okt dog budibadabadu: 02/01/2006 - 03/01/2006

Sunday, February 26, 2006

::: o amis kapak dan twelve junkies


"Oh, yes, I believe in friends, I believe we need them, but if, one day, you find you can't trust them any more, well, what then, what then?"
Shallow Grave (Danny Boyle, UK, 1994)


i.
Almost ten years.
You met how?
At CSU.
She's what? Seven years younger?
She was a sophomore. I was a postdoc.
You were teaching her? She was your student?
No. She was math and physics, I was philosophy.
Explain it to me. You do philosophy of science, right?
I do now. I switched. Back then I was doing linguistic.
Language? Philosophy of language? Or film studies?
That's right. Conditionals, actually. I spent all my time thinking about the difference between "if it was" and "if it were".
Or between Tarkovsky's Solaris and Kubrick's 2001?
You name it, pal. I don't care.
And what do you spend all your time thinking about now, friend?
… Many worlds.
Excuse me? You mean other planets?
Many worlds, many minds. The interpretation of relative states. Popularly known as "parallel universes", Detective.

ii.
Karena setiap beberapa saat, seseorang membawakanku baki makan siang dan obat-obatanku dan matanya hitam lebam atau dahinya bengkak oleh jahitan, dan ia berkata:
"Kami merindukanmu Tuan Durden."
Atau seseorang dengan hidung patah mendorong alat pengepel lantai melewatiku dan berbisik:
"Semuanya berjalan sesuai rencana."
Berbisik:
"Kita akan menghancurkan peradaban hingga kita bisa membuat dunia yang lebih baik."
Berbisik:
"Kami menunggumu kembali."

iii.
But Badu is gone. Where is he?
Who the fahkk you think you are, pal?

iv.
Amis' Night Train. Palahniuk's Fight Club. Stevenson's Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Salinger's The Catcher in the Rye. Dostoevsky's Notes from the Underground. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Dan lain-lain. Selalu-dan-akan-selalu "dan lain-lain".

v.

"You're a mysterious man, Dr. Jekyll. What can you, with your presumably clean life, have to do with a vile thing like this Hyde?"

vi.
How he hates 1996-2005. Perhitungan tak kunjung selesai. Dendam tak kunjung terbalas. Tak mungkin terbayar. Kesumat. Keparat. Kesumat. Keparat. Menyeruput kopi basi, dan membiarkannya tumpah ke lantai. Menetes-netes, dirubung semut.

vii.
this Hyde.
this Hyde.
this Hyde.

viii.
Big fahkkin deal, thought Badu. Exclusivity on a film that was never going to get made. The phone rang. He picked it up.
"Is that Badu?"
"Probably. Speaking."
"This is Mr. X."
The voice was flat, bleak. It could have been coming from the end of the world. Or the room next door.
"Fahkk. Mr. X. I have a word written in my head for you, and it's TUMBEN. So I think I've got a question, though it sounds cliché: How are you?"
"I'm doing fine, thanx for asking."
Bitterness creeping in, like a thread of blood sinking into a glass of water.
"Yeah, right. Sorry, how's it going?"
[It was absolutely not "What's it going to be then, eh?" of the grreatt A Clockwork Orange. So Badu ignored it.]
"What do you want?"
"I need to ask you about some scripts."
"I don't do scripts."
"You used to."
"A long time ago."
"We all know that nostalgia is dangerous, but I remember those days with a clear conscience."
"Don't ever think that quoting my favorite Sherman Alexie will make me impressed."
"Take it easy, Badu."
"I'm not fahkkin easy, Mr. X."
Sigh.
"I don't do drugs. I don't do scripts. I don't smoke."
Long pause.
"What about some reviews?"
[There are some sentences written in Badu's mind and it may be from Holden Caulfield or anything: "Oh, man. I thought what I'd do was, I'd pretend I was one of those deaf-mutes. So I wouldn't have to have any goddam stupid useless conversations with anybody."]
Longer pause.
"Could we meet up?"
Badu fell silent for so long that Mr. X thought the connection had been severed.
"Hello?" Mr. X tried. "Badu, are you still there?"
"I'm still here."
"Can we meet?"
At length, he finally responded: "Tomorrow. Not before one."
"Whatever. Tomorrow would be fine. Where?"
"Hell."
"Pardon me?"
"Yes, you hear me. H-E-L-L. Fahkkin HELL would be great."
"…"

