::: goodbye, dragon inn
[Tsai Ming-liang, Taiwan, 2003. color, 82 min. DVD]
Di salah satu sudut kota Taipei, sebuah bioskop tua harus menghadapi kematiannya. Malam itu adalah pertunjukan terakhirnya sebelum gulung tikar. Di luar, gerimis belum juga reda, atap bocor, dan air menggenang di lantai. Hanya segelintir penonton yang datang membeli karcis. Bioskop tampak begitu lengang, penonton membisu, terhanyut di antara hamparan kursi-kursi kosong. Sesekali terdengar derak-derak roda proyektor, dan suara pertarungan pedang dari film kungfu klasik berjudul Dragon Inn yang diputar di layar.
Tsai Ming-liang, sutradara Taiwan kelahiran Malaysia, menggambarkan kecintaannya pada gambar hidup, dengan memilih setting gedung bioskop, lagi-lagi dengan ciri khas artistiknya: nuansa kesedihan yang kental, perasaan teralienasi, muram dan sepi. Dengan warna-warna gelap yang membius, kesunyian mendominasi atmosfer film ini. Adegan demi adegan berjalan lamban, minim dialog, senyap, sesunyi hati para penonton terakhir malam itu: turis Jepang yang kesepian, anak kecil bersama kakeknya, dan wanita penjaga loket karcis berkaki pincang berjalan terseok-seok mencari tukang proyektor. Bahkan ada cameo dari aktor film Dragon Inn, memerankan dirinya sendiri yang kini sudah tua, datang ke bioskop bisa jadi demi bernostalgia menatap aktingnya semasa muda. Jangan-jangan memang benar kata François Truffaut, sutradara Prancis favorit Tsai Ming-liang: "Movie lovers are sick people." Dan gedung bioskop, seperti kata penyair dan kritikus Parker Tyler, adalah "psychoanalytic clinic of the average worker."
Jika Joko Anwar merayakan gambar hidup di Janji Joni (2005), juga Giuseppe Tornatore di Cinema Paradiso (1988), maka dalam Goodbye, Dragon Inn, Tsai Ming-liang memilih tema sebaliknya: kematian sinema. "No one comes to the movies anymore," kata penonton di bioskop sepi itu. Tapi seperti baris-baris lagu di penghujung film, "Year after year, I can’t let go." Di hati para penggemarnya, sinema tidak akan pernah sepenuhnya mati.
>> Bersama resensi film Raise the Red Lantern (Zhang Yimou, China, 1991) dan Fallen Angels (Wong Kar-wai, Hong Kong, 1995) mengisi kapling film di majalah Bandung and Beyond edisi "Chinese Parade", Februari 2006. Si Badu jelek itu suka sekali kutipan "Movie lovers are sick people!" Haha, aren’t we all?
Di salah satu sudut kota Taipei, sebuah bioskop tua harus menghadapi kematiannya. Malam itu adalah pertunjukan terakhirnya sebelum gulung tikar. Di luar, gerimis belum juga reda, atap bocor, dan air menggenang di lantai. Hanya segelintir penonton yang datang membeli karcis. Bioskop tampak begitu lengang, penonton membisu, terhanyut di antara hamparan kursi-kursi kosong. Sesekali terdengar derak-derak roda proyektor, dan suara pertarungan pedang dari film kungfu klasik berjudul Dragon Inn yang diputar di layar.
Tsai Ming-liang, sutradara Taiwan kelahiran Malaysia, menggambarkan kecintaannya pada gambar hidup, dengan memilih setting gedung bioskop, lagi-lagi dengan ciri khas artistiknya: nuansa kesedihan yang kental, perasaan teralienasi, muram dan sepi. Dengan warna-warna gelap yang membius, kesunyian mendominasi atmosfer film ini. Adegan demi adegan berjalan lamban, minim dialog, senyap, sesunyi hati para penonton terakhir malam itu: turis Jepang yang kesepian, anak kecil bersama kakeknya, dan wanita penjaga loket karcis berkaki pincang berjalan terseok-seok mencari tukang proyektor. Bahkan ada cameo dari aktor film Dragon Inn, memerankan dirinya sendiri yang kini sudah tua, datang ke bioskop bisa jadi demi bernostalgia menatap aktingnya semasa muda. Jangan-jangan memang benar kata François Truffaut, sutradara Prancis favorit Tsai Ming-liang: "Movie lovers are sick people." Dan gedung bioskop, seperti kata penyair dan kritikus Parker Tyler, adalah "psychoanalytic clinic of the average worker."
Jika Joko Anwar merayakan gambar hidup di Janji Joni (2005), juga Giuseppe Tornatore di Cinema Paradiso (1988), maka dalam Goodbye, Dragon Inn, Tsai Ming-liang memilih tema sebaliknya: kematian sinema. "No one comes to the movies anymore," kata penonton di bioskop sepi itu. Tapi seperti baris-baris lagu di penghujung film, "Year after year, I can’t let go." Di hati para penggemarnya, sinema tidak akan pernah sepenuhnya mati.
* * *
>> Bersama resensi film Raise the Red Lantern (Zhang Yimou, China, 1991) dan Fallen Angels (Wong Kar-wai, Hong Kong, 1995) mengisi kapling film di majalah Bandung and Beyond edisi "Chinese Parade", Februari 2006. Si Badu jelek itu suka sekali kutipan "Movie lovers are sick people!" Haha, aren’t we all?