okt dog budibadabadu: 05/01/2006 - 06/01/2006

Wednesday, May 24, 2006

::: Apa jang Kau Tjari, Tuan Ripley?


"If I could just go back, I'd rub everything out, beginning with myself."
—Tom Ripley, in The Talented Mr. Ripley, Anthony Minghella, 1999

In the spring of 1921, two automatic photographic machines, recently invented abroad, were installed in Prague, which reproduced six or ten or more exposures of the same person on a single print.

When I took such a series of photographs to Kafka I said light-heartedly: "For a couple of krone one can have oneself photographed from every angle. The apparatus is a mechanical Know-Thyself."

"You mean to say, the Mistake-Thyself," said Kafka, with a faint smile.

I protested: "What do you mean? The camera cannot lie!"

"Who told you that?" Kafka leaned his head toward his shoulder. "Photography concentrates one's eye on the superficial. For that reason it obscures the hidden life which glimmers through the outlines of things like a play of light and shade. One can't catch that even with the sharpest lens. One has to grope for it by feeling... This automatic camera doesn't multiply men's eyes but only gives a fantastically simplified fly eye's view."

—from Gustav Janouch's Conversations with Kafka (1971).

* * *

Thursday, May 18, 2006

::: DOGME 95: Breaking The New Waves!

The Vow of Chastity / DOGME 95

1. Shooting must be done on location. Props and sets must not be brought in (if a particular prop is necessary for the story, a location must be chosen where this prop is to be found).
2. The sound must never be produced apart from the images or vice versa. (Music must not be used unless it occurs where the scene is being shot).
3. The camera must be hand-held. Any movement or immobility attainable in the hand is permitted. (The film must not take place where the camera is standing; shooting must take place where the film takes place).
4. The film must be in colour. Special lighting is not acceptable. (If there is too little light for exposure the scene must be cut or a single lamp be attached to the camera).
5. Optical work and filters are forbidden.
6. The film must not contain superficial action. (Murders, weapons, etc. must not occur.)
7. Temporal and geographical alienation are forbidden. (That is to say that the film takes place here and now.)
8. Genre movies are not acceptable.
9. The film format must be Academy 35 mm.
10. The director must not be credited.


* * *

Terlepas dari selentingan kabar bahwa Vow of Chasity alias Manifesto DOGME 95 (terlampir di atas) ditulis Thomas Vinterberg dan Lars von Trier hanya dalam waktu 25 menit diiringi tawa ngawur keduanya, tak dapat dipungkiri gerakan ini telah mewarnai sejarah sinema. Film-film dari seluruh dunia yang telah didaftarkan dalam gerakan DOGME 95—yang berarti dibuat berdasarkan aturan-aturannya—telah mencapai 110 judul, satu bukti gerakan ini ditanggapi secara serius.

Ketika didirikan pada tahun 1995, DOGME 95 secara jelas memposisikan dirinya melawan gerakan yang telah mapan sebelumnya. "DOGME 95 adalah sebuah aksi penyelamatan!" Bagi Vinterberg dan von Trier, gerakan New Wave yang bermula di Prancis dengan semboyan "director as an author"—di mana film-film di zaman itu dianggap sebagai "karya lukis orisinal" sutradaranya—telah mati. Mereka menganggap konsep "author" adalah romantisme para intelek-borjuis semata, sehingga gerakan New Wave yang awalnya menjamur sebagai protes anti-borjuasi justru menjelma menjadi gerakan borjuasi.

Lalu dicanangkanlah sebuah gerakan di mana film tidak lagi dianggap sebagai "high art": video berkualitas rendah pun bisa dijadikan mediumnya. Berhentilah menipu penonton, begitu kira-kira ajakan para pencetus DOGME 95. Berhentilah menyuguhkan ilusi dengan pendandanan berlebihan dalam produksi film: setting, aktor profesional beserta skenario yang terlalu mengekang, kamera yang terlalu canggih beserta alat bantunya yang hanya menghasilkan halusinasi semata.

