okt dog budibadabadu: 10/01/2004 - 11/01/2004

Sunday, October 31, 2004

::: apalah arti sebuah nama


"What's in a name? That which we call a rose by any other word would smell as sweet." -Shakespeare's Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)

aduh jadi ceritanya saya ikut-ikutan nih... hah basi banget. yah namanya juga manusia. rasa penasaran itu kok selalu ada ya. uhuk-uhuk! semoga singkatan-singkatan itu benar adanya. walah kok malah berharap-harap gini. uhuk-uhuk lagi!

BBrainy
UUseful
DDramatic
IIndustrious
BBrutal
AAmbitious
DDelicate
AAstounding
BBrilliant
AAwesome
DDelicious
UUnforgettable


yang mau coba bisa langsung ketik nama anda di kotak di bawah ini. gak punya nama? ah masak sih, lha wong kucing aja suka punya nama.. selamat datang di dunia iseng-iseng penghiburan! meski basi yang penting refreshing, mas.. mbak.. :)


Name / Username:




Name Acronym Generator
From
Go-Quiz.com


* * *

Saturday, October 30, 2004

::: dr. strangepop, or how they learn to start worrying and hate the fame...


You aren't really anybody in America if you're not on TV.
[Nicole Kidman in To Die For, Gus Van Sant, USA, 1995]


Berapa harga popularitas? Kalau
menurut ayah pemenang AFI 3: setidaknya Rp 100 juta. Jujur sekali dia, batin saya, ketika membaca pengakuan itu di sebuah media. Beberapa minggu lalu, terkantuk-kantuk saya menghabiskan makan malam yang terlambat, di depan televisi yang menayangkan "Wisuda" 12 akademia AFI 3—sangat membosankan. (Wisuda? Plis dong deh! Bukankah yang tereliminasi harusnya DO?)

Ketika kontes popularitas sedang menjamur di negeri ini, saya malah teringat Kurt Cobain, yang tersiksa karena popularitas; atau J.D. Salinger, yang justru menghindari publisitas. Saya tidak tahu apakah kelak di kemudian hari AFI 3 akan selalu diingat dan dikenang orang (seperti harapan mereka dengan menyanyikan lagu Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan di akhir acara), sementara kita semua tahu bahwa album-album Nirvana dan novel Catcher in the Rye terbukti abadi.


Jika di Barat sana—yang notabene juga tak lepas dari hasrat menghamba pada popularitas [coba tengok lagi quote di atas]—telah tercatat beberapa contoh figur populer yang justru muak dengan ketenaran, kemudian hengkang darinya, bagaimana dengan di Indonesia? Saya tidak tahu. Yang jelas, beberapa televisi Indonesia, selain menjejali pemirsanya dengan puluhan infotainment yang nggak mutu, pernah juga menayangkan videoklip Blur, Coffee and TV, yang entah disadari atau tidak oleh khalayak, sebenarnya bercerita dengan sangat bagus perkara “dunia popularitas”.

Ini dia catatan ringan yang ditulis Badu sebagai penikmat setia lagu-lagu Blur, atas kejeniusan seorang Graham Coxon menulis lagu, dan kejelian seorang Garth Jennings menerjemahkannya ke dalam bahasa videoklip:
>> kopi, tv, popularitas
Sebuah kotak susu berjalan di tengah keramaian kota. Di badannya menempel selembar foto anak hilang. Susah payah ditembusnya segala rintangan perjalanan itu: jalan raya yang penuh mobil, orang-orang berlalu lalang, risiko terlindas dan terinjak. Bagaimanapun, si anak hilang harus segera ditemukan. Di rumahnya telah menunggu dengan cemas sepasang orang tua—muka mereka murung.

Videoklip Coffee and TV adalah cerita tentang sebuah misi mulia. Sebuah upaya penyelamatan. Perjalanan si kotak susu menjadi sangat heroik sekaligus mengharukan. Dan perjuangannya tak sia-sia. Si anak hilang berhasil ditemukan—dia sedang bermain musik, nge-band bersama teman-temannya. Si anak hilang pun bergegas pulang, meninggalkan teman-temannya, kembali ke rumah orangtuanya. Tugas si kotak susu selesai.

