Tuesday, April 19, 2005
Monday, April 11, 2005
::: lies. damn lies.
we are what we pretend to be. so we must be careful what we pretend to be.
—Kurt Vonnegut, one of Badu’s most favorite writers.
dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa saya mulai muak dengan yang namanya kepalsuan. saya capek harus terus berpura-pura. every single day i have to play a sad game called “pretending nothing’s going wrong”. well, can you just pretend to be something you know you’re not?
damn. i start hearing voices again. not now, please.
* * *
Tuesday, April 05, 2005
::: you are what you eat
"I’m not vegetarian because I love animals. I’m vegetarian because I hate plants."
—A. Whitney Brown, "Saturday Night Live" cast member, Season 11-16, 1985-1991.
Saya punya banyak teman vegetarian, tapi saya tidak punya satu pun teman kanibal. Hannibal Lecter cuma hidup di dunia rekaan Hollywood, dan saya juga tidak kenal Sumanto dari Purbalingga—sebagaimana saya berharap dia juga tidak kenal saya. Lho, apa hubungannya vegetarian dengan kanibal? Jawabannya: mungkin memang tidak ada. Saya cuma tiba-tiba ingat, ada teman baik saya, seorang perempuan vegetarian yang moviefreak sejati, pernah membuat review film Korea berjudul 301, 302 [Cheol-su Park, 1995] dengan penuh semangat. Dan kebetulan, film itu tentang kanibal. Saya sendiri juga suka film itu, sebuah drama tentang dendam dan kesepian, yang disajikan dengan sinematografi yang indah, dramatik, dan terus terang bikin saya lapar. Haa!
Saya juga ingat sebuah buku bagus terbitan tahun 1992, berjudul Cut! Horror Writers on Horror Film. Di buku itu, salah seorang kontributor, penulis fiksi horor, mengaku menyukai film kanibal padahal dia seorang vegetarian. Kathryn Ptacek, demikian nama perempuan penulis itu, mengaku doyan film dengan tayangan sadis itu tanpa harus tahu kenapa. Artinya: dia nonton, ya karena pengen nonton aja. Dia membahas dengan cukup bagus film Motel Hell [Kevin Connor, USA, 1980]. Film horor kanibal ini tidak begitu terkenal, tapi pernah diputar di sebuah bioskop di Bandung—sekarang bioskop itu sudah tidak ada, menjelma menjadi gedung pertokoan. Saking tidak populernya film itu, pernah jumlah penonton di bioskop itu cuma 3 orang. Salah satunya Badu, duduk di barisan tengah, masih bercelana pendek waktu itu. Dua lainnya? Sepasang muda-mudi, mojok di kursi belakang, yang pasti tidak terlalu peduli dengan film yang diputar, sebab mereka sedang sibuk membuat "film" sendiri.
Meski ada dua film yang sedang diputar bersamaan—satu di layar, satu di kursi penonton—Badu berusaha konsentrasi menatap ke depan. Premis film ini cukup menarik. Settingnya di sebuah penginapan bernama Motel Hello. Papan nama hotel itu [sebuah plang dengan cahaya neon] selalu kerlap-kerlip di huruf "o"-nya, sehingga sering tampak terbaca "Motel Hell". Dan sebagaimana hell, penginapan ini memang keparat. Pemiliknya, seorang lelaki aneh bernama Vincent, menjalankan bisnis motel yang terkenal dengan sajian daging asapnya yang teramat lezat. Sebagai film kanibal, tentulah bisa ditebak: yeah, daging asap itu ternyata terbuat dari daging manusia. Stok dagingnya, dari pengendara mobil yang lewat di depan motelnya. Vincent selalu menjebak mereka dengan memasang paku di jalan. Dan Vincent bukan seorang tukang tambal ban: dia malah menangkap si pengendara mobil, menghajarnya, lalu menyeretnya ke kebun.