Hasilnya tentu beragam. Tidak semua menarik dan berkualitas, namun dalam pemutaran bulanan kali ini, Kineruku berusaha menghadirkan contoh-contoh terbaiknya: The Celebration—karya monumental Thomas Vinterberg yang bukan hanya 'melahirkan' DOGME 95, namun juga telah menjadi tonggak perfilman dunia; The King is Alive—sebuah eksperimentasi cerita menarik dari Kristian Levring; dan Mifune—salah satu film drama DOGME 95 terindah dan terhangat karya Soren Kragh-Jacobsen.

Selamat berpikir ulang tentang arti sinema.

Film Programmer kineruku
Ariani Darmawan, Budi Warsito, Tumpal Tampubolon

Selengkapnya lihat di sini.

* * *

Tuesday, May 16, 2006

::: Anak Band Beranak Band

"Set your guitars and banjos on fire, and before you write a song: smoke a pack of whiskey and it'll all take care of itself." —Beck.

Kami bertiga (Budi, Bada, dan Badu) di Kompleks Timbuktu Raya merasa melihat betapa nge-band sepertinya cool. Padahal tak satupun dari kami yang bisa memainkan instrumen musik dengan benar. Tapi kami cuek, karena denger-denger "cuek" itu juga cool.

Segepok rencana disusun, dan rencana paling dekat dari kami adalah: "menjadi band terkenal". Kalo bisa, secepatnya. Karena itu, kami berniat untuk rajin latihan di garasi tua nan bobrok di bawah rumah pohon kami, sebab kami denger juga banyak band terkenal yang mulai karirnya dari tempat-tempat cool semacam itu. Untuk itu, Badu terpaksa merelakan VW Combi-nya (yang sebenarnya lebih mirip rongsokan besi tua daripada mobil) dipindahkan dari garasi. Harus didorong, tentu saja, karena sudah terlalu lama mogok. Tukang bengkel di seluruh dunia pun sudah angkat tangan: kondisinya terlalu parah.

Ketika kami dorong bersama-sama keluar, bodinya berderit-derit berisik. Saya ingat, waktu si VW Combi sialan ini masih jalan (astaga, itu sudah lama sekali, ketika Muhammad Ali masih perkasa di ring tinju), bunyinya berisik sekali. Mesinnya berderak-derak. Jendela kacanya gemeretak. Pokoknya semua bunyi, kecuali… klakson. Parah! Tak ada yang bisa dibanggakan dari rongsokan itu, kecuali jika menurut Badu, adalah plat nomornya: B 4 DU. Itu pun sebenarnya kami tidak bangga. Biasa aja.

Persiapan dimulai. Kami harus menyulap garasi tua itu demi tujuan mulia: punya studio latihan sendiri. Ayo bagi tugas! Badu memindahkan barang-barang sambil menggerutu (peti-peti kemas milik papanya Badu sebenarnya cool sih, tapi kami selalu curiga salah satu di antaranya berisi mayat, jadi kami tidak mau ambil risiko kebisingan latihan band metal kami kelak akan membangunkan arwah-arwah yang penasaran). Saya menyapu dan mengepel lantai, memperbaiki atap bocor, dan menyemprotkan pewangi ruangan. Bada menyebar undangan ke kost-kost cewek di sekitar rumah untuk menjajaki kemungkinan adanya groupies awal band-kami-yang-bakal-terkenal ini. Hoho, pede dong. Sebab pede itu juga cool.

Setelah menjaga garasi itu supaya tetap dalam kondisi "tidak terlalu kotor, tapi juga tidak terlalu bersih" sebab denger-denger agak kumuh itu juga cool, maka kami siap latihan nge-band. Badu sudah siap dengan celana jeans robek-robeknya (katanya ini juga cool), Bada memakai topi panjang ala Slash (katanya ciri khas itu penting, demi image band. Tapi kok nyontek yang udah ada ya?), dan saya sudah siap dengan… bekal makan siang. Lho kok? Iya dong, sebab kalo rocker kena maag itu juga tidak cool, bukan?

