::: palindrome!
—buat Ais dan Thya
Ini berawal dari Badu yang mampir ke blogombal Mas Kere Sukemplu, dan suatu saat mendapati dirinya adalah pengunjung ke-39493. "Aah, palindrome," batin saya waktu itu. Yeah, Badu mengangguk, seolah bisa membaca pikiran saya. Lalu semacam flashback: saya ingat masa kanak, ketika seorang Budi kecil tercenung membaca merk sabun colek OMO, yang dibeli Ibu dari warung sebelah. "Bu, lihat merk itu! Kalo dibaca dari belakang pun tetap saja "OMO"! Hebat ya?" Ibu diam saja, tapi tetap tersenyum—mungkin sambil membatin, "Hebatnya opo to, Le? Wong cuma gitu aja kok." Juga ingatan ketika saya dan teman-teman rame-rame membaca komik lokal murahan dengan antusias di sekolah [kelas 2 di sebuah SD Inpres], dan mendapati halaman terakhir sambil mendesah kecewa, "Yaah, kok udah tamat sih?" Tapi saya melihat sesuatu, dan berteriak, "Hey, kata "TAMAT" kalo dibaca terbalik dari belakang tetap saja terbaca "TAMAT"! Hebaaat!!" ...dan tidak ada satupun teman yang mendukung ketertarikan saya itu. "Biasa aja, ah!" begitu selalu kata mereka, sambil berhamburan keluar begitu lonceng tanda pulang berbunyi.
Baiklah, baiklah. Tidak ada yang peduli. Tapi saya peduli. Sepulang dari sekolah, saya bisa menghabiskan waktu sesorean [kadang sampai malam] hanya untuk menemukan "susunan kata atau kalimat yang jika dieja dari belakang tetap terbaca sama". Tentu saja waktu itu saya belum tahu itu namanya palindrome. Mulai dari yang sangat sederhana: bunyi kentut ["Tuut"], sifat orang yang kata Ibu kurang bagus ["iri" dan "sinis"], sampai merk permen kesukaan yang lengket di gigi ["Sugus"]. Juga nama-nama orang: tetangga depan rumah saya persis, namanya Anna; dan di gang sebelah ada yang namanya Totot. Begitu naik ke kelas 3, saya mulai mendapat mata pelajaran IPS alias Ilmu Pengetahuan Sosial [ehm, dari situ saya baru tahu bahwa di Indonesia ini ada suku lain selain Jawa], dan haha, saya menemukan nama Nababan.
Saya ingat betul, hobi baru itu bikin saya lupa waktu. Lupa belajar, dan lupa mengerjakan PR [terutama Tugas Prakarya, yang memang saya benci setengah mati karena susahnya suka keterlaluan!]. Lupa main kasti ama teman sekompleks. Lupa mengaji. Pokoknya lupa segalanya. Sampai-sampai Ibu suka mengingatkan, "Makan dulu, Le..." Jawaban saya malah, "Hmm, 'makan'? Nggak, Bu! Itu nggak bisa! Kalo "makam"... nah, itu baru bisa!" Saya tidak tahu, apakah sejak saat itu Ibu mulai kuatir saya tidak akan naik kelas.
Kelas 4 SD [haa, berarti saya naik!], saya menemukan kata "kasur rusak". Saya senang sekali, karena bisa menemukan susunan lebih dari 1 kata. Kelas 5 SD, Maya, teman sekelas yang paling cantik, merayakan ulang tahun ke-10. Saya memberanikan diri memberinya kado berupa celengan ayam dari tanah liat. Bukan karena pengen mengajak dia untuk ikut Gerakan Nasional Gemar Menabung, melainkan supaya saya bisa melampirkan kartu ucapan bertuliskan "Maya, ini ayam.", plus gambar panah terbalik dan tulisan NB: Coba kamu baca dari belakang. Saya bangga bukan main atas 'kejeniusan' saya itu, meski Maya ternyata malah bersikap biasa saja.
Kelas 1 SMP, saya menemukan susunan 4 kata, "Ira hamil lima hari". Ini mulai keterlaluan. Ketika saya tunjukkan ke Ira, yang pintar dan juara umum, yang saya dapatkan malah muka cemberut. Mungkin dia pikir saya ini siswa bodoh yang aneh, nakal, dan tidak pantas belajar satu sekolah dengannya. Kelas 3 SMP, ketika kebiasaan melamun saya makin menjadi-jadi, bersama imaginary friend saya, seorang bajak laut bernama Sersan Jab [figurnya mirip Kapten Hook, tapi kait besinya bukan di tangan, melainkan di kaki; sedangkan saya sendiri adalah Sinbad si Pelaut], 'kami' berlayar ke Negeri Dongeng, bertualang melawan monster laut yang ganas demi mencari harta karun, menggunakan kapal rakit istimewa. Istimewa? Ya, karena ini "rakit idaman, ada nama di tikar".
Itu kenangan masa kecil. Saya kemudian tahu, bahwa memang ada fenomena kata seperti itu. Ya itu tadi, palindome. Di bahasa Inggris saya menemukan ruang gerak yang lebih bebas, dengan peluang jauh lebih besar. Saya sering terheran-heran dengan keisengan orang-orang Barat ini [keisengan yang jenius, atau kejeniusan yang iseng?]. Para pekerja film di Hollywood sudah menemukan palindrome kata-kata kesal seperti [silakan cek, baca dari belakang!], "Dammit, I'm mad!", atau "Here so long? No loser, eh?" Lalu jawaban ngawur dari pihak manajemen artisnya, "No, Mel Gibson is a casino's big lemon." Ada juga palindrome di kancah politik internasional, "Star comedy by Democrats". Atau SMS dari Kompleks Neraka Blok 7 a.k.a. Jahanam, "Devil Natasha, ah, Satan lived!" Atau cewek-cewek seksi nan polos yang beraksi ekshibisionis, menatap sayu ke kamera sambil mendesah, "Oh, cameras are macho..." [Haha, bisa-bisanya Mas Garing Subasi menyebutnya sebagai genre film religius! Kalo yang ini religius nggak Mas, "A Santa lived as a devil at NASA"?]
Yang paling gila, mungkin adalah karya George Perec [1936-1982], berjudul "ça ne va pas sans dire", yang disebut-sebut sebagai salah satu palindrome terpanjang di masanya yang pernah ditulis manusia, terdiri dari sekitar 5.000 kata! Astaga, L-I-M-A-R-I-B-U-K-A-T-A! Sinting! Tapi dia memang tergabung di Oulipo [Ouvrier de Littérature Potentielle, atau Workshop of Potential Literature], sebuah komunitas penulis-penulis "sinting" di Paris. Ini semacam laboratorium struktur literer yang menghidupkan bentuk-bentuk sastra lama dan mencari bentuk-bentuk sastra baru yang yang tumbuh dari sejumlah algoritme. Karya-karya mereka unik, ganjil, dan ajaib. Salah satu anggotanya yang terkenal adalah Italo Calvino [1923-1985], yang selalu Badu yakini sebagai alien.
Udah ah, saya pamit dulu. Yo wis, si woy!
Don't nod.
[haha, palindrome sampai akhir!]
* * *
budibadabadu © 2005