Click.

ix.
Besok ke makam Nirmala. Sudah lama. Dan tak perlu bawa bunga. Who wants flowers when you’re dead? Nobody.

x.
"Hey, YOU ARE NOT WHAT YOU WRITE."


xi.
Demi membuat saya tertawa dan kembali ceria, Badu mengutip satu cerita tentang perempuan yang menikahi seorang pengusaha pemakaman yang tampan dan sukses, dan pada malam pernikahan mereka sang suami merendam perempuan itu ke dalam bak mandi berisi air es hingga kulitnya sedingin es jika disentuh, lalu menyuruhnya berbaring diam sepenuhnya di ranjang. Kemudian sang suami menyetubuhi badannya yang membeku dan dingin kaku itu. Lucunya, perempuan itu melakukannya sejak masih pengantin baru, dan terus mengulanginya selama sepuluh tahun pernikahan mereka. Dan kini dia menulis surat kepada Tuhan untuk bertanya apakah itu berarti sesuatu.


Bisa jadi saya memang tidak pernah mengerti selera humor Badu, dan hampir menulis surat kepadanya. Belakangan saya mulai berpikir jangan-jangan ini perihal betapa-memang-ada-jenis-pekerjaan-yang-dijalani-dengan-terlampau-berlebihan justru membuat kita semakin berjarak dengan kewarasan. "Berkacalah, siapa tahu nasibmu tidak jauh berbeda..." kata Badu. Dan yang saya dapati adalah: muka Badu yang letih dan marah, pada pantulan cermin retak yang berdebu.

Tapi saya bahkan tidak tertawa.

xii.
I miss you, Nirmala. As usual. Tell me what Neverland looks like. Tell me, please.



* * *

Sunday, February 19, 2006

::: kerikil tajam dan yang terempas dan yang putus...



"Time is a kind friend, he will make us old."
—salah satu baris puisi Sara Teasdale.

Rasanya baru kemarin sore saya menulis posting ini. Ternyata sudah setahun. How time goes by...

* * *

Tuesday, February 14, 2006

::: goodbye, dragon inn

[Tsai Ming-liang, Taiwan, 2003. color, 82 min. DVD]

Di salah satu sudut kota Taipei, sebuah bioskop tua harus menghadapi kematiannya. Malam itu adalah pertunjukan terakhirnya sebelum gulung tikar. Di luar, gerimis belum juga reda, atap bocor, dan air menggenang di lantai. Hanya segelintir penonton yang datang membeli karcis. Bioskop tampak begitu lengang, penonton membisu, terhanyut di antara hamparan kursi-kursi kosong. Sesekali terdengar derak-derak roda proyektor, dan suara pertarungan pedang dari film kungfu klasik berjudul Dragon Inn yang diputar di layar.


Tsai Ming-liang, sutradara Taiwan kelahiran Malaysia, menggambarkan kecintaannya pada gambar hidup, dengan memilih setting gedung bioskop, lagi-lagi dengan ciri khas artistiknya: nuansa kesedihan yang kental, perasaan teralienasi, muram dan sepi. Dengan warna-warna gelap yang membius, kesunyian mendominasi atmosfer film ini. Adegan demi adegan berjalan lamban, minim dialog, senyap, sesunyi hati para penonton terakhir malam itu: turis Jepang yang kesepian, anak kecil bersama kakeknya, dan wanita penjaga loket karcis berkaki pincang berjalan terseok-seok mencari tukang proyektor. Bahkan ada cameo dari aktor film Dragon Inn, memerankan dirinya sendiri yang kini sudah tua, datang ke bioskop bisa jadi demi bernostalgia menatap aktingnya semasa muda. Jangan-jangan memang benar kata François Truffaut, sutradara Prancis favorit Tsai Ming-liang: "Movie lovers are sick people." Dan gedung bioskop, seperti kata penyair dan kritikus Parker Tyler, adalah "psychoanalytic clinic of the average worker."