Seusai sambutan dari Bada (kami bertiga sepakat menuakan Bada), sepatah dua patah kata dari Badu (kami anggap dia perwakilan anak muda, kebetulan dia juga aktif sebagai Ketua Pemuda dari muda-mudi Karang Taruna di Kompleks Timbuktu Raya), dilanjutkan gunting pita dan tabuh gong, potong nasi tumpeng dan minum jus wortel, studio latihan (d/h garasi) kami resmi dibuka. Kami sepakat menamakan studio baru kami itu dengan: "Latihan". Nama yang cool, bukan? Jadi kalo dibaca lengkap: Studio "Latihan". Oh my Ghost, alangkah brilian ide kami ini, yang memang tidak suka istilah-istilah sok berat yang berkias-kias dan simbolik. Sebab kami bertiga orang lugas-lugas. Oke, sedikit bodoh memang. Peduli setan, pokoknya kami siap latihan dan mengguncang dunia!

Dan di saat itulah kami baru menyadari sesuatu: kami belum punya alat musik satu pun.

Damn! Kami merasa sangat (bukan "sedikit" lagi) bodoh. Ini esensial, tauk! Bagaimana mungkin kami bisa latihan kalo nggak ada alat musik sepotong pun? Bahkan kicrik-kicrik pun kami tak punya. Setelah saling tuding dan menyalahkan (Badu: "Kamu sih Bud, mikirnya interior ruangan mulu! " Budi: "Enak aja, aku juga harus mikirin logistik dan konsumsi, tauk!" ... Mulai panas: "Kamu tuh yang kerjanya nggak bener!" ... Debat kusir: "Nggak, kamu!!" ... "Yee, kamu!!!" Nyaris tonjok-tonjokan: "Kamu!!!"... "Kamu!!!"), akhirnya Bada melerai kami berdua, dan mengaku salah: "Udah, udah, jangan berantem. Ini salah saya. Harusnya saya kemarin survey alat band, tapi saya malah keliru beli alat pancing dan wajan penggorengan ikan."

Saya dan Badu berdua melongo. Argh. Di kepala kami sama-sama tertulis: Bodoh! Benar-benar bodoh! Kok bisa? Kita kan mau nge-band, bukan magang jadi koki? Tapi karena Bada anggota yang kami tuakan, segala makian itu cukup dilafalkan dalam hati saja, supaya lebih afdol dan tidak memicu konflik. Amin. Akhirnya, kami sepakat untuk ke toko alat musik dan belanja keperluan kami di sana. Problemnya adalah: kami semua sedang bokek. Kas rumah pohon kami sudah ludes untuk keperluan renovasi garasi menjadi studio, dan sisanya sudah kami habiskan di meja judi. Gawat.

"Ada usul, gimana cara kita membeli alat musik?"

"Aku tahu!" Badu berdiri, sorot matanya tampak berbinar-binar. Dalam hati, saya dan Bada melafalkan doa: semoga usul Badu kali ini bagus. "Gimana kalo kita ke toko musik, lalu kita pecahin semua alat di sana?"

Saya dan Bada saling berpandangan, bingung. "Ehmm, maksud kamu?"

Badu kesal, "Ah, dasar bodoh kalian ini. Di toko kan suka ada tulisan 'Pecah Berarti Membeli'! Jadi, kalo kita pecahin alat musik di sana, berarti kita membelinya!!"


Kami lebih kesal, karena doa kami tidak terkabul. "Arrrgggghhhh, maksudnya… DUIT-nya monyoooongggg...!!!"

Sampai sekarang kami masih heran, apa yang sedang ada di pikiran Tuhan ketika Dia menciptakan Badu.