Blur, band asal Inggris, berhasil menerjemahkan lirik lagunya ke dalam bahasa gambar videoklip dengan cara yang ‘berbeda’. Lirik lagu Coffee and TV sendiri bercerita tentang seorang superstar yang lelah akan dunianya. Lirih, lagu bernuansa minor ini dilantunkan—setengah berharap, setengah mengejek. “Do you feel like a chain store/ practically floored/ one of many zeros/ kicked around bored…” Popularitas menjadikan seorang bintang seakan-akan (harus) hidup dalam deretan etalase toko: siap dilihat-lihat, dan oleh sebab itu harus bagus—karena konsumen adalah raja. Sang bintang pun terjebak dalam rutinitas itu: rangkaian konser yang gegap gempita, jadwal tur yang melelahkan, kejaran pers, dan histeria penggemar.

Ruang gerak pun menjadi terbatas. Privasi tiba-tiba menjadi satu hal langka. Penggemar bisa berada di mana saja, siap mengejar-ngejar untuk sekadar tanda tangan atau foto bersama. Sesuatu yang mungkin pada awalnya menyenangkan, membanggakan, tapi lama-kelamaan merepotkan juga. Sang bintang pun merasa letih. Mungkin juga jenuh—dan karenanya ingin sekali-kali hengkang dari situ. Di bagian reffrain, dengan teriakan setengah tertahan, keinginan itu diungkapkan: “...so give me coffee and TV easily/ I’ve seen so much/ I’m going blind/ and braindead virtually….” Hal-hal sepele pun kemudian menjadi sangat berharga: ditemani secangkir kopi, menonton televisi, menjalani kehidupan seperti orang lain, layaknya seorang manusia biasa.

Videoklip lagu ini tak lantas ber-‘frontal ria’. Dia tidak hendak menerjemahkan lirik lagu begitu saja. Dipilihnya cara penyampaian yang lebih ‘halus’. Sebuah sudut pandang yang sedikit berbeda, tanpa harus menyimpang dari tema utama dan pesan lagu yang ingin disampaikan. Tak ada sepotong pun adegan tentang gemerlapnya dunia bintang. Tak ada kilapan blitz kamera dan lampu-lampu panggung yang menyilaukan. Tak ada kepungan mikrofon wartawan dan teriakan histeris penggemar. Sebagai gantinya, dipakainya simbol-simbol, yang cukup simpel tapi dalam: kotak susu dan foto anak hilang.

Hampir seluruh adegan adalah petualangan seru si kotak susu. Sang bintang digambarkan sebagai "si anak hilang". Sebuah kiasan yang cukup bersahaja. Bahwa si kotak susu harus menempuh perjalanan yang cukup berat—untuk ukuran sebuah kotak susu—menggambarkan betapa misi mulia itu tidaklah mudah: "mengembalikan" sang bintang ke dunianya yang semula. Betapa tidak gampang untuk keluar dari sebuah lingkaran setan bernama "dunia showbiz" itu. Dunia yang penuh gemerlap, tampak menyenangkan, tapi sekaligus kejam. “Take me away from this big bad world...”—Blur bahkan menggambarkannya sebagai “sebuah dunia besar dan buruk”.


Dunia bintang ternyata tak selalu seenak kelihatannya, dan popularitas tak selamanya menyenangkan. Tak jarang mereka memaksa seorang bintang harus terus memakai topeng, demi menghibur penggemar. “Your ears are full but you’re empty/ holding out out your heart/ to people who never really/ care how you are...” Ada 'kekosongan' di tengah ketenaran itu, menyelinap diam-diam. Ada sesuatu yang hilang.

