there’s a hole in my soul that’s been killing me forever
it’s a place where a garden never grows
there’s a hole in my soul yeah, I should have known better
‘cause your love’s like a thorn without a rose
(“Hole in My Soul”. Aerosmith. 1997)
Dulu waktu di Shinjuku saya sempat bertanya-tanya dalam hati kenapa beberapa koin uang Yen punya lubang di tengahnya. Ketika saya bertanya pada orang Jepang langsung [saya sendiri sebenarnya tidak begitu yakin mereka tahu], yakni salah satunya Ibu Yamada yang cantik dan baik hati itu, yang pernah tinggal di Solo beberapa tahun, dia malah balik bertanya ke saya apakah penjual rujak di bilangan Sriwedari masih ada. Sebagai sesama penggemar rujak, saya jawab saja masih ada—ini persoalan etika menyenangkan orang seberang, Bung—sembari berjanji dalam hati: begitu nanti saya pulang ke Solo, saya akan langsung ke sana untuk mengecek, dan mencicipinya tentu saja. Saya masih penasaran soal koin bolong itu. Saya yakin pasti ada pertimbangan yang bukan sekadar artistik belaka. Ketika tinggal di Mishima beberapa hari, menatap lebih dekat indahnya salju di pucuk gunung Fuji sambil membaca novel-novel Yukio Mishima [benar-benar kombinasi kegiatan yang sangat pas!], saya bertanya ke Motonori [teman sebangku di sekolah] soal koin itu, dan dia juga hanya bisa mengangkat bahu—belakangan saya baru tau minat dia lebih ke musik dan membentuk band punk bareng tetangganya. Wuiih, ini rukun tetangga pangkeh bener!
Sampai balik ke Indonesia, pertanyaan itu tetap tidak terjawab. Saya malah menjadikan koin bolong itu sebagai bandul kalung. Sampai saya masuk kuliah di Bandung dan mulai nyadar bahwa geuleuh juga (pisan jang!) pake kalung, meski sebenarnya tidak pernah keliatan dari luar. Tapi akhirnya saya mendapatkan jawabannya dari sebuah buku, yang saya beli dengan harga cukup wajar di Lt. 3 Gramedia Merdeka. Saya mau kasih tau Lil’ JC soal ini, tapi dia lagi sibuk dan kalo kami ketemu saya suka lupa ngasih tau. Baiklah, saya kutipkan saja di sini, biar dia juga bisa baca:
Why do ¥5 and ¥50 coins have holes?
When the Japanese economy was based on the sen (¥0.01) rather than the yen, there were several coins with circular holes in the middle. During the first half of this century (20th century –ujar Badu) the holes disappeared and coins were distinguished by size and material. There was also a time when there were not so many denominations of coins, so one of two distinctions sufficed. Today, however, we have coins of ¥1, ¥5, ¥10, ¥50, ¥100, and ¥500 value. Size alone, even with the addition of tooled edges, is insufficient to help the user recognize the denomination. The hole was, therefore, reintroduced to help even people with limited sight distinguish between ¥5 and ¥10 coins and ¥50 and ¥100 coins by feel alone.
(Japan from A to Z, Mysteries of Everyday Life Explained. p.28-29. James M. Vardaman, Jr. and Michiko Sasaki Vardaman. Yenbooks, 1995)
Buset. Dasar orang Jepang, gitu aja dipikirin. Tapi baguslah, niatnya mulia. Lalu apa hubungannya koin yen dengan lagu "Hole in My Soul"-nya Aerosmith di atas? Sama-sama bolong aja, gitu? Bukan. Itu lagu yang waktu saya balik ke Indonesia, ada seorang teman baik yang pacarnya lagi suka-sukanya lagu itu. [Teman baik saya itu cuma minta “oleh-oleh” koin Yen buat koleksi. Hehehe, itu oleh-oleh yang gampang dan murah!]. Di cover kasetnya rupanya tidak disertakan lirik, dan waktu itu Internet belum sangat populer di Solo. Demi tampil heroik di mata ceweknya, jadilah saya ditodongnya untuk men-transkrip lirik lagu itu. Tentu saja dia nanti akan bilang ke ceweknya bahwa DIA-lah yang telah bersusah payah men-transkripnya, spesial atas nama cinta… Well, ini sebenarnya taktik gombal yang murahan, tapi siapa tau ampuh.
