::: mudiko ergo sum
Sebenarnya, apakah "m u d i k" itu? Apa? Mudiko ergo sum, "saya mudik maka saya ada", begitu? Pulang kampung, maka eksistensi menggelembung? Anda penjual bakso di sekitar Monas, yang mudik ke kampung halaman di kaki gunung dengan tas pinggang penuh uang, siap dibagi-bagikan pada sanak famili sampai habis tak bersisa tapi rasa bangga membuncah di dada? Anda scriptwriter sebuah variety-show-tayang-seminggu-sekali-dengan-rating-dan-share-lumayan, yang pulang ke dusun gersang kering kerontang, membagi-bagikan kartu nama lengkap-dengan-profesi-nomor HP-dan-alamat-email ke para tetangga yang tidak pernah menonton acara Anda karena bahkan antena paling tinggi pun tetap gagal menangkap siaran televisi swasta? Anda mantan kembang desa yang mengadu nasib di belantara ibukota bermodal kepolosan dan ijazah SMEA, yang mudik ke desa tertinggal dengan lipstick tebal, kuku kaki di-kutex, dan rambut model mutakhir warna pirang? Anda aktivis mahasiswa, rajin turun ke jalan dan lantang meneriakkan anti kemapanan, yang pulang bersimpuh ke kaki ibunda yang makin renta, yang tak suka anaknya berambut gondrong dan tak kunjung diwisuda?