Jika Joko Anwar merayakan gambar hidup di Janji Joni (2005), juga Giuseppe Tornatore di Cinema Paradiso (1988), maka dalam Goodbye, Dragon Inn, Tsai Ming-liang memilih tema sebaliknya: kematian sinema. "No one comes to the movies anymore," kata penonton di bioskop sepi itu. Tapi seperti baris-baris lagu di penghujung film, "Year after year, I can’t let go." Di hati para penggemarnya, sinema tidak akan pernah sepenuhnya mati.

* * *

>> Bersama resensi film Raise the Red Lantern (Zhang Yimou, China, 1991) dan Fallen Angels (Wong Kar-wai, Hong Kong, 1995) mengisi kapling film di majalah Bandung and Beyond edisi "Chinese Parade", Februari 2006. Si Badu jelek itu suka sekali kutipan "Movie lovers are sick people!" Haha, aren’t we all?


Tuesday, February 07, 2006

::: Chick Flicks: A Tribute to Women in Pictures


[kineruku Monthly Screening, February 2006]
Kebanyakan film Hollywood menempatkan perempuan sebagai karakter dengan formula tertentu: berparas jelita, berpostur ideal, berkulit mulus, dan selalu membutuhkan makhluk bernama laki-laki. Atau dalam formula ekstrem lainnya: berotak encer, berotot kawat, berhati baja, dan mempersetankan kaum Adam. Beberapa chick flicks Hollywood menjejali pemirsanya dengan formula tersebut dalam dosis berlebihan, sehingga definisi "perempuan" seolah-olah telah usai dirumuskan.

Dalam penayangan bulanan kali ini, kineruku menghadirkan beberapa film dengan pendekatan yang berbeda dalam memaknai arti kata "perempuan". Dengan tiga variasi pandangan sutradara, kineruku menyediakan ruang untuk berdiskusi dan memberi "tanda koma" pada perumusan baku definisi tersebut.

Jean-Luc Godard, seorang maestro dan womanizer, yang mendedikasikan karier sinematisnya pada tema-tema seputar masalah hubungan laki-laki dan perempuan, menyajikan filmnya lebih sebagai "pertanyaan" ketimbang "pernyataan" tentang apa sebenarnya "perempuan" itu. Agnes Varda, seorang sutradara perempuan yang juga aktivis Left Bank di Paris, menjadikan filmnya sebagai pernyataan yang mendobrak stereotip perempuan lemah yang dicitrakan dunia patriarkal. Luc dan Jean-Pierre Dardenne, dua bersaudara yang berlatar belakang film dokumenter, memadukan pengetahuan mereka dengan kaidah fiksi, untuk menggambarkan keresahan seorang perempuan muda dalam memperjuangkan hidup di tengah dunia yang tidak bersahabat.

Selamat memaknai dan merayakan perbedaan.
Salam,
Ariani Darmawan, Budi Warsito, Tumpal Tampubolon
Film Programmer kineruku
* * *
[1] Rosetta (Luc and Jean-Pierre Dardenne, Belgium, 1999) Sabtu, 11 Februari 2006, pukul 15.00 WIB
[2] Cleo from 5 to 7 (Agnes Varda, France, 1962) Sabtu, 18 Februari 2006, pukul 15.00 WIB
[3] A Woman is a Woman (Jean-Luc Godard, France, 1961) Sabtu, 25 Februari 2006, pukul 15.00 WIB
* * *
rosetta
Rosetta — Luc and Jean-Pierre Dardenne, Belgium, 1999. VHS, color, 95 min, French with English subtitle.
Dibuka dengan adegan menghentak, seorang gadis muda mengamuk di sebuah pabrik ketika mendapati dirinya diberhentikan dari pekerjaannya, Rosetta adalah sinema minimalis tentang perjuangan berat menghadapi hidup yang tak mudah dan dunia yang tak ramah. Terusir dari tempat kerjanya, keadaan tidak menjadi lebih baik ketika Rosetta pulang dan mendapati ibunya, seorang pemabuk kambuhan sedang bermain gila dengan pria yang menyewakan rumah trailer untuk mereka. Hidup sudah sangat memuakkan bagi Rosetta, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun pekerjaan itu pun tak kunjung datang. Gerakan kamera hand-held yang mengikuti Rosetta sepanjang film dengan efisien menangkap kegelisahan dan kekalutannya menghadapi penolakan demi penolakan.