Tapi siapa yang mau peduli 'kehampaan' itu? Tiba-tiba kita teringat kisah tragis Kurt Cobain. Popularitas Nirvana—lengkap dengan segala konsekuensinya—ternyata, siapa sangka, sangat menyiksa dia. Salah satu judul lagunya yang terkenal, “I hate myself and I want to die” seakan mengisyaratkan sesuatu. Semacam beban yang berat. Bisa jadi sesuatu yang tak terjelaskan, namun menghimpit. Surat terakhirnya lebih menegaskan lagi: "…kejahatan terbesar yang pernah aku lakukan adalah naik ke panggung dan mempertontonkan kepalsuan…". Dan matilah si dewa grunge itu—dengan pistol ia meledakkan kepalanya sendiri. Tragis.

Blur bukannya tak tahu hal itu. Invasi pertama Blur ke Amerika di awal ’90-an—mencoba mengulang kesuksesan Beatles—gagal total karena demam grunge ala Nirvana sedang kuat-kuatnya melanda Amerika. Band asal Inggris lainnya, Oasis, yang sukses menginvasi Amerika beberapa tahun kemudian, juga pernah menulis tentang risiko sebuah popularitas. Lirik lagu Champagne Supernova mereka menyiratkan hal itu: “How many special people change/ how many lives are living strange/ where were you when we were getting high?”


Dunia bintang tak selamanya indah. Blur telah menjadi bintang, merasakan popularitasnya, menanggung risikonya. Dan mereka ingin sekali-kali "keluar"—sebelum beban itu meledak. Melepaskan label-label superstar mereka, meski cuma sejenak. Mereka memilih cara yang sehat: dengan “kopi dan televisi”—bukan pistol. Pilihan yang manis. Lebih manis lagi, dengan sekotak susu yang berjalan-jalan lucu sepanjang videoklip.

* * *
>> Budi B. Badu
penikmat musik dan film, tinggal di Timbuktu


Post Scriptum:
Di videoklip yang dibuat tahun 1999 ini, “si anak hilang” diperankan oleh gitaris Blur, Graham Coxon, yang juga menulis lirik Coffee and TV dan menyanyikannya sendiri (di lagu ini vokalis Damon Albarn hanya mengiringi sebagai vokal latar). Uniknya, melalui videoklip ini Graham Coxon seolah meramalkan nasibnya sendiri. Tiga tahun setelah itu lagu itu dibuat, dia keluar dari Blur, meninggalkan teman-temannya. Persis seperti di videoklipnya, dia kembali ke keluarganya (di kehidupan nyata: istri dan anaknya). Personel Blur lainnya tetap jalan terus sebagai band dan menelurkan
album berikutnya, sementara Graham Coxon menghasilkan beberapa album solo sampai sekarang. Sutradara videoklip ini, Garth Jennings [tergabung di Hammer and Tongs], juga membuat videoklip keren lainnya: Imitation of Life-nya R.E.M (2001) yang unik, dan Silent Sigh-nya Badly Drawn Boy (2002) yang menyentuh.

budibadabadu © 2004


Tuesday, October 26, 2004

::: do the senses make sense?


i.
ide datang tanpa permisi, begitu juga kesialan. aha, siapa mengejek siapa. jika kau begitu yakin semua akan baik-baik saja, kenapa tidak kau ambil saja kaca besar di ruang sebelah lalu bercermin? buruk muka cermin dibelah, kata ibu guru sd kita dulu, tapi, buruk nasib dada dibelah? alangkah pengecut. itu buku-buku berdebu tak kunjung ditengok, itu belasan kawan belum disapa, itu ribuan film belum tersentuh. ophuls adalah kepada siapa si kubrick jelek itu berguru, gerutu badu sok tau, nongol dari balik kaca jendela yang berjamur, menawarkan jus apel. durdenesque doppelganger little bast**d. astaga, itu de sica pernah main di film dia? well, von stroihem siapa yang punya? tolong ngacung.

