::: mengenang suwargi pak superman
dino mburi dinane
wohing katresnan
witing tresno ketemu
ring dino mburi
[“Tanah Makam, Cintaku (Requiem Dandanggula Tlutur)”. Sujiwo Tejo. 1998]
Sekitar seminggu yang lalu, Senin Legi 11 Oktober 2004, Christopher Reeve, pemeran legendaris Superman, wafat dalam usia 52 tahun. Saya membaca berita itu, dan langsung teringat masa kecil. Di layar bioskop, Superman dengan gagah berani bertempur melawan Manusia Nuklir yang hampir-hampir mustahil ditaklukkan. Deg-degan sekali saya waktu itu, kuatir jagoan saya itu kalah. Tapi untunglah, akhir ceritanya bikin saya lega dan bertepuk tangan keras-keras. Masih bercelana pendek waktu itu, saya nonton di sebuah bioskop kelas kambing (satu-satunya bioskop di kampung halaman saya) yang berkursi besi (pantat suka jadi pedas) dan 90% penontonnya merokok. Pengapnya bukan main, dan asap rokok sering mengganggu sorotan dari proyektor tua yang klethek klethek berisik bunyinya. Bau pesing pula. Aduh, pasti ada yang pernah diam-diam pipis di pojok sana. Karena lantainya datar (!), saya harus jongkok di atas kursi supaya pandangan mata tidak ketutupan orang di kursi depan saya.
Wah, saya inget betul, harga karcisnya cuma Rp 400. Yak, Anda tidak salah baca: EMPAT RATUS RUPIAH SAJAH! Jadi, cukup dengan uang lima ratus rupiah dari Ibu, selain karcis saya masih bisa beli sebungkus marneng (cemilan yang masih satu keluarga dengan popcorn dan grontol), dan menyemplungkan kembaliannya (!) ke celengan ayam saya di bawah kolong tempat tidur. Sepulang nonton, saya loncat-loncat di kamar, memperagakan adegan-adegan perkelahian di film tadi, dengan jubah terbang dari sarung batik diikatkan ke leher, dan kertas ditempel di dada bertuliskan huruf “S” (tentu saja dengan desain asal-asalan yang sangat jauh dari logo aslinya). Saya tidak sabar menunggu keesokan harinya, pengen menceritakan serunya film tadi ke teman sebangku di sekolah, mungkin sambil bisik-bisik di sela-sela Ibu Guru menerangkan pelajaran PSPB.
Saya juga teringat sekitar dua tahun lalu, ketika saya diminta seorang teman untuk menulis di sebuah majalah. Tulisan saya itu dibayar dengan honor yang tidak masuk akal kecilnya, yang langsung habis untuk membayar denda rental beberapa VCD Superman yang saya sewa sebelum menulis. (Honornya yang terlalu kecil, atau dendanya yang terlalu besar?) Well, tidak jadi soal, sebab Superman adalah pahlawan saya waktu SD, selain Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman. Selamat jalan Pak Superman, semoga di alam baka sana, sampeyan tetap bisa memberantas kejahatan.
* * *