Yang menakjubkan dari film ini adalah minimnya dialog, yang justru mampu bercerita secara subtil hanya dengan menggunakan kekuatan gambar—sebuah seni yang nyaris punah di dunia sinema saat ini. Keputusan berani sutradara untuk selalu memakai close-up shot kian menegaskan kekuatan film ini: wajah Rosetta menjadi begitu "telanjang" dan transparan, hingga kita dapat merasakan kecamuk di dalam benak dan batinnya—sebuah paradoks untuk film yang sangat pelit akan informasi tentang tokoh utamanya. Transfer emosi yang kurang lebih sama ketika kita menatap wajah Renée Marie Falconetti di film La Passion de Jeanne d'Arc (1928), sebuah film bisu klasik karya Carl Theodor Dreyer. Mencengangkan sekaligus mengharukan.
Latar belakang film dokumenter dari Dardenne bersaudara memberikan sentuhan unik pada karya film fiksi kedua mereka ini (debut film fiksi mereka, La Promesse di tahun 1996, juga merupakan sebuah potret menyentuh tentang masa muda). Penonton kerap disuguhkan momen-momen "kecil" yang sebenarnya tidak menyokong perkembangan plot sama sekali (jika plot itu memang ada). Seperti ketika Rosetta berusaha meredakan rasa sakit kram perut akibat menstruasi dengan memakai alat pengering rambut, atau "ritual" misteriusnya tiap pulang kerja: memancing di sebuah telaga di tengah hutan. Metode yang mengingatkan kita pada spirit gerakan neorealisme di akhir era 1940-an, sebuah gerakan yang berikrar untuk memotret kehidupan sejujur-jujurnya sebagai lawan dari kecenderungan sinema saat itu, atau bahkan hingga saat ini: eskapisme. Kejujuran ini diganjar dengan anugerah tertinggi Palem Emas di Cannes Film Festival tahun 1999, sekaligus aktris terbaik bagi Emilie Dequenne, yang masih berumur 18 tahun ketika memerankan karakter Rosetta. [TT]
* * *
cleo from 5 to 7
Cléo de 5 à 7 — Agnes Varda, France, 1962. DVD, b/w, 90 min, French with English subtitle.

Ketika semua orang mengganggap Jean-Luc Godard, François Truffaut, dan Alain Resnais sebagai dewa-dewa sinema French New Wave, Agnes Varda seakan dilupakan di sudut terpencil kota Paris. Padahal karya-karyanya yang sarat akan komentar sosial memiliki nilai estetis dan ekspresi personal yang tak kalah tinggi dibandingkan sutradara-sutradara French New Wave lainnya. Mungkinkah keterbenaman namanya disebabkan pemikiran-pemikiran feminis yang ia suarakan di dunia yang telah terlanjur didominasi oleh para pria? Cleo From 5 to 7 membuktikan bahwa siapa pun yang tidak menempatkan Varda di jajaran sutradara terpenting dunia, adalah salah.

Film ini mengabadikan 2 jam kehidupan Cleo—seorang penyanyi tenar yang terobsesi dengan kecantikannya—ketika ia menghabiskan waktu untuk menunggu keputusan dokter tentang penyakit yang dideritanya. Dalam kerentanan dan ketakutan Cleo berkeliling mencoba menyaksikan kembali gambaran-gambaran di sekitarnya dengan pandangan baru: sang pacar yang terlalu sibuk dan menganggapnya sebagai riasan belaka, sang sahabat yang berpose sebagai model bagi para pematung dan begitu bangga (namun tidak bahagia) akan keindahan tubuhnya, hingga tentara muda yang memberikannya pandangan baru akan cinta dan kehidupan. Dalam pergantian waktu yang singkat tersebut Cleo mendapati bahwa kehampaan dalam dirinya yang menyakitkan adalah sekaligus penawar penderitaannya. Di akhir cerita ia seakan mencabut kembali kata-kata yang ia ucapkan untuk menghibur dirinya di awal film: "As long as I'm beautiful, I'm alive."