ii.
oya-ada-yang-ngakunya-kangen-sebaiknya-kau-temui, datar sekali si badu, menggigit-gigit tusuk giginya. lho, van aperldoorn belum tamat juga? plis dong deh. hey hey, albee yang itu lumayan padat, kenapa tidak dipelajari? uhuk-uhuk. wah, wangi kotak bergambar itu s u d a h luntur, brur! jadi semuanya mau dibiarkan membusuk di kamar? subagio sastrowardoyo halaman 38 bagus sekali deh. baiklah, baiklah. buang sampah yuk. lalu tepuk tangan. lalu berdandan. pake senyum apa hari ini? jangan lupa beli ramahtamah model mutakhir, udah big sale di kios terdekat!

iii.
ini persoalan memulai, bung. m e m u l a i. ayo gagah berani, bertempur melawan kemalasan otak yang makin uzur. ayo maju tak gentar, menantang tremor lalu menghabisinya sampai mati. ayo bung tetap tegak berdiri. jangan ciut oleh angin, ketinggian ini belum seberapa! to be or not to be, bisik pangeran hamlet di kamera sekuriti rental video. sudah, sudah! soal pertanyaan orang kenapa kau selalu berbeda-beda, berbeda-beda, berbeda-beda, berbeda-beda, bagaimana jika dilupakan saja?

iv.

bada, where are you when I need you?

Sunday, October 24, 2004

::: short cuts vs. tape

Boleh dong, sesekali ngiklanin beberapa film kesukaan:

>> SHORT CUTS
(dir. Robert Altman, USA, 1993)
Color, 189’, VHS, English, No Subtitle

Potret muram dari kehidupan sehari-sehari kelas menengah dan pekerja di Los Angeles. Orang-orang biasa dengan profesi yang luput dari perhatian kita: sopir limosin, pembersih kolam, penyedia telepon seks, penghias kue ulangtahun, badut iklan, dan sebagainya. Bersiaplah untuk 'bertamasya' mengamati jiwa-jiwa sakit yang terpendam, dan betapa dunia ini penuh kebetulan-kebetulan kecil yang mampu mengubah segalanya. Benarkah ada jalan pintas untuk menyiasati hidup yang keras ini? Diadaptasi dari beberapa karya cerpenis terkenal Raymond Carver, ini adalah sebuah eksperimen nekat: durasi 3 jam, 10 alur cerita, dan 22 karakter utama! Tapi sentuhan jenius Robert Altman (Gosford Park, The Company) menyulapnya menjadi film panjang yang tidak membosankan, dan realistis. Satu contoh drama komedi getir yang tidak harus terjebak menjadi oversentimentil. Menyabet penghargaan Golden Lion di Venice Film Festival 1993 dan penghargaan khusus Best Ensemble Cast di Golden Globes 1994.


>> TAPE
(dir. Richard Linklater, USA, 2001)
Color, 86’, VHS, English, No Subtitle

Film dengan HANYA 1 setting—sebuah kamar hotel yang sempit—dan 3 karakter: drug dealer yang menyebalkan, filmmaker yang sedang meniti karier, dan wanita cantik dari masa lalu. Ketiganya dulu bersahabat, bersekolah di SMA yang sama. Setelah terpisah 10 tahun lamanya, mereka bertemu di sebuah kamar hotel, saling berdebat tentang satu kejadian penting di masa lampau. Siapa benar-siapa salah, siapa jujur-siapa bohong, menjadi tak lagi jelas—membuat alur cerita film ini tak mudah ditebak. Ditampilkan dengan permainan sinematografi yang dinamis: pergerakan kamera hand-held yang cepat, editing yang menyentak, serta dialog intens tentang ambiguitas ingatan, tafsir pengakuan, dan sia-sianya sebuah keteguhan interpretasi. Diangkat dari drama panggung karya Stephen Belber, ini adalah studi karakter yang menarik dari Richard Linklater (Waking Life, School of Rock), yang digarap dengan semangat independen yang kuat.

Hmm, ada yang juga sudah nonton 2 film bagus itu? Boleh kasih komentar di sini. :)

(all capsule reviews by Budi Warsito, for Kineruku © Rumah Buku Bandung, 2004)

Saturday, October 23, 2004

::: "sun of a beach!"


you need a holiday
somewhere in the sun...
("Advert". Blur. 1993)

Badu menemukan sebuah situs, dan.. hehe, dia misuh-misuh! Saya langsung mengutipkan lagu Blur di atas untuk dia. Sangat tepat.