Berikutnya adalah aksi yang sadis dan "sakit". Vincent mengubur hidup-hidup para korban, dengan kepala dibiarkan nongol di permukaan tanah. Supaya tidak bisa menjerit, Vincent menggorok dan mengambil pita suara mereka. Hasilnya, sajian visual yang mengerikan: kepala-kepala di tanah dengan mulut yang komat kamit terbuka, tapi tidak keluar suara. Lalu Vincent menentukan nasib mereka selanjutnya: menjadi bahan daging asap yang lezat, sajian khas Motel Hell.
Keparat. Film itu benar-benar keparat. Di tengah kegelapan, Badu seringkali menjerit tertahan, menatap adegan demi adegan sadis di layar—sementara di belakang sana, sepasang muda mudi itu juga menjerit tertahan, atas alasan yang berbeda: Badu karena ketakutan, mereka karena keenakan. Keparaaat. Keluar dari bioskop itu, Badu misuh-misuh. Sesampainya di rumah, sambil bisik-bisik Badu menceritakan kepada saya "Pengalaman Menonton Film Kanibal Bersama Sepasang Muda-mudi" tadi. Saya bilang: mereka juga kanibal, tauk. Sebab: manusia 'memakan' manusia. Haha.
Di rumah pohon kami, cukup lama saya dan Badu mendiskusikan Motel Hell. Badu sangat menyukai satu line-nya yaitu ketika Vincent mencari pembenaran aksi kanibalisme-nya dengan berkata, "There's too many people in the world and not enough food. Now this takes care of both problems at the same time." Well, quote yang cerdas, Vincent! Kami baru berhenti diskusi ketika Ibu berteriak dari bawah, bahwa makan malam telah siap.
Begitu saya dan Badu beranjak dewasa, kami mendirikan PT Badu Film. Kantornya tetap di situ: di rumah pohon kami yang makin penuh sesak dan berantakan, di bilangan Kompleks Timbuktu Permai. Demi menghormati kenangan menonton di masa kecil, kami mengoleksi DVD film Motel Hell, dan film-film tentang kanibal lainnya. Di deretan rak berlabel "film-film tentang makanan", berjajar judul-judul seperti: Cannibal Holocaust [Ruggero Deodato, 1980, film kanibal "klasik" yang sampe sekarang belum pernah selesai kami tonton…], Silence of the Lambs [Jonathan Demme, 1991, ya, ya, yang pertama saja, sebab sekuel dan prekuelnya maless bangett!], Delicatessen [Marc Caro & Jean-Pierre Jeunet, France, 1991; film kanibal yang dibuat oleh orang yang juga membuat film manis Amélie!], Cannibal Ferox [aka Make Them Die Slowly, Umberto Lenzy, Italy, 1981; advertisements for this horror film declared that it was ‘Banned in 31 countries’—pure fiction… but it is still banned in the UK], Ravenous [Antonia Bird, 1999; kritikus Ebert menyebutnya sebagai resep film vampir dan kanibal yang disajikan dengan saus baru], dsb, dll, dst, etc. Terlalu panjang kalo disebutkan semuanya di sini. Oya, tentu saja termasuk karya anak negeri: Kanibal Sumanto [Christ Helweldery, Indonesia, 2004, produksi Starvision-nya Pak Parwez].
Untuk hal-hal kanibal seperti itu, Badu memang cukup bersemangat. Dia selalu antusias ketika menceritakan pengalamannya Kuliah Kerja Nyata [KKN] di sebuah desa terpencil di kaki gunung. Menurut kabar yang terhembus, warga desa terpencil itu masih kanibal. Atas nama rasa ingin tahu yang mendalam [sekaligus bayangan muluk-muluk sebuah skripsi dahsyat tentang riset sosiologis atas fenomena kanibalisme di era modern], Badu memutuskan untuk KKN di desa itu.