Dalam film berdurasi 90 menit ini, Agnes Varda dengan pandai mengenakan perangkat-perangkat sinema French New Wave—teknik editing jump cuts yang menjadi ciri khas gerakan tersebut, penggunaan voice over juga metode-metode dokumenter lainnya—dan sekaligus dengan berani mendobraknya dengan menampilkan sebuah cerita melodramatis, puitis, dan hampir-hampir romantis. Kamera yang dengan dinamis menggerakkan sudut pandang dari orang pertama, kedua, hingga ketiga menggambarkan kelincahan sekaligus kegelisahan Cleo, yang secara langsung menjadikan film ini sebuah karya personal seorang sutradara perempuan terbesar abad 20. Seperti layaknya sebuah mantel hasil rajutan tangan, film ini memberikan kehangatan dan kepuasan tidak hanya bagi si pembuat, tetapi juga para pengguna dan penikmatnya. [AD]
* * *
a woman is a woman
Une femme est une femme — Jean-Luc Godard, France, 1961. DVD, color, 84 min, French with English subtitle.

Di sebuah sudut kota Paris tahun 1960-an, Angela, seorang penari striptease berwajah melankolis, bermimpi bisa tampil di pergelaran musikal yang megah bersama Gene Kelly. Namun ada satu impian sederhana yang lebih mendesak dari segalanya: dia ingin segera hamil dan punya anak. Emile, sang pacar yang tinggal serumah, menolak. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Sementara Alfred, teman baik mereka berdua, kebetulan juga menaruh hati kepada Angela. Sebuah plot cerita yang sekilas tampak sederhana. Namun di tangan seorang Jean-Luc Godard, semuanya bisa jadi berbeda.

Gerakan sinema French New Wave sedang berada di puncak-puncaknya ketika Godard kembali datang dengan film panjang ketiganya, A Woman is A Woman (1961). Jika di Breathless (1959) Godard menunjukkan kecintaannya pada film-film B-movies Amerika, kali ini ide film musikal menjadi laboratorium barunya. Dimaksudkan sebagai penghormatan kepada film-film musikal Hollywood era 1950-an, film A Woman is A Woman justru berhasil tampil dengan gayanya sendiri yang unik, dan tidak serta-merta musikal. Plot ménage a trois yang simpel—kisah cinta segitiga antara 1 perempuan dan 2 laki-laki, dengan porsi utama pada perempuan—bisa jadi telah dianggap klise dan usang, namun yang menakjubkan adalah usaha Godard dalam mengolahnya menjadi sesuatu yang tidak biasa, baik dari segi cerita maupun bahasa gambar. Eksperimennya yang tak terbatas—bermain-main dengan teknik editing jump cuts, termasuk tiba-tiba memenggal scoring di tengah-tengah adegan, gerakan kamera hand-held, juga panning yang cerdas dan pilihan menambahkan teks di beberapa adegan—menjadikan film ini sebuah sajian visual yang menggetarkan.

Pilihan Godard yang sering mengambil karakter perempuan terpinggirkan—penari striptease di film ini, dan perempuan pelacur di film berikutnya, My Life to Live (1962)—sebagai tokoh utama bisa menjadi perbincangan tersendiri yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Dengan film A Woman is A Woman ini, Godard seakan mengajak kita untuk berusaha menyelami pikiran perempuan, yang merupakan sebuah misteri tersendiri baginya. Atau bahkan bagi sebagian besar kita, yang apa boleh buat, hidup di dunia yang masih dipenuhi wacana patriarkal. Seperti ketika pertanyaan "Is it a comedy or a tragedy?" dilontarkan di sebuah adegan, dan salah satu tokohnya menjawab: "With women, we’ll never know…" Pada akhirnya, seorang perempuan adalah seorang perempuan. [BW]

* * *
Didirikan pada tahun 2003, kineruku bergerak dalam bidang apresiasi dan produksi film. Berlokasi di Rumah Buku, Bandung, kineruku menyediakan referensi film-film langka dan bermutu karya sutradara-sutradara penting sepanjang sejarah sinema dunia. Sebagai wadah kegiatan perfilman, kineruku mempercayakan kegiatan apresiasi dan produksinya pada kurator handal yang tidak hanya berprofesi sebagai kritikus tetapi juga sebagai praktisi perfilman.
* * *
kineruku - Rumah Buku, Jl. Hegarmanah 52 Bandung, 40141 Ph/F. +62 22 2039615 kineruku@yahoo.com
CP. Budi +62 856 216 5322