Eh, ngomong-ngomong, apa arti 'liburan' bagi Anda?

***

Wednesday, October 20, 2004

::: mengenang suwargi pak superman


dino mburi dinane
wohing katresnan
witing tresno ketemu
ring dino mburi
[“Tanah Makam, Cintaku (Requiem Dandanggula Tlutur)”. Sujiwo Tejo. 1998]

Sekitar seminggu yang lalu, Senin Legi 11 Oktober 2004, Christopher Reeve, pemeran legendaris Superman, wafat dalam usia 52 tahun. Saya membaca berita itu, dan langsung teringat masa kecil. Di layar bioskop, Superman dengan gagah berani bertempur melawan Manusia Nuklir yang hampir-hampir mustahil ditaklukkan. Deg-degan sekali saya waktu itu, kuatir jagoan saya itu kalah. Tapi untunglah, akhir ceritanya bikin saya lega dan bertepuk tangan keras-keras. Masih bercelana pendek waktu itu, saya nonton di sebuah bioskop kelas kambing (satu-satunya bioskop di kampung halaman saya) yang berkursi besi (pantat suka jadi pedas) dan 90% penontonnya merokok. Pengapnya bukan main, dan asap rokok sering mengganggu sorotan dari proyektor tua yang klethek klethek berisik bunyinya. Bau pesing pula. Aduh, pasti ada yang pernah diam-diam pipis di pojok sana. Karena lantainya datar (!), saya harus jongkok di atas kursi supaya pandangan mata tidak ketutupan orang di kursi depan saya.


Wah, saya inget betul, harga karcisnya cuma Rp 400. Yak, Anda tidak salah baca: EMPAT RATUS RUPIAH SAJAH! Jadi, cukup dengan uang lima ratus rupiah dari Ibu, selain karcis saya masih bisa beli sebungkus marneng (cemilan yang masih satu keluarga dengan popcorn dan grontol), dan menyemplungkan kembaliannya (!) ke celengan ayam saya di bawah kolong tempat tidur. Sepulang nonton, saya loncat-loncat di kamar, memperagakan adegan-adegan perkelahian di film tadi, dengan jubah terbang dari sarung batik diikatkan ke leher, dan kertas ditempel di dada bertuliskan huruf “S” (tentu saja dengan desain asal-asalan yang sangat jauh dari logo aslinya). Saya tidak sabar menunggu keesokan harinya, pengen menceritakan serunya film tadi ke teman sebangku di sekolah, mungkin sambil bisik-bisik di sela-sela Ibu Guru menerangkan pelajaran PSPB.

Saya juga teringat sekitar dua tahun lalu, ketika saya diminta seorang teman untuk menulis di sebuah majalah. Tulisan saya itu dibayar dengan honor yang tidak masuk akal kecilnya, yang langsung habis untuk membayar denda rental beberapa VCD Superman yang saya sewa sebelum menulis. (Honornya yang terlalu kecil, atau dendanya yang terlalu besar?) Well, tidak jadi soal, sebab Superman adalah pahlawan saya waktu SD, selain Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman. Selamat jalan Pak Superman, semoga di alam baka sana, sampeyan tetap bisa memberantas kejahatan.


* * *

Sunday, October 17, 2004

::: hikayat si koin bolong


there’s a hole in my soul that’s been killing me forever
it’s a place where a garden never grows
there’s a hole in my soul yeah, I should have known better
‘cause your love’s like a thorn without a rose

(“Hole in My Soul”.
Aerosmith. 1997)