Setibanya di sana, Badu langsung menemui Kepala Desa. Saat memperkenalkan diri, Badu langsung bertanya, "Pak, saya Badu, mahasiswa dari UNTU [Universitas Timbuktu]. Ehmm, katanya warga desa sini masih kanibal ya?" Pak Kepala Desa menjawab dengan tersenyum, "Wah, dari mana Adik dapat informasi seperti itu?" "Oh, ehm, dari… dari Internet , Pak!" sambil tak yakin apakah Pak Kepala Desa itu tahu Internet. Pak Kepala Desa masih tersenyum ketika melanjutkan, "Jadi gini Dik. Kebetulan, sampe minggu lalu memang masih ada SATU ORANG kanibal di desa ini. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi." Badu tampak kecewa, tapi dia masih menyempatkan bertanya, "Sampe minggu lalu? Emangnya sekarang si orang itu ada di mana, Pak?" Pak Kepala Desa menjawab, "Sudah mati Dik, kemarin kami makan rame-rame."
* * *
thanx BA, for the inspiration!
Monday, April 04, 2005
::: palindrome!
—buat Ais dan Thya
Ini berawal dari Badu yang mampir ke blogombal Mas Kere Sukemplu, dan suatu saat mendapati dirinya adalah pengunjung ke-39493. "Aah, palindrome," batin saya waktu itu. Yeah, Badu mengangguk, seolah bisa membaca pikiran saya. Lalu semacam flashback: saya ingat masa kanak, ketika seorang Budi kecil tercenung membaca merk sabun colek OMO, yang dibeli Ibu dari warung sebelah. "Bu, lihat merk itu! Kalo dibaca dari belakang pun tetap saja "OMO"! Hebat ya?" Ibu diam saja, tapi tetap tersenyum—mungkin sambil membatin, "Hebatnya opo to, Le? Wong cuma gitu aja kok." Juga ingatan ketika saya dan teman-teman rame-rame membaca komik lokal murahan dengan antusias di sekolah [kelas 2 di sebuah SD Inpres], dan mendapati halaman terakhir sambil mendesah kecewa, "Yaah, kok udah tamat sih?" Tapi saya melihat sesuatu, dan berteriak, "Hey, kata "TAMAT" kalo dibaca terbalik dari belakang tetap saja terbaca "TAMAT"! Hebaaat!!" ...dan tidak ada satupun teman yang mendukung ketertarikan saya itu. "Biasa aja, ah!" begitu selalu kata mereka, sambil berhamburan keluar begitu lonceng tanda pulang berbunyi.
Baiklah, baiklah. Tidak ada yang peduli. Tapi saya peduli. Sepulang dari sekolah, saya bisa menghabiskan waktu sesorean [kadang sampai malam] hanya untuk menemukan "susunan kata atau kalimat yang jika dieja dari belakang tetap terbaca sama". Tentu saja waktu itu saya belum tahu itu namanya palindrome. Mulai dari yang sangat sederhana: bunyi kentut ["Tuut"], sifat orang yang kata Ibu kurang bagus ["iri" dan "sinis"], sampai merk permen kesukaan yang lengket di gigi ["Sugus"]. Juga nama-nama orang: tetangga depan rumah saya persis, namanya Anna; dan di gang sebelah ada yang namanya Totot. Begitu naik ke kelas 3, saya mulai mendapat mata pelajaran IPS alias Ilmu Pengetahuan Sosial [ehm, dari situ saya baru tahu bahwa di Indonesia ini ada suku lain selain Jawa], dan haha, saya menemukan nama Nababan.
Saya ingat betul, hobi baru itu bikin saya lupa waktu. Lupa belajar, dan lupa mengerjakan PR [terutama Tugas Prakarya, yang memang saya benci setengah mati karena susahnya suka keterlaluan!]. Lupa main kasti ama teman sekompleks. Lupa mengaji. Pokoknya lupa segalanya. Sampai-sampai Ibu suka mengingatkan, "Makan dulu, Le..." Jawaban saya malah, "Hmm, 'makan'? Nggak, Bu! Itu nggak bisa! Kalo "makam"... nah, itu baru bisa!" Saya tidak tahu, apakah sejak saat itu Ibu mulai kuatir saya tidak akan naik kelas.