Setelah melalui musyawarah untuk mufakat (lihat, alangkah mulianya kami, masih menjaga nilai-nilai luhur bangsa!), keputusan bersamanya adalah: kami harus bekerja terlebih dahulu, mengumpulkan dana untuk membeli alat-alat musik idaman kami. Pokoknya kami harus bisa nge-band!

Besoknya, kami mencari uang dengan kemampuan kami masing-masing. Ada yang mulai menulis lagi naskah komedi untuk salah satu acara lawak paling fenomenal di sejarah pertelevisian negeri ini. Ada yang pulang kampung dan menjual kerbau-kerbau peninggalan kakek. Kami kumpulin duit sedikit demi sedikit, lama lama menjadi bukit. (Hmm, peribahasa yang aneh: maunya ngumpulin "duit", kok dapetnya malah "bukit"? Oh, apa "bukit"-nya harus kita jual dulu, baru kita dapet "duit" gitu? Aduh, rumit...)

Sementara Badu menjual balon di sekolah-sekolah dasar. Kasihan, rupanya dia belum tau, bahwa ketimbang lagu "Balonku ada limaa... Rupa-rupa warnanyaaa...", anak-anak zaman sekarang lebih suka, "Aku punya teman... Teman tapi mesraaaa..." Dia langsung banting setir, menjual lotre di bungkus permen. "Bagaimanapun, judi itu abadi Bos, tak kenal zaman." Walhasil, dia berurusan dengan pihak sekolah dan kepolisian, karena menjanjikan hadiah motor padahal bohong. Badu masuk penjara atas tuduhan penipuan. Tapi dengan bantuan Setan, yang kebetulan dikurung di sel sebelah atas tuduhan pemaksiatan, Badu berhasil kabur dari penjara.

Sebagai ucapan terimakasihnya, Badu mendirikan usaha baru: atraksi Tong Setan. Dia sendiri yang jadi penunggang motor. ("Aku kan ada bakat pembalap", kata Badu pede. Padahal, seingat kami, satu-satunya balapan yang dia pernah dia ikuti adalah karapan sapi.) Sialnya, usaha Tong Setan ini pun tidak banyak menghasilkan untung. Malah sering merugi, karena harga BBM selalu naik dan naik terus, dan rasanya kok sayang aja buang-buang bensin hanya untuk berputar-putar bodoh di tong seperti itu. Dirundung rasa putus asa, keinginan punya duit (plus bisikan Setan tentunya), akhirnya Badu, maaf, jual diri. Sayang caranya salah: dia berteriak-teriak sambil menjajakan dagangannya: "Diri, diri! Diri!" Bukannya laku, orang-orang malah menganggapnya gila. Mungkin mereka benar.

Saya dan Bada berdua merasa kasihan. Dengan semangat kebersamaan dan toleransi antar sesama umat manusia, penuh haru kami merangkul Badu, mengajaknya insyaf, dan menggandengnya pulang. Trio "B" kami utuh lagi, dan kabar bagusnya: uang kami sudah cukup untuk belanja alat musik. Kami lalu berangkat ke toko alat musik yang sudah kami incar dari dulu. Sepanjang jalan, saya dan Bada bernyanyi-nyanyi riang (sekaligus mengasah persediaan lagu kami), sementara Badu dari tadi hanya diam saja. Kami mengira dia masih merasa nggak enak karena tidak ikut berkontribusi secara materi. Waktu pelan-pelan saya yakinkan bahwa itu tidak apa-apa, dia malah heran: "Kalian kenapa sih? Aku kan lagi mikir, gitar merk apa yang sebaiknya kita beli nanti!"

Well, itu baru Badu yang kami kenal selama ini!