Dulu waktu di Shinjuku saya sempat bertanya-tanya dalam hati kenapa beberapa koin uang Yen punya lubang di tengahnya. Ketika saya bertanya pada orang Jepang langsung [saya sendiri sebenarnya tidak begitu yakin mereka tahu], yakni salah satunya Ibu Yamada yang cantik dan baik hati itu, yang pernah tinggal di Solo beberapa tahun, dia malah balik bertanya ke saya apakah penjual rujak di bilangan Sriwedari masih ada. Sebagai sesama penggemar rujak, saya jawab saja masih ada—ini persoalan etika menyenangkan orang seberang, Bung—sembari berjanji dalam hati: begitu nanti saya pulang ke Solo, saya akan langsung ke sana untuk mengecek, dan mencicipinya tentu saja. Saya masih penasaran soal koin bolong itu. Saya yakin pasti ada pertimbangan yang bukan sekadar artistik belaka. Ketika tinggal di Mishima beberapa hari, menatap lebih dekat indahnya salju di pucuk gunung Fuji sambil membaca novel-novel
Yukio Mishima [benar-benar kombinasi kegiatan yang sangat pas!], saya bertanya ke Motonori [teman sebangku di sekolah] soal koin itu, dan dia juga hanya bisa mengangkat bahu—belakangan saya baru tau minat dia lebih ke musik dan membentuk band punk bareng tetangganya. Wuiih, ini rukun tetangga pangkeh bener!

Sampai balik ke Indonesia, pertanyaan itu tetap tidak terjawab. Saya malah menjadikan koin bolong itu sebagai bandul kalung. Sampai saya masuk kuliah di Bandung dan mulai nyadar bahwa geuleuh juga (pisan jang!) pake kalung, meski sebenarnya tidak pernah keliatan dari luar. Tapi akhirnya saya mendapatkan jawabannya dari sebuah
buku, yang saya beli dengan harga cukup wajar di Lt. 3 Gramedia Merdeka. Saya mau kasih tau Lil’ JC soal ini, tapi dia lagi sibuk dan kalo kami ketemu saya suka lupa ngasih tau. Baiklah, saya kutipkan saja di sini, biar dia juga bisa baca:

Why do ¥5 and ¥50 coins have holes?

When the Japanese economy was based on the sen (¥0.01) rather than the yen, there were several coins with circular holes in the middle. During the first half of this century (20th century –ujar Badu) the holes disappeared and coins were distinguished by size and material. There was also a time when there were not so many denominations of coins, so one of two distinctions sufficed. Today, however, we have coins of ¥1, ¥5, ¥10, ¥50, ¥100, and ¥500 value. Size alone, even with the addition of tooled edges, is insufficient to help the user recognize the denomination. The hole was, therefore, reintroduced to help even people with limited sight distinguish between ¥5 and ¥10 coins and ¥50 and ¥100 coins by feel alone.

(Japan from A to Z, Mysteries of Everyday Life Explained. p.28-29. James M. Vardaman, Jr. and Michiko Sasaki Vardaman. Yenbooks, 1995)

Buset. Dasar orang Jepang, gitu aja dipikirin. Tapi baguslah, niatnya mulia. Lalu apa hubungannya koin yen dengan lagu "Hole in My Soul"-nya Aerosmith di atas? Sama-sama bolong aja, gitu? Bukan. Itu lagu yang waktu saya balik ke Indonesia, ada seorang teman baik yang pacarnya lagi suka-sukanya lagu itu. [Teman baik saya itu cuma minta “oleh-oleh” koin Yen buat koleksi. Hehehe, itu oleh-oleh yang gampang dan murah!]. Di cover kasetnya rupanya tidak disertakan lirik, dan waktu itu Internet belum sangat populer di Solo. Demi tampil heroik di mata ceweknya, jadilah saya ditodongnya untuk men-transkrip lirik lagu itu. Tentu saja dia nanti akan bilang ke ceweknya bahwa DIA-lah yang telah bersusah payah men-transkripnya, spesial atas nama cinta… Well, ini sebenarnya taktik gombal yang murahan, tapi siapa tau ampuh.

