okt dog budibadabadu: ::: in the mood for laugh

Wednesday, February 16, 2005

::: in the mood for laugh


“Be happy in your work.”
—kata Colonel Saito di Bridge on the River Kwai [David Lean, UK, 1957], sementara Sid Vicious dari atas lemari (hey, sejak kapan kau duduk di situ, Bung?) terus menerus mengejek , “I’ve been only in love with a bottle and a mirror.” Saya bukan narsis!, meski Badu mungkin iya.

Bos, ini laporan saya hari ini. Saya taruh di meja Bos.


0.1.
FILM HARI INI
:

It’s All About Love [Thomas Vinterberg, 2004]. Now showing at Astor 20. Vinterberg [of Dogme95!] goes Hollywood? Well, jika kamu pikir "cinta" selalu berarti "kehangatan", kamu HARUS nonton film ini. Narasi ganjil, tanpa harus menjadi terlalu sinting—dan justru karena itu lebih mengganggu. Ini Big Apple, ini bulan Juli dan ini bersalju! (Jika Yth. Tuan Sapardi duduk di barisan penonton, mungkin dia lantas terpikir untuk menggubah puisi, "Salju Bulan Juli".) Sementara di Uganda, gravitasi lenyap entah kenapa, dan orang-orang mulai beterbangan. Tak masuk akal memang, tapi begitulah. Kehidupan yang dingin, gelap, membingungkan, tapi kamu tak tahu kepada siapa harus bertanya. Si cantik Elena (hey, same name with Cinema Paradiso!) berbisik gundah, "I sleep all the time. 17 hours a day. I don't want to live anymore." Ini film tetap mengasyikkan—dan ingat Bung, ini Vinterberg!—tetap wajib tonton, meski dengan ending yang berantakan. Dan menyesakkan. Mungkin scriptwriter-nya sendiri juga tak tahu harus gimana mengakhiri kisahnya. Selintas seperti: dia pamit ke belakang sebentar mengambil kopi, dan tak pernah kembali.

0.2.
LAGU HARI INI
:

I’m Just A Killer for Your Love [Blur, 1997]. Track ke-3 side B album ke-5 Blur. Vokal Damon Albarn diiringi musik komplotannya terdengar seperti salah satu track Beastie Boys yang disetel dengan kecepatan ngawur dalam gerakan slow-motion. Tentang kalimat mantra, "..I’m just a killer for your love.." yang diulang-ulang sebanyak 12 kali (ini Badu yang menghitungnya—kurang kerjaan—bukan saya!), seorang Peri Cantik dari negeri indah bernama Masa Lalu menyebutnya: “Bud, tidakkah ini sedikit—ya, sedikiiit, aja—mirip dengan single From A to B-nya Octopus?” Well, well, well.. with yet another blurred vocal, its nasty, titular mantra repeats like a threat. Ada baris yang saya suka, "…’cos now I know nothing will last, and I said, I'm just a killer for your love..." Menyimak lagu ini, semacam terbangun lega dari mimpi buruk yang mencekam, tapi setting kamarmu sudah terlanjur berubah mengikuti kisah mimpimu, dan Freddy Krueger telah menjadi Bapak Kost-mu. Blur have led me down a hell of a dark alley by now.

0.3.
BUKU HARI INI:
Night Train [Martin Amis, 1997]. Ini Martin Amis pertama saya dari toko buku itu (sekitar, limaratus-empat-puluh-delapan hari yang telah lewat) dan sempat ditentang oleh seorang kawan bernama Ego (hey, di KTP-nya memang Ego, dan tidak ada hubungannya dengan id dan superego—mbah Freud, silakan go to hell!). Narasi seorang Mike Hoolihan, dia polwan (ya, jika kamu lupa singkatan ini: Polisi Wanita), yang menangani kasus kematian—homicide or suicide, that’s the point—seorang Jennifer Rockwell, a beautiful young astrophysicist, Si-Nona-Sempurna, who, as the saying goes, "had it all." Dan Bu Polwan kita ini mengisahkan penyidikannya dalam narasi yang brilian, resah, dan patah.

Suicide is the night train, speeding your way to darkness. You won't get there so quick, not by natural means. You buy your ticket and you climb on board. That ticket costs everything you have.
Itu kiasan yang sempurna, menurut saya. Amis menulis novel ini dengan penuturan yang cerdas, dan apa boleh buat, sangat Chandleresque: sudut pandang tokoh utamanya benar-benar Philip Marlowe-like narration. Sementara penggambaran setting kotanya—yang kelihatan menjengkelkan dengan caranya sendiri, sehingga saya tidak yakin mampu bertahan hidup di sana—sedikit mengingatkan pada Gertrude Stein's Oakland: “There's no there.” Saya mantap memilih novel tipis ini atas sebuah alasan subjektif yang sentimentil:

There—finished. All gone.
(Last page: 149. Spoiler? Who cares!)

0.4.
OBROLAN HARI INI, MALAM ITU:

"What a night…" Ini diucapkan setidaknya 3 kali (ya, saya menghitungnya!) oleh Si-Suara-Merdu pada malam yang terhuyung-huyung itu. Chat beraroma alkohol dan derai-derai airmata (Betharia Sonata, silakan berbangga!), pada malam berkabut dengan remuk redam yang tertahan, gerimis-hampir-subuh yang sama sekali tidak romantik, dan saya mengingatnya. Atau setidaknya: berusaha keras mengingatnya. Tempurung kepala Badu yang retak di beberapa titik malah mencernanya sebagai 3 scene(s) yang sedikit mirip—atau kurang lebih mengingatkan—pada:


[1] menit ke-27 VCD bajakan film Memento (dan Nirmala tentunya) tapi disc-2 nya rusak, dan pemanas ruangan ngadat, sementara selimut sedang ada di laundry semua;
[2] beberapa film Wong Kar-wai, the dizzying Chungking Express or the hypnotizing In the Mood for Love—Badu said, “How could I be so fahkkin moved by a film that does not have a story?”—dan iya, itu OST-nya semoga-semoga-semoga bukan oleh Didi Kempot, apalagi kakaknya;
[3] sekaligus aura buku If on a Winter's Night a Traveller—novel yang amat sangat Badu yakini ditulis oleh alien, atau segerombolan alien feat. Italo Calvino.



* * *

Bos, ini teritori saya. Saya, saya, saya. S-A-Y-A. Jadi, hak saya untuk mengisinya dengan apa saja. Dan “apa-saja” bisa berarti: dengan balon ungu yang meletus tiba-tiba, dengan kata-kata sampah yang saya comot dari rak berdebu, dengan obrolan ribut penumpang kereta di kursi belakang saya, dengan pensil patah dari teman sebangku di sekolah dasar, dengan apapun. Atau bahkan: dengan kerikil tajam yang saya pungut dari jalan—geriginya melukai jari saya.

Tapi pembenaran serupa itu, sia-sia, ternyata:

Saya merindu hidup yang lebih tertib.
—“Bos, saya minta cuti.”

Klik.