Sesampainya di toko (namanya Toko "Musik"! Hohoho, kami merasa satu frekuensi!), atas rekomendasi kuat (bahkan setengah memaksa) dari seorang petugas parkirnya, akhirnya Badu memilih satu gitar lusuh di pojok toko. "Itu gitar legendaris peninggalan musisi yang sangat terkenal di zamannya!" demikian katanya ketika memberi kartu parkir. Lalu kami periksa gitar itu, tampak di stikernya yang sudah kusam, nama merk-nya: "Tua". Hmm, ini pertanda bagus. Dengan gitar "Tua" ini, Badu pasti akan merasa seperti Rhoma Irama. Kami jadi curiga, ada hubungan apa antara Pak-Petugas-Parkir tadi dengan Soneta.

Bada, sebagai pemain spesialis alat tiup, mulai mencari-cari saksofon. Kami memang sempat berpikir menjadikan band kami beraliran jazz (karena "...daripada musik metal lebih baik musik jazz..."), tapi rupanya Toko "Musik" ini tidak menjual saksofon. Di etalase instrumen musik tiup, kami hanya menemukan harmonika (yang segera kami hindari karena kami tidak mau mirip pengamen jalanan), pianika (aduh, emangnya anak SD ujian EBTA praktek?), seruling bambu (Oh, no! Kami bukan band Si Gembala Sapi!), dan... terompet bekas Tahun Baru kemarin.

Astaga, kami merasa salah memilih toko. Dengan suara tercekat, Bada bertanya, "Alat musik tiupnya, adanya cuma ini aja, Mbak?" Seperti teringat sesuatu, Mbak-Pelayan-Yang-Lumayan, bergegas ke arah lemari. Dikeluarkannya kotak hitam lusuh, dan berkata "Ini ada yang lain, Dik..." (Waduh, ge-er juga dipanggil "Dik". Pasti wajah imut kami lah penyebabnya.) Tapi begitu kotak hitam itu dibuka, kami lemas melihat isinya: Peluit!

"Gimana, Dik? Tertarik? Ini alat tiup juga kan? Kata distributornya, ini limited edition lho!"

Peluit? Distributor? Tanpa aba-aba, kami bertiga serentak menoleh ke luar. Tampak Pak-Petugas-Parkir melengos cepat-cepat, dan bersiul-siul pura-pura tak mendengar percakapan kami. Damn, apa yang bisa kami harapkan dari toko musik sialan ini?

Akhirnya, sambil malas-malasan, Bada mengambil seruling bambu. "Jangan kuatir, teman-teman. Saya akan me-modif-nya menjadi sedikit berkelas. Band besar sekaliber Jethro Tull aja juga make seruling... " Oke, terserah kata Bada lah. Dia anggota yang kami tuakan, dan bagaimanapun, menurut pada orang tua adalah sikap yang terpuji.

Oya, sebagai sebagai vokalis, supaya tidak terlalu nganggur waktu manggung nanti, saya pikir saya perlu kicrik-kicrik. Oh, rupanya stok toko lagi kosong. Kata Mbak-Pelayan-Yang-Lumayan, alat musik itu lagi nge-trend di kalangan musisi sekarang, jadinya sold-out terus dari bulan kemarin. Sebagai ganti kicrik-kicrik, saya beli game-watch Tetris. Toh fungsinya sama: supaya saya tidak terlalu nganggur saat nyanyi di panggung. Saya bayangkan, ketika membawakan salah satu lagu hits kami, seusai saya menyanyikan reffrain dua kali, Badu akan bersolo gitar nantinya (yang pasti akan makan waktu cukup lama, karena dia krisis eksistensi), maka selama itu saya akan main Tetris. Cool.