Di radio tape butut miliknya [sumpeh butut banget], kami mendengarkan kaset itu berulang-ulang dan mencatat kata demi kata. Sementara saya pasang kuping baik-baik [listening saya tidak pernah bagus], teman saya itu malah sibuk mencabuti jenggotnya dengan dua koin Yen yang bolong tengahnya itu. Buset, kayak tukang ojek aja. Liriknya mulai tercatat sedikit demi sedikit. Ketika baru sampe baris "...yeah there's a hole in my soul, but one thing I've learned, for every love letter written, there's another one burned..." [wuiih, dalem juga Oom Tyler ini!] radio tape butut itu mulai batuk-batuk. Uhuk-uhuk. Well, usia lanjut tak bisa bohong. Begitu nyampe lirik "...is it over, is it over, ‘cause I'm blowin' out the flame..." radio tape itu tiba-tiba berhenti bekerja. Sialan, pas banget sih sama liriknya. “Tenang Bud, bentar lagi dia jalan lagi kok. Dia emang suka begitu...” ujar teman saya itu meyakinkan, sambil mengetok-ngetok bodi rentanya. Tapi rupanya kali ini bukan begitu. Ditunggu-tunggu lama, radio tape itu tidak mau hidup lagi. Diketok-ketok lagi, diam saja. Saya kuatir jangan-jangan wafat beneran. Padahal "kerja belum selesai, belum apa-apa." [Wiih, Chairil Anwar is in da house!]

Dengan otoritas penuh sebagai pemilik sah, akhirnya teman saya itu dengan pedenya mencoba membongkar dikit-dikit radio tape kesayangannya itu. Ini demi cewekku, katanya sambil sesekali menerawang. Maka dibukanya bodi radio tape yang sudah bau tanah itu. Beberapa sekrupnya (kalo masih bisa disebut sekrup) sudah karatan dimakan usia. Waduh, saya lupa kalo teman saya itu orangnya agak ceroboh. Bukannya ditaro dulu, koin Yen bolong dia itu [plus beberapa helai jenggotnya menempel di situ] malah kecemplung ke dalam radio tape butut itu! Yak, sempurna! Setelah mengumpat secukupnya, dia mengajak saya membongkar total radio tape itu. Saya sebenarnya males, tapi demi persahabatan [uhuk-uhuk!] saya menurut saja. Baiklah, ambil obeng dan sebagainya. Bongkar sana bongkar sini. Tapi karena kami berdua tidak begitu paham soal barang-barang elektronik, jadilah duo-amatir-sok-tukang-reparasi ini cuma bisa “terima bongkar, tidak terima pasang”. Yak, “terima bongkar… dan terima kasih”. Jadilah radio tape itu makin ancur. Operasi kami gagal total, dan bertambah satu lagi kasus malpraktik di Indonesia. Ketika kami membawanya ke tukang reparasi beneran di daerah dekat Keraton, diagnosis resmi yang kami terima adalah: “Wah, ini sih harus diganti, Dik!” … “Oh gitu? Diganti apanya ya Mas, onderdilnya?” … “Bukan. Radio tapenya! Beli aja yang baru!” ...

Teman saya tersenyum kecut. Dengan penuh haru, diangkutnya radio tape butut legendaris itu pulang. Didekapnya erat-erat, mungkin semacam penghormatan terakhir. Saya mengekor saja di belakang. Di perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Kami berkabung. Di kepala saya berkumandang lagu “Gugur Bunga”, tentara baris berbaris, plus beberapa tembakan meriam. Jadilah teman baik saya itu gagal tampil heroik di depan ceweknya. Seminggu kemudian, mereka putus.

“…there’s a hole coin in my soul tape, that’s been killing me forever…”

Badu manggut-manggut membaca obituari yang saya tulis ini.

* * *

PS: Untuk mengenang momen tak terlupakan 17 Oktober 1995 dan 13 April 1997. Juga sebagai "balasan" SMS seorang teman lama (high school, huh?) yang saya yakin sudah, sedang, dan akan terus berbahagia (meski saya yakin dia tidak pernah baca blog ini). Maaf, saya sedang tidak ada pulsa. Nomor kamu ilang, pula.


