::: selasa ini, di paris, di texas, dsb.
Walt: "I thought you were afraid of heights."
Travis: "I'm not afraid of heights. I'm afraid of fallin'."
(Paris, Texas. Wim Wenders, 1984)
Selasa tadi rasa-rasanya biasa saja, tidak istimewa. Rutinitas standar. Nu-Corner dan sebagainya. Bedanya, ada pertempuran berbau-bau akademik—ini butuh konsentrasi penuh—dan tentu saja saya harus menang. Tidak boleh gagal, sebab satu kali saja sudah terlalu banyak! Sempat mampir bentar di Old-Lib tempat lama, dan astaga ketemu Mr.Want-to-Be-Famous! Dia kelihatan 10 tahun lebih tua dari 5 tahun yang lalu. Langsung saya kirim SMS ke Old Buddy—sebab siapa lagi? Tuan Polan sedang sibuk dengan kahirupan. Hah, Ol’ Buddy, Tuan Polan.. Tamankita. Masa-masa itu! Semacam kurun waktu “gula jawa”. Sepenggal masa yang coklat, gelap, manis, dan.. eneg. Mengingatnya selalu diikuti perasaan campur aduk; sering berarti tertawa terbahak-bahak dan kemudian geraham terkatup dan mata berkaca-kaca; sering berarti sore yang hangat, malam yang dingin, dan pagi yang menyebalkan; sering berarti: sudahlah. Mungkin butuh beberapa tahun lagi, untuk bisa berdamai sepenuhnya. Ternyata. Dan bahwa tadi pagi secara kebetulan mendengar “(Remember the Days of) the Old School Yard”-nya Cat Stevens di radio—astaga, the old school yard, alangkah tepat!—benar-benar hanya membuat Selasa ini makin biasa saja. [Saya tidak mau berlebihan memaknainya. Tidak sekarang.]
Sempet chatting sebentar dengan Si Abang ini—dia sedang menjadi Manusia Laba-laba, sambil membaca chicklit di buritan kapal penuh tentara [waduh spoiler]. Ngobrol dikit tentang asyiknya idiom basa Jawa dalam medium tulisan. Sempet ke Nu-Lib [ini perpus garing-garing bergembira], internet gratis yang lambatnya melebihi keong-tua-jalan-santai-di-Minggu-pagi, lalu balikin buku dan kena denda sehari—ayo berusaha lebih tertib lagi, sebab hidup butuh self-juklak yang harus dipatuhi. Never cracked under pressure ya Bung!
Beli rujak mangga ama Lil’ JC, kali ini “the grass is NOT greener on the other side”. Finally! Tapi sepertinya jambunya tadi bikin dia sakit perut. Waduh. Hobi baru dan stamina memang tidak selalu rukun. Cepet sembuh ya! Dan Selasa ini juga berarti 2 minggu tidak WG. Well, maafkan saya. I have my own battle. Saya belum sejago orang-orang itu membagi konsentrasi. Besok hari terakhir. Jadi, Kamis ini, tentu saja saya akan datang lagi.
Nemu kaset bekas di tukang loak, OST. Paris, Texas-nya Wim Wenders(!) tahun 1984. Lha gemblung tenan [dan menyesal seumur-umur] jika tidak dibeli. Murahnya keterlaluan, kayaknya Si Mas Penjual-nya nggak ngerti itu kaset apa. Padahal film-nya bagus buanget [an unusual road movie, dulu waktu menontonnya sendirian di sebuah arthouse Jerman, saya menangis diam-diam]. Dan ini soundtrack kurang ajar betul: ada sepi menyayat, slide-guitar yang mengiris, dan tengkuk yang dingin—ah, adakah yang lebih sunyi ketimbang lupa-ingatan? Saya merinding, Bung. Angkat topi buat Ry Cooder, yang berhasil mencipta iringan musik yang, menurut kuping saya, teramat-sangat-tepat untuk suasana filmnya. Makin merinding ketika tahu track #1 side B-nya adalah rekaman “monolog” si Travis dari balik kaca tempat prostitusi itu, “I knew these people...” Edun! Definitely one of the best monologue scenes in movie history!
Kaset bekas tadi memang tidak menarik dari tampilan fisik [bungkusnya usang, desain cover-nya biasa aja, si Mbak ini pasti males me-review-nya], tapi “sensasi menemukan”-nya berhasil mengalahkan kaset lawas Jethro-Tull-si-grothal-grathul yang juga masuk ke kantong belanja saya. Benar bahwa “Life is a long song,” kata si seruling sakti Ian Anderson, tapi “Dark Was The Night”-nya Ry Cooder benar-benar telah membuat “A Salty Dog”-nya Procol Harum tidak lagi nyaman duduk berlama-lama sebagai “Single(s) of the Day” di KupingMu-Sick Timbuktu.
Pokoknya, bagi saya, ini benar-benar “penemuan” luar biasa. Jadi, ini jenis Selasa-biasa atau Selasa-tak-biasa? Ah, tidak jadi soal. Sebab, mau “biasa” atau “tidak biasa”, meminjam kata-kata Bung Chairil Anwar, toh “keduanya patut dicatat, keduanya dapat tempat.”
Mendengar itu, Badu tak mau kalah. Mengepalkan tinju ke udara, dia mengutip keras-keras sebaris puisi dari Ho Chi Minh: “bendera besar bendera kecil, keduanya punya andil...” Lalu dia pergi ke ruang tamu, duduk di depan piano, memainkan sepenggal nomor yang dihapalnya sejak kecil, “A Theme from the Exorcist”.