Di radio tape butut miliknya [sumpeh butut banget], kami mendengarkan kaset itu berulang-ulang dan mencatat kata demi kata. Sementara saya pasang kuping baik-baik [listening saya tidak pernah bagus], teman saya itu malah sibuk mencabuti jenggotnya dengan dua koin Yen yang bolong tengahnya itu. Buset, kayak tukang ojek aja. Liriknya mulai tercatat sedikit demi sedikit. Ketika baru sampe baris "...yeah there's a hole in my soul, but one thing I've learned, for every love letter written, there's another one burned..." [wuiih, dalem juga Oom Tyler ini!] radio tape butut itu mulai batuk-batuk. Uhuk-uhuk. Well, usia lanjut tak bisa bohong. Begitu nyampe lirik "...is it over, is it over, ‘cause I'm blowin' out the flame..." radio tape itu tiba-tiba berhenti bekerja. Sialan, pas banget sih sama liriknya. “Tenang Bud, bentar lagi dia jalan lagi kok. Dia emang suka begitu...” ujar teman saya itu meyakinkan, sambil mengetok-ngetok bodi rentanya. Tapi rupanya kali ini bukan begitu. Ditunggu-tunggu lama, radio tape itu tidak mau hidup lagi. Diketok-ketok lagi, diam saja. Saya kuatir jangan-jangan wafat beneran. Padahal "kerja belum selesai, belum apa-apa." [Wiih, Chairil Anwar is in da house!]
Dengan otoritas penuh sebagai pemilik sah, akhirnya teman saya itu dengan pedenya mencoba membongkar dikit-dikit radio tape kesayangannya itu. Ini demi cewekku, katanya sambil sesekali menerawang. Maka dibukanya bodi radio tape yang sudah bau tanah itu. Beberapa sekrupnya (kalo masih bisa disebut sekrup) sudah karatan dimakan usia. Waduh, saya lupa kalo teman saya itu orangnya agak ceroboh. Bukannya ditaro dulu, koin Yen bolong dia itu [plus beberapa helai jenggotnya menempel di situ] malah kecemplung ke dalam radio tape butut itu! Yak, sempurna! Setelah mengumpat secukupnya, dia mengajak saya membongkar total radio tape itu. Saya sebenarnya males, tapi demi persahabatan [uhuk-uhuk!] saya menurut saja. Baiklah, ambil obeng dan sebagainya. Bongkar sana bongkar sini. Tapi karena kami berdua tidak begitu paham soal barang-barang elektronik, jadilah duo-amatir-sok-tukang-reparasi ini cuma bisa “terima bongkar, tidak terima pasang”. Yak, “terima bongkar… dan terima kasih”. Jadilah radio tape itu makin ancur. Operasi kami gagal total, dan bertambah satu lagi kasus malpraktik di Indonesia. Ketika kami membawanya ke tukang reparasi beneran di daerah dekat Keraton, diagnosis resmi yang kami terima adalah: “Wah, ini sih harus diganti, Dik!” … “Oh gitu? Diganti apanya ya Mas, onderdilnya?” … “Bukan. Radio tapenya! Beli aja yang baru!” ...
Teman saya tersenyum kecut. Dengan penuh haru, diangkutnya radio tape butut legendaris itu pulang. Didekapnya erat-erat, mungkin semacam penghormatan terakhir. Saya mengekor saja di belakang. Di perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Kami berkabung. Di kepala saya berkumandang lagu “Gugur Bunga”, tentara baris berbaris, plus beberapa tembakan meriam. Jadilah teman baik saya itu gagal tampil heroik di depan ceweknya. Seminggu kemudian, mereka putus.
“…there’s a hole coin in my soul tape, that’s been killing me forever…”
Badu manggut-manggut membaca obituari yang saya tulis ini.
* * *
PS: Untuk mengenang momen tak terlupakan 17 Oktober 1995 dan 13 April 1997. Juga sebagai "balasan" SMS seorang teman lama (high school, huh?) yang saya yakin sudah, sedang, dan akan terus berbahagia (meski saya yakin dia tidak pernah baca blog ini). Maaf, saya sedang tidak ada pulsa. Nomor kamu ilang, pula.