hari. Saya ingat Tuan Polan, di mana dia sekarang? Dia benar-benar harus menonton film ini!
(Oya, saya dan Maneka tadi mengaku dari… The Chaplin Institute. Bilang aja kantornya di Sarijadi, di apartemennya Maneka. Dan orang-orang percaya. Untung nggak dimintai kartu nama. Belum bikin. Huahaha.)
* * *