Saturday, October 16, 2004

::: baduthinks


mine is the sunlight, mine is the morning
born of the one light, eden saw play
praise with elation, praise every morning
God's recreation of the new day
(“Morning Has Broken”. Cat Stevens. 1971)

Saya mengintip buku harian Badu, ketika dia sedang pergi ke luar kota. Salah sendiri tidak dikunci. Waduh, tulisannya kecil-kecil amat sih:

jangan-jangan segala macam persimpangan jalan itu kita sendiri yang menciptanya. kita "merancang"-nya, lantas menetakkannya di tempurung kepala. maka muncul keraguan. maka terbit kebimbangan. you resah. you gundah. celakanya, sering kita malah menikmati setiap penggal kebingungan kita, asyik berkutat di dalamnya, sampai lupa bahwa tujuan sebenarnya adalah keluar dari kubangan itu. ciloko tenan jika benar begini. perhaps we've just watched too many movies. jadi seolah-olah hidup harus pula dramatik. life imitates #art# movies, atau #art# movies imitates life? walah. banyak yang malah merasa bangga punya segudang masalah. merasa keren jika keliatan sibuk, merasa hebat kalo dibilang sinis, merasa jagoan jika sudah tidak tidur berhari-hari. bleh. sejak kapan sinisme dan insomnia menjadi parameter kualitas seseorang? aku ketawa melihat budi nyengir [sumpeh, mukanya jadi juelekk banget], ketika seorang kawan dia melontarkan statement yang menyentak: "kok uwong-uwong podho seneng yo, yèn kétok sibuk mrono-mréné, nggarap macem-macem, agendané pirang-pirang?" heheh. lalu kawannya itu [belakangan aku tau namanya itonk] melanjutkan, “…yèn aku kok luwih seneng kétok nyantai, ra popo kétok léda-lédé, ning kabèh gawéanku beres, urip kepénak, dhuité akèh …” hahaha. aku bisa baca pikiran budi, yakni: asem tenan kowé tonk, bener juga sih. nah lo. aku pengen itu bisa dijadikan semacam sindiran yang tepat buat dia, meski bisa jadi kawannya yang garing lucu itu tidak memaksudkannya begitu. aku kadang kesal ama dia, yang lebih sering menampik saran-saranku untuk lebih taktis dalam menyiasati hidup. apa sih maunya? gagal satu kalipun sudah terlalu banyak! ayo bud, semangat! optimis dong! aku sepakat abis ama satu orang temen dia lainnya [seseorang yg tampaknya sangat dihormati dan dikaguminya] yang pernah menuliskan sesuatu untuknya: ...semoga kamu melihatnya tidak sebagai kolam (kubangan?) tempat kamu pernah tercebur, tapi sebagai karang terjal, yang ketika kamu melihat ke belakang untuk kedua kalinya, kamu bisa berbangga—dan tertunduk syukur—telah melewatinya… ouch. aku liat dia tercenung waktu mendapati tulisan itu pertama kali [meski disamarkan, dia sangat tau itu untuk dia]. lalu malam-malam dia datang lagi untuk diam-diam menyalinnya dengan penuh haru, dada bergemuruh, dan mata menghangat. pokoknya sepakat abis ama temannya yang satu itu. nah, kurang apa lagi, coba? semangat dong bud! taktis dong, taktis!

Di pikiran saya cuma: sialan si Badu. Saya kapok baca buku hariannya.

* * *

Friday, October 15, 2004

::: yesterweek, atawa "minggu lalu"


Yesterdayweek, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they’re here to stay
Oh, I believe in yesterdayweek.

Suddenly, I’m not half the man I used to be
There’s a shadow hanging over me
Oh, yesterdayweek came suddenly.


("Yesterday". Beatles. 1966)

BRUR,MINGGULALUPADATSEKALI...

* * *


Friday, October 01, 2004

::: oktober ceria


down in the city at nights
"don't be lonely"
so you've told me
but don't you worry now
loneliness can be ignored
and time has shown me how
("October". a-ha. 1986)

Semoga Oktober ini tidak lebih busuk dari September kemarin (hey, lagu "September Ceria" itu perlu direvisi, tauk). Amiin.

* * *