Kelas 4 SD [haa, berarti saya naik!], saya menemukan kata "kasur rusak". Saya senang sekali, karena bisa menemukan susunan lebih dari 1 kata. Kelas 5 SD, Maya, teman sekelas yang paling cantik, merayakan ulang tahun ke-10. Saya memberanikan diri memberinya kado berupa celengan ayam dari tanah liat. Bukan karena pengen mengajak dia untuk ikut Gerakan Nasional Gemar Menabung, melainkan supaya saya bisa melampirkan kartu ucapan bertuliskan "Maya, ini ayam.", plus gambar panah terbalik dan tulisan NB: Coba kamu baca dari belakang. Saya bangga bukan main atas 'kejeniusan' saya itu, meski Maya ternyata malah bersikap biasa saja.
Kelas 1 SMP, saya menemukan susunan 4 kata, "Ira hamil lima hari". Ini mulai keterlaluan. Ketika saya tunjukkan ke Ira, yang pintar dan juara umum, yang saya dapatkan malah muka cemberut. Mungkin dia pikir saya ini siswa bodoh yang aneh, nakal, dan tidak pantas belajar satu sekolah dengannya. Kelas 3 SMP, ketika kebiasaan melamun saya makin menjadi-jadi, bersama imaginary friend saya, seorang bajak laut bernama Sersan Jab [figurnya mirip Kapten Hook, tapi kait besinya bukan di tangan, melainkan di kaki; sedangkan saya sendiri adalah Sinbad si Pelaut], 'kami' berlayar ke Negeri Dongeng, bertualang melawan monster laut yang ganas demi mencari harta karun, menggunakan kapal rakit istimewa. Istimewa? Ya, karena ini "rakit idaman, ada nama di tikar".
Itu kenangan masa kecil. Saya kemudian tahu, bahwa memang ada fenomena kata seperti itu. Ya itu tadi, palindome. Di bahasa Inggris saya menemukan ruang gerak yang lebih bebas, dengan peluang jauh lebih besar. Saya sering terheran-heran dengan keisengan orang-orang Barat ini [keisengan yang jenius, atau kejeniusan yang iseng?]. Para pekerja film di Hollywood sudah menemukan palindrome kata-kata kesal seperti [silakan cek, baca dari belakang!], "Dammit, I'm mad!", atau "Here so long? No loser, eh?" Lalu jawaban ngawur dari pihak manajemen artisnya, "No, Mel Gibson is a casino's big lemon." Ada juga palindrome di kancah politik internasional, "Star comedy by Democrats". Atau SMS dari Kompleks Neraka Blok 7 a.k.a. Jahanam, "Devil Natasha, ah, Satan lived!" Atau cewek-cewek seksi nan polos yang beraksi ekshibisionis, menatap sayu ke kamera sambil mendesah, "Oh, cameras are macho..." [Haha, bisa-bisanya Mas Garing Subasi menyebutnya sebagai genre film religius! Kalo yang ini religius nggak Mas, "A Santa lived as a devil at NASA"?]
Yang paling gila, mungkin adalah karya George Perec [1936-1982], berjudul "ça ne va pas sans dire", yang disebut-sebut sebagai salah satu palindrome terpanjang di masanya yang pernah ditulis manusia, terdiri dari sekitar 5.000 kata! Astaga, L-I-M-A-R-I-B-U-K-A-T-A! Sinting! Tapi dia memang tergabung di Oulipo [Ouvrier de Littérature Potentielle, atau Workshop of Potential Literature], sebuah komunitas penulis-penulis "sinting" di Paris. Ini semacam laboratorium struktur literer yang menghidupkan bentuk-bentuk sastra lama dan mencari bentuk-bentuk sastra baru yang yang tumbuh dari sejumlah algoritme. Karya-karya mereka unik, ganjil, dan ajaib. Salah satu anggotanya yang terkenal adalah Italo Calvino [1923-1985], yang selalu Badu yakini sebagai alien.
Udah ah, saya pamit dulu. Yo wis, si woy!
Don't nod.
[haha, palindrome sampai akhir!]
* * *
budibadabadu © 2005