Saatnya membayar. Di kasir, kami gagal meminta diskon. Padahal Badu sudah pura-pura menyamar jadi fakir miskin dan anak terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara. Kaosnya robek-robek, celananya dekil, tapi sialnya bermerk mahal. Tentu saja petugas kasirnya tak percaya, jadinya nggak ngasih diskon. Hmm, Mbak Kasir-nya cantik juga, tapi tampaknya judes dan pelit. Bener aja. Waktu kembaliannya kurang, kami dikasih permen. "Kembaliannya permen aja ya? Sok atuh, kalian masing-masing ambil 1 permen!" Kami kesal bukan main. Enak aja kembalian tiga ratus perak diganti permen. "Kenapa sih kembaliannya... PERMEN???"

Kejudesannya benar-benar melenyapkan kecantikannya, apalagi ketika dia menjawab, ”Karena kalian masih kecil... Masih anak-anak. Jadinya kembaliannya dikasih permen...”

Oh man, meski berwajah imut, kami bukan anak-anak! Dari hidung Badu keluar api ketika dengan kesal dia menyergah, "Jadi kalo kami ntar udah gede, kembaliannya BIR???"

Benar-benar Mbak-Kasir-Yang-Kikir.

Lalu kami pulang. Meski sedikit kesal dengan perlakuan toko yang aneh tadi, kami mencoba tetap fokus pada cita-cita kami semula: Menjadi Anak Band! Oh, cool. Di kepala kami tersusun lagi rencana-rencana semula: latihan di garasi, manggung di venue-venue indie, masang lagu kami di internet, dilirik produser idealis yang handal, kontrak rekaman yang menggiurkan, masuk TV dan terkenal, jadwal tur yang padat, dikerubutin cewek, dsb., dll., etc., ...

Sayang, mimpi kami tinggal mimpi. Sebab, satu musibah besar menimpa kami. Bahkan sebelum kami mulai. Di jalan pulang, kami bertemu... seekor naga. Ya, benar, seekor Naga Raksasa! (Damn! Bukankah kami tidak memakai rute pulang lewat Kampung Naga?)

Ya, ya, ya, kami tahu, kalian pasti tidak akan percaya. Selama ini kami bertiga juga mengira bahwa Naga hanya hidup di cerita-cerita dongeng, tapi sekarang... ya, sekarang, Saudara-saudara... astaga, kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. SEEKOR NAGA RAKSASA! Besar, sungguh-sungguh besar, dan NYATA.


Oh my Ghost! Sebelum kami sempat berpikir untuk kabur, Sang Naga itu mendenguskan nafas api, membakar seluruh alat musik kami. Dia kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, mau memakan kami! Tak sempat menjerit, kami bertiga saling berpelukan seperti finalis AFI sambil berikrar sehidup semati. Hap! Naga itu menelan kami!

Di saat itulah kami mulai paham istilah "iih, mulut lu bau naga!", apalagi kami belajar langsung di lapangan, dan langsung dari sumbernya yang paling terpercaya. Kami semua jatuh pingsan, tak kuasa menahan bau naga mulut Sang Naga.

Begitu kami siuman, kami sudah berada di dalam perut Naga. Sejak saat itulah, kami harus hidup di sana. Sampai sekarang. Kami sedang berpikir keras, bagaimana cara keluar dari tempat ini. Mungkin dengan kami menulis cerita ini, kalian para pembaca jadi tergerak untuk menolong kami. Tulislah surat pembaca, kirimkan ke PO BOX N464. Kami tunggu ya. Terimakasih.

Salam,
Budi, Bada, dan Badu.

NB: Demi Tuhan, kami hanya pengen jadi Anak Band! Tolooongggg...
(efek bergema, maklum dari dalam perut Naga.)

* * *
Budi B. Badu adalah seorang writer-wannabe
yang sedang belajar menulis cerita anak.
Semoga Tuhan mengampuni dia.

*) Tentu saja judul posting ini diilhami oleh judul film dokumenter Anak Naga Beranak Naga (2006), karya Ariani Darmawan—teman baik, lawan main pingpong yang tangguh, dan partner saya di kineruku. Entah ini semacam a tribute to, atau malah parodi. Hehe, you decide, Cik Rantje! :)